11

1 0 0
                                    

Tara balik ke kamar sesaat setelah tahu siapa yang mengirimnya chat. Tanpa perlu menunggu, Tara rasa tidak ada salahnya ia mencoba peruntungan dengan orang ini, apalagi Natta dikenal sebagai sosok berhati malaikat, baik hati dan down to earth. Kebetulan sekali dia ngechat.

Tara;
boleh telpon, enggak Va?

Tak perlu waktu lama—sepertinya Natta tidak punya kegiatan—Natta segera membalas.

+628527090XXXX;
sure

Tara segera memencet ikon telepon genggam dan langsung tersambung dengan Natta.

“Kenapa Ra?” suara Natta menyambut Tara.

Tara menggigit bibirnya, haruskah ia minta tolong sama Natta buat anterin ke puncak? Bukankah itu sangat random dan enggak tahu malu? Tara menggeleng, bodo amat. Rasa malu enggak usah dibawa-bawa untuk kasus yang satu ini.

“Lo sibuk engga, Va?” tanya Tara to the point.

“Kenapa emangnya, Ra?”

“Lo jawab dulu, baru gue nentuin apa yang akan gue mau omongin ke elo selanjutnya.”

“Enggak. Ada apa, Ra?”

“Yang bener?” Tara agak ragu, mungkin Natta bilang begitu karena mendengar nada suara Tara seperti memberi sinyal minta tolong.

“Iya, Kastara, gue enggak sibuk. Ada apa?”

“Gue butuh ... bantuan lo Ta.”

Wait, lo kenapa, Ra? Ada sesuatu yang terjadi?

“Gini, kenapa gue minta tolong sama lo karena gue kehabisan orang dipikiran gue buat dimintain pertolongan. Lo lihat, dengar dan pasti tahu tadi gue dipinggir selokan ngomongin siapa kan pas teleponan? Jadi kalau lo nolongin gue, gue enggak perlu jelasin apa-apa ke elo ketibang gue minta tolong ke Putri, Riva, Alika.”

“I see, so what should I do to help you?”

“Temenin gue ke puncak buat nyusul temen gue yang digondol Arle. Kalo lo bersedia, gue butuh lo buat temenin aja Ta. Sorry gue udah enggak tahu harus ngomong apa ke elo. Gue tahu ini tiba-tiba banget dan aneh banget yang biasanya gue enggak pernah ada urusan sama lo, sekarang malah minta bantuan yang ribet. Tapi gue seenggak tahu itu mau minta tolong siapa. Tapi gue juga enggak mau ganggu lo, kalau enggak bisa enggak apa-apa Ta, santai.

“Well, gue free dan bisa. But why do you need me to take you to puncak? I know you can do it yourself, right?

“Jadi, Ibu gue enggak izinin kalau gue sendirian. Nanti semisal lo bisa dan mau, gue bakal nyusul lo pake taksi ke rumah lo dan kita kesana, gue cuma butuh temen biar diizinin.”

Ada jeda, sebelum Natta bicara.

“I see, tapi gue pikir dulu ya Ra,”

“Enggak apa-apa, tapi tolong banget jangan lama-lama soalnya Lulu sama Arle udah OTW.”

Sambungan telepon dimatikan.

Tara membuka lemari bajunya, ia sudah punya plan B. Jika Natta tidak bisa, ia akan ke rumah temannya Rami (Adik kelasnya) yang terletak di gang sebelah. Ia akan meminta Adik kelasnya itu untuk pura-pura menemaninya, itupun jika Rami ada disana. Atau ia akan meminta Putri pura-pura menemani Tara ke puncak dan Tara akan memakai alasan dia ingin pergi pacaran dengan seorang cowok kepada Putri.

Ah, gitu aja deh.

Tara melirik jam yang sudah menunjuk pukul setengah 3. Sekitar 10 menit yang lalu, Lulu pasti sudah dijemput Arle. Tara segera mengganti seragam sekolahnya dengan tshirt biru tua polos dan celana bahan hitam. Ia menarik asal tas selempangnya dan memastikan uang didalam dompetnya cukup.

Dibawah Bulan, Pantai dan PasirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang