Dua puluh menit waktu yang ditempuh selama perjalanan menuju ke sekolah Caleo, akhirnya sampai. Sandwich yang Jima buatkan pun, tinggal dua potong dan dengan segera Caleo masukkan tupperware hijau tersebut kedalam tas nya.
Caleo turun, diikuti Jima. Entah mengapa wanita paruh baya itu sangat mengkhawatirkan Caleo. Dimata Jima, Caleo itu masihlah anak kecil yang sangat rapuh dan harus Ia jaga, terlepas bahwa Caleo adalah laki-laki, yang manis.
Jima mendekati Caleo, lantas berbicara dengan nada berbisik.
"Tuan Muda, Anda berada di kelas 11 IPS-B. Letaknya di sebelah Barat lapangan tengah, Anda hanya harus berjalan dan menaiki tangga menuju Barat, jangan lupa, di lantai dua."
Caleo mengangguk. Cukup paham dengan tata letak nya.
"Aku mengerti, Jima. Tapi, apa memang sekolahnya sebesar ini?"
Sejak tadi Caleo sangat penasaran. Apa memang sekolah untuk orang berada, atau istilahnya kaya itu sebesar ini. Gedung berwarna merah bata dengan beberapa sukur tanaman merambat di dinding depan, mempercantik penglihatan. Gedungnya pun di bagi tiga, dengan masing-masing 3 lantai.
"Tentu! Baiklah, Saya akan langsung kembali. Tuan Muda segeralah masuk, sepuluh menit lagi bel."
Caleo mengangguk lagi. Kakinya membawa nya memasuki halaman parkiran depan yang tentunya penuh dengan kendaraan. Halaman depan nya saja seluas ini, bagaimana dengan dalamnya.
Caleo memasuki gedung sekolahnya, Ia pikir yang Ia lihat tadi adalah gedung aula utama dengan dinding tanaman sukur tanaman, namun ternyata, saat Ia masuk dan membalikkan tubuhnya, dapat Caleo baca dengan jelas 'Kelas Bahasa 10' dengah papan kayu besi pada lantai pertama dan lantai kedua 'Kelas Bahasa 11' dengan tangga yang berada di sebelah timur.
Membalikkan badan. Kemudian, sekarang didahapan nya, tangga dengan dua arah. Tentunya, Caleo paham. Karena tadi Jima sudah memberitahu nya, bahwa gedung IPS berada di Barat, dan mungkin yang berada di gedung timur adalah IPA.
"Eh, ada Cale Cale! Kok tumben enggak nimbrung, biasanya paling seneng kalau gangguin Jeko."
Caleo menghentikan langkahnya, tidak jadi menaiki tangga. Membalikkan tubuh, Ia melihat ada sekiranya 5 laki-laki yang tengah menatapnya.
Dahinya berkerut, berpikir. Apa Ia mengenali bahkan salah satu mereka? Sepertinya tidak. Tapi, dua orang yang berada di belakang, Ia melihatnya saat berdiri menunggu Jima tadi di rumah. Namun, tetap saja, Ia tidak mengenali mereka.
Caleo membalikkan kembali tubuhnya, mulai menaiki tangga, dan kembali berhenti ketika pendengaran nya terganggu dengan suara teriakan yang memanggil namanya.
"Caleo! Kok diem aja sih, marah ya sama Jeko? Wah bagus dongg, gitu terus aja sampe lo mati. Dasar nggak berguna!"
Kenapa sih?
"Ada apa? Aku ngga kenal kalian semua. Ngga usah sok dekat deh, apaan banget!"
OMG! Keberanian darimana yang Caleo dapatkan untuk membalas kata-kata mereka. Bahkan dulu saja Ia hanya bisa menunduk sepanjang berjalan, apalagi jika adu mulut, Ia lebih baik diam dan berakhir di ejek juga di aniaya.
"Otak lo masih berfungsi, kan? Gila kali kalau lo ngga kenal kita, apalagi Jeko nih. Kecuali lo hilang ingatan, sih."
"Iya, aku hilang ingatan. Ngga usah panggil-panggil lagi kalau cuma mau ngejek, muka kalian itu jelek. Dasar jelek!"
Caleo kembali melanjutkan langkahnya, sedikit tergesa karena tidak ingin mendengar kata-kata yang mungkin akan menyakitinya.
"SIAL! Heh, Lo ngga tau ade lo hilang ingatan, Bar? Kacau sih, ngga bilang dari tadi. Malu kan gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be a Ordinary Boy as a Figurant
Fantasy[ bacaan pribadi, update tidak menentu ] . . - @ . brothership ꒱ - @ . brotherhood ꒱ - @ . little bit boys love ꒱ - @ . fluffy , angst ꒱ . . -- Bagaimana jika Caleo si pemuda manis dengan hidup yang biasa saja, pas-pasan dan lemah, menjadi Caleo yan...