Bab 3

13 2 0
                                    

"Hei, apa-apaan tadi itu?" Damar mencoba menyamakan langkah cepat Hestia yang ada di depannya. "Jawab jujur. Kau dapat bantuan dari mana aransemen lagu tadi?"

"Diam, ah. Aku malu!" Hestia berjalan menuju sudut rumah yang tidak terlihat oleh banyak orang, walaupun sebenarnya orang-orang masih mengikuti arah langkahnya. Hestia bersandar ke dinding sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Menghiraukan celotehan Damar, Hestia masih menyesalkan apa yang sudah dilakukannya. "Kenapa juga aku mau melakukan hal yang mempermalukan diri begini, ugh..." gumamnya untuk yang kesekian kali.

"Jawab aku dulu, dari siapa Kau belajar selain dariku?" Damar masih tidak putus asa menuntut jawaban dari Hestia.

"Apa... aku melakukannya dengan baik?" Takut-takut dengan suara yang lirih Hestia bertanya.

"Bodoh! Tadi itu keren sekali tahu!"

Terjadi jeda yang cukup panjang di sela-sela percakapan kedua orang itu. Perlahan Hestia menurunkan telapak tangan yang menutupi wajahnya dan membiarkan matanya terbebas dari kedua tangannya. Ia mengerjap-erjap sedikit senang dan seolah menuntut pembenaran dari ucapan Damar.

"Apa iya...?"

Damar mengangguk membenarkan. "Menurutmu orang banyak di sana, yang bertepuk tangan buatmu itu hanya formalitas saja? Makanya aku tanya Kau belajar aransemen lagu itu dari siapa. Atau... karena sudah putus asa Kau minta orang lain membuatkan lagu itu untukmu?"

Hestia melotot lalu menyingkirkan tangannya sepenuhnya dari wajah. "Enak saja kalau bicara! Aku orang yang memegang janji seperti memegang nyawa, ya. Tentu saja aku belajar sendiri-bilang saja dengan sedikit bantuan darimu, walaupun tidak banyak, tapi untuk lagunya tentu saja aku yang ubah sendiri-," Hestia yang menyadari dirinya yang mulai tampak menyombong akhirnya menurunkan nada suaranya,-"supaya berbeda sedikit saja dari biasanya dan... tidak membosankan."

Damar diam menatap Hestia dengan mulut yang sedikit menganga, yang mana tuturan pemuda itu yang selanjutnya membuat Hestia tahu makna sebenarnya dari ekspresi yang ditunjukkan pemuda itu apakah karena tidak percaya sama sekali atau justru malah takjub. "Wah, aku nyaris tidak percaya yang barusan bermain gitar itu belajar hanya dalam waktu 2 bulan bahkan otodidak-membawakan lagu selamat ulang tahun yang seharusnya biasa saja menjadi lebih berekspresi. Kapan Kau tidak membuatku takjub, Hes?"

Hestia tidak yakin apakah dirinya mampu menahan rona merah itu muncul sebab panas yang entah datang dari mana sudah merambat ke sekujur wajahnya. "Apa, sih..." Dan hanya dua patah kata itulah yang hanya sanggup ia ucapkan.

"Aku tidak akan heran kalau setelah ini Kau punya penggemar."

Rasa bangga itu tidak bisa hilang setelah mendengar pujian Damar. Selanjutnya yang ia dapat setelah berada di antara kerumunan adalah berbagai lontaran pujian juga. Terutama dari Ratih yang buru-buru mendatanginya setelah penampilannya tadi.

"Luar biasa! Kau tahu, tidak, kalau penampilanmu tadi benar-benar menggemaskan, aku tidak bisa berhenti senyum tahu, hahaha. Lagu ulang tahunmu juga keren-DAN AKU TIDAK TAHU KALAU KAU JUGA BISA MENYANYI! Maksudku, ternyata suaramu bagus! Aku jadi ingin mendengarkan Kau memainkannya lagi. Asal Kau tahu saja, sebenarnya sejak awal aku tidak menyangka Kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu yang bilang akan belajar main gitar hanya karena ditantang dan aku juga tidak benar-benar berharap Kau akan serius menanggapi tantangan itu. Tapi aku ragu pada orang yang salah. Hei, aku bahkan mengira Kau sedang bermain gitar dengan tape recorder tadi. Ah, seandainya yang bermain gitar itu pujaan hatiku, pasti menyenangkan sekali rasanya." Ratih tertawa kencang sekali sambil menepuk pundak Hestia beberapa kali sebelum berlalu pergi.

Ratih tidak tahu saja sudah sekacau apa kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya. Bertambah sedikit lagi saja pujian yang datang, rasanya seperti mau terbang saja sekalian bersama kupu-kupu itu. Entah sudah ke mana raibnya rasa takut dan gugup yang sejak awal menghantuinya. Kemudian ia berpikir kembali, sia-sia saja rasanya dirinya merasa gugup kalau kenyataannya semulus itu. Hestia merasa malu karena ragu akan kemampuanya sendiri. Tidak ada yang mustahil apabila ditekuni, itu yang Hestia yakini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Puncak RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang