Bab 3 : Awal Datangnya Bencana

6 1 0
                                    

"Taja! Makan malam sudah siap, Nak!" panggil Miszha yang seharusnya terdengar dari istal. Putrinya sedang berada di sana untuk mengistirahatkan kuda yang setia menamani selama sehari penuh.

Tak lama, Taja muncul dari balik pintu dan menutupnya kembali.

"Bagaimana dengan Hammon? Sudah kau pastikan dia tidur nyenyak dengan perut kenyang malam ini?" tanya Miszha serius, mengingat kuda itu dipaksa menemani Taja selama seharian dan mungkin belum istirahat.

"Tentu, bahkan aku baru saja menyanyikan lagu untuknya," canda Taja, mencoba menenangkan hati dan pikiran ibunya yang sering kali berkelana ke mana-mana. Satu hal, Sang Ibu masih menganggapnya seperti gadis kecil yang sama seperti lima belas tahun yang lalu.

"Baiklah, aku percaya. Ini, sudah kusiapkan untukmu. Makan yang banyak!"

Sesuap demi sesuap, makanan yang disajikan ibunya telah masuk ke mulut dan memberinya energi baru. Hidangan yang sederhana tapi menjadi kesukaan keluarga. Lain dengan Miszha yang pandai memasak, putrinya itu sangat anti menyentuh pekerjaan dapur. Bila dibiarkan saja, tentu akan menjadi masalah pada keesokan hari.

"Dengar, Taja. Jangan ke mana-mana besok. Temani Ibu di rumah, ya?" rayu Miszha tanpa mengungkap keinginannya.

"Baik, tidak masalah."

Jawaban itu melegakan perasaan Miszha. "Hm, bantu Ibu memasak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Ini penting untuk masa depanmu."

Taja menghela napas. "Masa depan? Masa depan seperti apa yang Ibu maksud?" tanyanya.

"Seperti yang pernah dibicarakan ayahmu. Pernikahan. Kau akan menikah dan menjadi tanggung jawab pria yang mencintaimu."

"Tentu, Ibu. Aku akan memasak, menjahit, merias diri, apapun yang engkau inginkan.Terus terang, itu bukan masalah besar bagiku." ujar Taja pura-pura menyanggupi diri.

"Bagus!"

"Tapi tidak demi sebuah pernikahan, Bu. Aku mau belajar karena untuk diriku sendiri."

"Taja, kau sangat keras kepala! Lalu untuk apa hidupmu nanti? Selamanya menua tanpa siapapun yang berada di sampingmu? Hidup macam apa itu?!"

"Kehidupanku."

Mendengar jawaban itu, Miszha mengalah. Tiada guna berkeluh kesah sebab pada akhirnya akan sia-sia belaka. Taja tidak pernah sependapat dengannya. Walau demikian, ia tetap ingat pesan suaminya untuk memberi putri mereka waktu, termasuk untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan, termasuk cita-citanya yang aneh.

"Menjadi Kesatria Utama? Wanita?" Miszha tergelak, sampai hampir tertusuk jarum jahitnya sendiri. "Apakah menurutmu, kita sudah kehabisan kaum pria di negeri ini?"

"Memang tidak, tapi mereka semua bodoh, kecuali ayah."

Miszha semakin terpingkal dengan jawaban buntu putrinya yang semakin tidak masuk akal. "Maaf kalau ibumu ini tertawa tapi ... itu pendapat yang gila."

"Sekarang Ibu menilaiku gila?" Taja kesal namun masih sangat sayang ibunya, membiarkan pelukan wanita yang telah melahirkannya itu terasa hangat di punggungnya.

"Ya, Tuhan. Lindungilah Taja-ku ini. Dengar, begini saja, lupakan semua debat kita yang tak berujung itu. Pikirkan saja soal pernikahan, bagaimana? Bila ayahmu telah memperoleh pria yang tepat, maka kau akan setuju. Bukankah itu lebih mudah diterima?" bujuk Miszha.

Alis Taja naik. "Memang lebih mudah ... ," gumamnya.

"Benar."

"Tapi juga lebih bodoh karena itu sama saja menghentikan cita-citaku, Ibu. Aku harus menurut pada perintah suamiku. Apa gunanya sebuah pernikahan jika tidak sesuai dengan isi hatiku?"

Taja The Warrior of RhodenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang