Finish 2

5 2 0
                                    


"Mah, Mamah benci nggak sama Papa?"

Rahayu yang sedang minum tersedak hingga membuatnya terbatuk beberapa kali. Saat ini Lyra dan Rahayu menikmati quality time mereka. Rutinan tiap malam, duduk santai di depan televisi dengan kripik emping yang menjadi pelengkapnya.

Sekalipun ada kesibukan, Rahayu atau Lyra akan tetap duduk di sofa membawa serta  tumpukan pekerjaan mereka di sana. Hal yang selalu membuat Lyra semakin bertekad untuk membuat Mamahnya bahagia esok hari. Meskipun mungkin Rahayu sangat menikmati pekerjaannya namun tetap saja Lyra merasa kasihan jika melihat Rahayu harus lembur karena mengerjakan laporan untuk ia serahkan ke puskesmas.

"Kalau dulu iya, tapi sekarang sudah nggak Sayang. Mamah sudah maafin Papa, Mamah ikhlas. Karena itu yang bisa bikin hati kita damai," sahut Rahayu.

"Kok bisa?" Lyra benar-benar tak habis pikir dengan penerimaan Rahayu tentang apa yang telah Papanya lakukan pada wanita itu.

"Marah atau membenci seseorang itu juga bisa bikin kita capek lho. Dari pada itu, Mamah lebih banyak bersyukurnya. Karena Mamah punya Mbak Ira sama Mas Deva."

Sudut hati Lyra tak terima dengan ucapan Rahayu, ia masih membenci Papanya, bahkan hingga detik ini terkadang merasa bahwa dunia tak adil karena memberikan Lyra seorang Ayah seperti Papanya.

Orang yang menyakiti Mamahnya sedemikian rupa dan membuang mereka begitu saja karena tawaran jabatan di depan mata.

"Mbak Ira masih kecewa sama Papa?" Rahayu tak menyebutkan kalimat benci di dalamnya. Namun Lyra malah mempertagasnya.

"Hm, benci lebih tepatnya," sahut Lyra lugas tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar tv.

Gadis itu menjatuhkan kepalanya pada paha Rahayu, menjadikannya bantal hingga Rahayu bisa dengan jelas melihat paras putrinya.

"Mbak, hidup akan terus berjalan terlepas hadir atau tidaknya sosok Papah di sini. Jangan membebani hati Mbak Ira dengan kebencian," nasehat Rahayu lembut dengan Tangan yang terus mengusap rambut Lyra.

Gadis itu tak menjawab, hanya diam sembari menikmati elusan tangan sang Mamah. Ia ingin menceritakan tentang apa yang Gemy lakukan padanya, namun Lyra memilih diam. Tak mungkin ia membebani Rahayu dengan kisah romansa abu-abunya.

"Mau kan maafin Papa?"

"Kalau Papa datang ke sini terus secara langsung minta maaf sama Mamah. Ira pasti bakal Maafin," sahut Lyra.

Kalau waktu itu datang mungkin Lyra akan sedikit menerima kembali keberadaan Papanya.

Rahayu tertawa ringan memantik keheranan Lyra. Apa yang lucu? Bagian mana kata-katanya yang Mamahnya anggap lucu?

Ah ... Lyra baru menyadari kalimatnya. Ya ... mana mungkin Papahnya datang dan meminta maaf pada Mamahnya. Beliau kan tidak tahu alamat rumah mereka.

Rahayu, Lyra, dan Deva benar-benar membuka lembaran baru di kehidupan mereka sejak keluar dari Jakarta dan tak ada satu kerabat pun dari pihak Papahnya yang tahu dimana mereka.

Deva menutup segala bentuk komunikasi dengan semua kerabat hingga mereka benar-benar hanya bergantung satu sama lain di tempat mereka tinggal saat ini.

"Anak Mamah baik, cantik, pinter. Pasti bisa kan membersihkan hati dari noda yang tidak baik? Jadi pemaaf ya biar umur panjang."

"Nggak janji Mah. Tapi Mamah harus inget kalau Ira sayang sama Mamah. Jangan bebani pikiran Mamah sama perasaan Ira. Mungkin ... lambat laun Ira juga bisa melupakan hal itu."

'Melupakan keberadaan Papah lebih tepatnya," lanjut Lyra dalam hati.

****

Sejak subuh dering ponsel Lyra telah beberapa kali berbunyi, penampilkan pop up yang berisikan kesiapan tentang acara yang akan di mulai kurang dari tiga jam lagi.

Gemy Vs LyraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang