Algorithm 4 (part1)

2 0 0
                                    


Abi Terbaik

Ayah mungkin bukan yang melahirkan ku tapi peranan dalam hidup ku begitu besar, ia super hero dalam kisah ku. Namun super hiro juga bisa membuat kesalahan.


****

Sepulang dari sekolah aku tidak langsung mandi malah mendekati umi yang tengah memasak.

"Wah harumnya... " aku mengirup dalam-dalam aroma wangi masakan umi yang tidak ada duanya.

"Udah pulang Kak?" Ucap umi, aku pun menyalami tangan nya. Dan mengangguk.

"Baru aja pulang."

Umi mengangguk, "Abi mau bicara sama kamu kak."

Aku mengambil sendok lantas mengambil masakan umi yang baru saja matang dan memakannya, tanpa aku tiup terlebih dahulu, sebuah kebiasaan ku.

"Awas panas kakak!"

Aku hanya tertawa kecil melihat umi yang marah, "Abi mau bicara apa mi?"

"Samperin aja jangan banyak bicara!"

"Iya umi ...."

Aku pun memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum menemui Abi, karena Abi akan mengomelinya karena pulang dari sekolah tidak ganti pakaian.

Setelah mandi aku pun masuk ke kamar Abi, Abi tengah duduk bersandar di kasur sambil membaca Al-Quran, tubuhnya semakin kurus saja kemarin saat ia kuliah tidak sekurus itu dan kenapa Abi terlihat lebih lemah dari sebelumnya meski kini Abi tengah duduk dan membaca kitab suci al quran namun tak khayal karena ada infusan dan beberapa obat di kamar Abi.

"Assalamualaikum Abi."

"Waalaikumsalam, kemari kak." Ucap Abi menyuruh ku mendekat, aku mendengar suara parau nya yang begitu lemah.

"Abi mau bicara apa?"

Abi menyimpan Al-Qur'an itu dan menatap anak sulungnya yang sudah besar. Melihatnya pun membuat abinya tersenyum haru.

"Kakak sudah besar ..." Ucap Abi sambil mengelus rambut ku yang sedikit basah, aku pun menggenggam tangan Abi yang terasa dingin dan mendengar apa yang ingin abinya itu katakan.

"Abi ingin sekali melihat mu menikah."

Aku terkejut mendengarnya, apa maksud Abi?

"Abi bisa melihat ku menikah nanti."

"Kapan nak?"

"Nanti bi, setelah kuliah."

"Kamu selalu bicara seperti itu, kemarin kamu juga sama setelah lulus kuliah tapi sekarang kamu akan segera wisuda lagi tapi janji itu belum juga kamu penuhi."

"Bukan begitu Bi, tapi kakak belum—"

"Belum ada pasangan?" Potong abinya. Aku bingung harus menjawab apa, aku punya sosok yang aku cintai tapi jika tiba-tiba mengajaknya menikah itu akan membuat nya aneh. Dan tidak mungkin.

"Melihat mu diam Abi tahu kamu tidak punya pacar," Abi terkekeh pelan, melihat Abi Yang sakit-sakitan seperti ini membuat ku tak ingin melihatnya, aku tidak ingin melihat orang yang aku sayangi menderita seperti ini.

"Kakak tahu kan umur Abi tidak akan lama lagi ..."

"Kenapa Abi bicara seperti itu? Abi akan sehat lagi, aku akan berusaha untuk membiayai pengobatan Abi... Abi harus sembuh." Aku menatap abi sungguh-sungguh.

"Tenanglah nak, dan simpan uang mu untuk menikah."

"Ada apa dengan abi? Jangan berkata seperti itu."

"Abi ingin kamu menikah kak, sebelum Abi tiada."

"Tapi bi—"

"Menikahlah dengan anaknya teman Abi, Abi percaya dengannya yang bisa menjaga mu dan menjaga keluarga kita setelah Abi tiada."

"Abi—" aku benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi, aku tidak bisa protes saat melihat keadaannya yang seperti ini juga permintaannya yang sangat begitu mustahil untuknya.

"Hafida. Menikahlah dengan nya."

Seperti ada batu yang menimpa kepalaku, aku tidak bisa berkata-kata apapun sekarang. Siapa? Siapa gadis yang menarik perhatian ayahnya seperti ini.

"Kakak maukan kabulin permintaan Abi untuk terakhir kalinya?" Ucap Abi dengan suara serak dan lemahnya itu. Sebelum aku menjawab Abi tiba-tiba batuk hingga mulutnya terdapat darah membuat ku panik.

"Abi, minum dulu ..." Aku segera mengelap darahnya dan memberikan Abi minum. Beberapa saat kemudian kondisi Abi membaik dan aku membantunya untuk tiduran.

"Abi harus sehat ..." ucapku sedikit parau, sungguh aku tidak bisa melihatnya seperti ini.

"Kakak tidak mau kabulin permintaan Abi?" Tanya Abi membuat ku tak ada pilihan lain.

"Mau Abi."

"Terimakasih kak." Aku memeluk Abi yang begitu rapuh, aku tidak pernah melihatnya seperti ini. Abi nya yang dulu yang kuat menggendongnya dan bermain bersamanya kini terkulai lemah. Aku mengusap air mata ku yang menetes.

Dan tanpa keduanya ketahui umi menguping pembicaraan mereka, ia ikut sedih mendengarnya. Melihat suaminya yang seperti itu. Dan tempo hari juga suaminya berbicara kepadanya hal yang sama, hingga umi berjanji untuk menikahkan kakak segera mungkin.

***

"Kakak sudah bicara sama abi?" Tanya umi, aku mengangguk. Lantas mengambil nasi dan mulai makan.

"Apa kata Abi?"

"Abi ingin aku menikah dengan anak temannya."

Umi menggenggam tangan ku dengan lembut juga dengan tatapan matanya,"menikahlah.... Tidak apa, umi paham dengan apa yang kamu pikirkan tapi ini permintaan Abi mu dan umi tahu siapa gadis itu dan dia sangat baik, manis dan juga ia cantik."

"Tapi mi aku belum siap lagipun masa zaman sekarang ada perjodohan gini."

"Berumahtangga itu emang perlu kesiapan yang matang, kamu bisa mempersiapkannya mulai sekarang dan ya terkadang menikah itu sedikit harus di paksakan menunggu kita siap bisa sampai bertahun-tahun lamanya... Atau bisa jadi kita tidak siap untuk selamanya dan ya ini bukan di jodoh-jodohkan mungkin memang kalian sudah ditakdirkan berjodoh bagaimana?"

umi menyentuh bahu kakak, menatapnya dengan tatapan lembut dan penuh perhatian. "Percayalah... Pilihan Abi mu tidak salah dan yang terbaik dari Allah untuk mu."

"Apa gadis itu mau menikah dengan ku?" Tanya ku. entah harus bagaimana aku mengekspresikan ini semua.

"Abi sudah bicara dengan nya tempo lalu dan dia nanti akan kemari kamu bisa mulai bicara dengannya dan mendiskusikan hal ini."

"Bagaimana kalo dia menolak?" tanyaku lagi, aku benar-benar berharap dia menolak.

"Dia gak mungkin menolak anak umi yang tampan ini." Umi terkekeh geli sambil menatapku, tapi ini sangat tidak lucu tapi umi malah tertawa.

"Tapi umi..."

"Berjanjilah apapun yang terjadi kamu akan menikah dengannya, dan berjanjilah tidak akan menyakiti nya karena kamu terpaksa menikah dengannya."

"Umi..."

"Umi tahu kamu bisa, seperti biasanya kamu akan selalu menyelesaikan masalah mu."

Aku hanya bisa menghela nafas berat lantas segera menghabiskan makanan ku tanpa berselera. selama ini ia tidak pernah melanggar ucapan umi dan abinya namun apakah kali ini juga ia harus menuruti permintaan mereka.

Syntax of Love: Guru and the Unexpected BondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang