16. Pergi

11.3K 702 14
                                    

"Aku titip butik, ya udah aku matiin dulu." Ucapku. Mematikan panggilan telepon dengan Sarah. 

Aku menarik napas panjang, dan menghembuskannya secara perlahan. Dadaku masih sesak, belum lagi mata yang sembab karena terlalu banyak menangis. Padahal ini sudah berjam - jam dari terakhir kami bertengkar, tapi rasanya masih sama. Masih sakit dan perih.

Ku edarkan pandanganku, memperhatikan kamar yang sepi. Lelaki itu sudah pergi entah ke mana. Tadi, ia memang berpamitan, tapi aku lupa dengan apa yang ia katakan. Aku terlalu banyak menangis, sehingga ingatanku sedikit terganggu. 

Untuk pertama kalinya, aku melihat Ribas setakut itu. Aku tahu, ia sedang berusaha memperbaiki hubungan kami, tapi sudahlah, aku benar - benar ingin lepas darinya.

Ku usap kembali air mata yang mulai berjatuhan, kenapa harus sesakit ini mengingat semua ucapannya. Ia memintaku melupakan semuanya, tapi bagaimana kalau kesakitan itu sudah tertanam sempurna di hatiku.

Sepertinya aku memang jahat, iya, aku memang jahat. Kenapa dulu aku terlalu polos, kenapa aku tak terpikirkan bagaimana perasaan Alea? 

Wanita yang dicintai Ribas itu pasti terluka karena kelakuanku dan juga orang tuaku. Wanita seperti apa aku ini! Aku luar biasa malu karena menganggap diriku adalah korban.

Isakanku mulai terdengar, dan nyatanya aku sakit mendengar tangisanku sendiri. 

Aku malu!

Aku jahat!

Aku terlalu percaya diri, dengan menganggap dia lelaki jahat, padahal kenyataannya, aku dan kedua orang tuaku lah yang jahat.

Kepalaku mengangguk yakin, menyetujui pemikiranku sendiri. Aku memutuskan untuk pergi, aku harus pergi dan menjauh dari Ribas. Walau ada sebagian dari hatiku yang tak rela, mengingat ucapannya yang ingin memperbaiki semuanya. 

Tapi sudahlah, kesalahanku sudah banyak, dan aku tak mau semakin menyakiti hati Alea. Bagaimana sekarang bentuk hatinya, kalau ia tahu suaminya mulai perhatian padaku. Wanita seperti apa aku ini, sampai tega menyakitinya untuk kesekian kali. Memalukan Kinaya! Hidupmu benar - benar memalukan. 

Merasa sebagai korban, padahal nyatanya merekalah korban karena ke egoisanku dan juga orang tuaku.



***

Aku pergi walau hanya ke rumah orang tuaku. Ingin menetap entah sampai kapan di sini, intinya aku tak lagi berniat tinggal di rumah yang dulu ia sediakan. Ia tak mungkin berani ke sini, selain membenci orang tuaku, ia juga pasti malas menemuiku dan Keenan. 

Memang apa artinya aku dan Keenan untuknya? 

Aku meletakkan tiga koper milikku dan Keenan disudut ruangan. Tak berniat mengeluarkan isinya karena aku masih lelah. Kupandangi Keenan yang sudah melesat keluar untuk menemui baby Ara, sudah pasti ia senang di sini karena bisa sepuasnya bertemu dengan sepupu kesayangannya itu.

Keenan, tak banyak bertanya ketika aku mengatakan akan tinggal di rumah Oma dan Opanya. Ia hanya mengangguk dengan mata yang tertuju menatap wajahku. Pasti banyak yang ia pikirkan, tapi malas untuk ia ungkapkan. Biarlah dulu, biarkan semua terlihat egois. 

Aku ikut melangkah keluar, ingin menemui orang tuaku dan juga adik - adikku. Nadia, adikku yang sudah menikah, memang masih tinggal di sini karena rumah yang mereka bangun belum selesai. Sedangkan adikku yang bungsu, sibuk kuliah, dan aku lupa ia sudah semester berapa. Ia anak yang aktif dengan banyak kegiatan, dan sangat jarang berada di rumah. Tapi yang mengherankan, Keenan sangat dekat dengannya. 

"Pasti habis berantem ya?" Bisik Nadia. Ia menatap dengan intens wajahku, menatap rupaku yang benar - benar menyedihkan.

"Iya, yang ini kayaknya parah banget." Jawabku, tanpa berniat berbisik sepertinya. Keenan sedang bermain dengan adik bungsuku, Ghiska, dan juga baby Ara. Sedangkan kedua orang tuaku ikut duduk di sofa yang tak begitu jauh dari kami.

Aku melirik Ayah dan Ibu, berharap mereka mendengar apa yang aku ucapkan. Salah satu niatku datang ke sini adalah ingin menggali semuanya dari mereka. Ini harus segera diselesaikan, dan sudah pasti mereka harus dilibatkan.

"Ibu sama Ayah, mau bantuin Kakak kan?" Tanyaku. Menatap wajah mereka yang terlihat bersedih. "Kakak pengin cerai, Kakak udah nggak sanggup dengan pernikahan ini." Ucapku lagi. Aku harus mengatakan ini, agar bisa lepas dari drama rumah tanggaku.

"Dibandingkan Kakak, Ayah dan Ibu pasti tahu semuanya. Kakak capek, luar biasa capek! Tolong bantuin Kakak biar bisa lepas dari Mas Ribas." Ucapku terbata - bata. Lagi - lagi aku menangis, menangisi sesuatu yang menyakitkan untukku. 

Kupandangi  wajah kedua orang tuaku, wajah yang sudah mulai menua dan terlihat lelah. Aku tak berbohong, wajah itu terlihat jelas menahan banyak beban, dan di antara beban itu, aku pastikan beban dari cerita hidupku yang paling menyakiti mereka.

"Iya, Kakak tenang aja. Ayah dan Ibu akan menyelesaikan ini semua. Kami janji!"



Bersambung.









RETAK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang