eps. 9

40 6 0
                                    

"Kak Cale nggak boleh gitu ih, nggak sopan. Emang harusnya tamu itu kita jamu tau Kak, iya kan Kak Bara?"

Dion menimpali dan dengan picik bertanya pada Reibara meminta validasi bahwa apa yang Ia katakan adalah kebenaran telak. Yang akan membuat Caleo malu dan marah padanya, sekalian saja agar Caleo bertindak bodoh di hadapan mereka.

Siapa tahu Caleo mendapat tambahan kebencian dari mereka mereka yang melindungi nya (Dion).

"Iya."

Reibara berdiri di samping Dion. Suaranya yang mengalun lembut dengan tatapan sehangat matahari pagi. Tangannya mengusak rambut Dion acak. Pemandangan yang sangat romantis bagi kakak beradik ini. Lagipula cinta mereka semua untuk Dion sama.

Reibara menarik kursi dihadapan Caleo, mendudukkan Dion disana. Sedangkan dirinya duduk disamping kanan Dion, yang lantas di ikuti teman-temannya yang lain.

"Besok lagi kalau ada tamu jangan kebiasaan nggak sopan, Cal. Siapapun tamunya. Yang dibilang Dion itu benar, contohlah Dion."

Kata-kata kejam selalu keluar dari mulut orang-orang yang busuk. Caleo malas sekali harus menggubris, maka dari itu Ia lebih memilih melanjutkan makannya. Mengabaikan Reibara, mendengar dari telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Lagipun untuk apa mencontoh Dion. Di lihat dengan mata telanjang pun Ia tahu bagaimana sifat Dion : egois, selalu ingin menang, labil, ingin menjadi pusat perhatian, tidak tahu malu. Lalu, apa yang mereka lihat dari Dion? Wajahnya yang katanya imut dan cantik? hehe, bukannya mau sombong tapi karena Ia selalu bercermin di pagi dan malam hari, Ia rasa Ia lebih cantik dan imut dari Dion.

Itu fakta.

Reibara yang melihat Caleo acuh memakan makanannya menjadi sedikit sebal. Seharusnya Caleo saat ini manatapnya dengan binar mata penuh rindu, meskipun Ia hanya mengucap kata-kata kejam padanya.

Karena mau apapun kata-kata yang keluar dari Reibara, Caleo akan selalu menatapnya dengan binar mata yang tidak pernah redup. Itu di sebabkan karena jarangnya Reibara berbicara padanya.

Selalu, setiap harinya Reibara lihat kecemburuan di wajah Caleo kala melihat dirinya dan Dion berbicara sepuas hati dengan leluasa, tidak seperti Caleo yang ingin berbicara dengannya harus bersusah payah terlebih dulu. Ayolah, siapa yang mau berbicara dengan pembunuh kecil.

Jelas bahwa Reibara tidak sudi. Jika bukan terpaksa, mana mau dirinya membuka suara untuk Caleo.

Namun sekarang tidak ada lagi binar dimatanya, bahkan menatap pun tidak. Apa yang terjadi pada Caleo beberapa hari ini?

Perubahan kecil yang dilakukan Caleo tidak berdampak besar untuk dirinya, jadi Reibara tetap cuek. Toh, malah bagus jika Caleo menjadi lebih pendiam dan tidak menjadi pembuat onar lagi. Mengurangi keresahan dan bebannya.

Sedim yang melihat Caleo nampak tidak peduli menjadi sedikit bingung. Pasalnya, sebelumnya, tidak sekalipun Caleo mengabaikan terlebih cuek pada Reibara yang berbicara padanya. Dan sekarang, semua itu berbalik saat ini.

"Tumben amat lo cuek? Ngerasa sakit hati apa gimana?"

Karena rasa penasaran yang besar, Sedim mengajukan pertanyaan berikut. Namun sudah beberapa menit berlalu Sedim tak kunjung diberi jawaban oleh Caleo.

"Kakak loh, ditanya sama Kak Sedim. Dijawab dulu dong Kak, masa ditanya engga dijawab—

Caleo mengehal nafas agak kasar membuat Dion mengerutkan kening seraya berhenti sebelum menuntaskan kalimatnya. Kemudian senyum tipis dengan maksud Ia tampilkan tanpa ada yang mengetahui.

"—Oh, mungkin Kak Cale capek ya? Maaf ya, Kak Sedim. Kak Cale memang kebiasaan kalau ditanya engga mau jawab. Tolong dimaklumi."

"Kebiasaan gak baik kok diterusin, gimana orang lain mau betah, hadeh hadeh."

Dion hanya tersenyum memaklumi. Sekilas terlihat membantu Caleo dan terkesan baik, ya, pada permukaan nya. Siapa yang akan tahu apa yang Ia rencakan dengan otak kecilnya yang picik.

"Udah. Makan aja, jangan ribut mulu."

Suasana kembali hening, tidak ada yang berkcakap-cakap lagi. Hanya bunyi dentingan dari sendok dan piring sesekali.

.
.

Malam hari yang dingin, Caleo berada dikamarnya. Menaikkan suhu ac agar tidak menjadi sangat dingin, badannya bergelung selimut, Ia terduduk di kasurnya yang empuk. Dengan buku bersampul cokelat yang Ia pinjam di perpustakaan sekolah.

Katakanlah jika Ia percaya Ia masuk kedalam buku tersebut. Namun yang membingungkan ialah, bahwa jelas-jelas buku dengan cokelat itu belum menyelesaikan setengah dari semua lembaran yang ada dalam buku, kenyataan nya hanya 2 lembar yang telah berisi coretan tinta hitam.

Atau, jika bahwa Ia mengalami perjalanan waktu dan mendekam di tubuh orang lain dengan nama yang sama. Mengalami kehidupan baru dengan tubuh lain di dunia yang baru.

Katakanlah jika Ia percaya. Lantas bagaimana dan harus dengan cara apa Ia, jika ingin kembali kedunia nya sendiri? Apakah Caleo harus menjalani hidup barunya dengan serba baru sampai nanti jika waktunya tiba, Ia secara acak kembali kedunia nya?

Atau harus merampungkan buku bersampul cokelat yang dihadapan matanya dengan tinta kehidupannya sendiri?

Yah, mari jalani hidup baru dengan apapun yang serba baru sekarang. Tidak akan lagi merasa canggung seperti sebelumnya, karena sebelumnya Ia masih berpikir dan berharap bahwa apa yang Ia jalani adalah mimpi panjang belaka yang akan pudar seiring Ia terbangun. Yang nyatanya Ia tertampar dengan realita bahwa Ia tak kunjung terbangun dari 'mimpinya' tersebut.

Ngomong-ngomong soal buku sampul cokelat, sepertinya tenggat waktu hanya sampai besok.

"Mau bagaimana lagi, buku ini kosong. Tidak ada hal lain yang dapat dipecahkan dari ini."

Mungkin memang buku tersebut kosong. Dan, mungkin saja memang berisikan sinopsis dari hidup seseorang yang tragis, yang ingin diabadikan oleh buku tersebut.

Atau, buku cerita akan tertulis sendirinya saat pemeran utama dalam buku tersebut memulai perannya, berkeinginan menjalani hidupnya pada dunia yang sudah buku kosong tersebut tetapkan.

Semuanya deduksi menjadi transparan, karena semua kemungkinan bisa saja terjadi. Berpasrah diri dan menjalani kehidupan dengan menyenangkan mungkin tidak akan terlalu memberatkan pikirannya.

"Mm, lebih baik aku tidur dan bangun pagi."

Meletakkan buku bersampul cokelat masuk kedalam tas nya. Tangan kecil Caleo mengambil apel merah yang selalu Jima siapkan—adapun jeruk, pear, dan anggur—di nakas dimalam hari untuk Caleo. Jangan lupakan juga segelas susu hangat.

Setidaknya pun jika menjalani hidup kedepannya Ia memiliki Jima yang bisa diandalkan. Bagaikan orang tua yang tidak Caleo punya pada kehidupannya dulu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

To Be a Ordinary Boy as a Figurant Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang