Tara lagi membalas chat temen onlinenya sambil menyantap bekalnya sendirian dan kelas sedang sepi di jam istirahat karena beberapa murid ke kantin saat suara gaduh diluar kelas Tara menyita perhatian sebagian murid yang berada didalam kelas, termasuk Tara. Putri di UKS karena dia anak PMR yang sedang ada jadwal jaga. Sedangkan Alika dan Riva langsung meluncur ke kantin setelah bel istirahat.

Beberapa murid hendak mengintip lewat jendela sampai suara gedebuk bak sesuatu yang jatuh ke lantai terdengar, dibarengi sorakan umpatan dan teriakkan kesakitan cowok. Tara dan yang lain sontak berbondong-bondong keluar kelas untuk melihat apa yang terjadi.

Hal yang sangat mengejutkan dan tidak terduga ialah: Arle tersungkur diatas lantai sambil memegang perutnya. Didepannya, Marcel berdiri dengan pipi yang lebam. Tatapan mata Marcel seperti merendahkan Arle yang mendesis,—menahan sakit pada perutnya—yang Tara asumsikan akibat ditonjok oleh Marcel.

Bagaimana bisa seorang Arle dan Marcel, the partner in crime yang selalu kompak dalam segala hal negatif dan berteman akrab, sekarang bertengkar sampai lebam-lebam!

Selama sekelas dengan Arle dan Marcel, yang Tara tahu, mereka bukan tipikal anak bandel tukang cari ribut di sekolah, dan preman sekolah. Adu jotos dilingkup sekolah bukan gaya mereka. Mereka adalah tipikal nakal yang suka mabok, judi jalanan seperti balapan mobil atau motor dan street fighter. Semacam itulah. Mereka beraksinya diluar sekolah.

Pasti ada pertikaian besar yang terjadi diantara mereka hingga mereka berdua lepas kendali di sekolah. Semua juga pasti terkejut, bisa-bisa menggegerkan satu sekolah.

Tara beralih dari menatap Arle ke Marcel.

We are not even a real bro, I can kill you if you bother me.” desis Marcel.

Marcel meludah sembarangan.

Tara yang terlalu fokus menatap Marcel karena syok, tak sadar tatapan mereka beradu. Marcel memutuskan kontak matanya dengan Tara kemudian balik badan dan pergi dari sana.

Tara yang masih syok segera sadar akan suatu hal. Ia berlari menyusul Marcel yang sudah jauh didepan, karena cowok itu berlari juga. Tara yakin Marcel pasti akan kabur dari sekolah lewat gerbang depan. Cuma murid segila Marcel yang berani terang-terangan mabal lewat gerbang depan.

Tara sempat berpapasan dengan Alika dan Riva yang bertanya Tara mau kemana karena dia berlari-lari di koridor kelas, namun Tara hanya menjawab 'ada urusan' dan terus berlari sampai ke gerbang depan. Ia berhasil menyusul Marcel, Tara tiba di pagar besi bercat biru langit sekolahnya, ketika Marcel menyelinap begitu saja tanpa ketahuan satpam. Privilege yang cowok itu punya begitu nyata, Marcel bisa dengan leluasa keluar tanpa di sorakin satpam.

“WOI MARCEL!” sorak Tara sebelum Marcel lolos dari pandangannya.

Marcel sudah keluar pagar, namun cowok itu berhenti dan berbalik. Wajah masam dan datarnya membuat Tara gentar sedikit dengan mundur selangkah. Meski sudah sampai di pagar, namun Tara enggak berani melewati pagar.

“Apaan?” tanya Marcel ketus.

Tara mengatur nafasnya karena ngos-ngosan. Ia mengangkat tangan, menginterupsi Marcel untuk memberinya jeda bernafas normal.

“Lo kenapa sama si Arle? Pasti ini ada hubungannya sama Lulu dan Arle kan?”

“Enggak usah sok tau.” desis Marcel.

“Tapi faktanya gue tau, lo tinggal bilang ke gue kalau itu karena Arle dan Lulu atau enggak. Simple kan? Kalau lo bilang gue sok tau, justru gue semakin yakin sama asumsi gue.” Tara menghembuskan nafasnya pelan.

“Lo enggak usah ikut campur sama urusan temen lo deh.” Marcel memperingati dengan nada yang Tara dengar sangat menyebalkan.

Cowok yang punya tahi lalat di dagu itu mengibaskan tangannya, mengusir Tara. “Udah lo balik aja,” sambung Marcel.

Marcel memang menyeramkan, bahkan kalau ngobrol biasa dengan cowok ini saja, rasanya seperti terintimidasi dan dikuliti. Apalagi ngomong disaat-saat suasana hati Marcel—yang entah cowok itu punya hati atau tidak—sedang tidak bagus. Tapi Tara tidak mau menunjukkan bahwa dia gentar dihadapan Marcel yang tengah menatapnya remeh.

Tara melotot, matanya yang besar adalah senjata pemantik keberaniannya.

“Maksud lo apa? Gue jelas-jelas dilibatkan sama Lulu, maka gue terlibat. Apa bedanya sama lo? Lo juga ikut campur urusan temen lo, Arle.”

Marcel berdecak. “See? Lo enggak tau apa-apa. That son of bitch not my friend, not at all.”

Tara berdecih,“Basi tau enggak? Satu sekolah tau lo sama dia itu sohib keras!” suara Tara meninggi.

“Kalau gue emang temennya, gue enggak mungkin ngasih rekaman dia ke temen lo itu, paham lo sampe sini?” ujar Marcel sedikit membentak.

Tara mengepalkan tangannya. “Oh, jadi lo make kondisi temen gue buat jatuhin Arle pake rekaman itu, gitu kan? Biar tangan lo bersih? Emang bangsat lo berdua.” ujar Tara emosi.

Marcel terdiam, Tara menebak dugaannya benar.

“Gue bilang jangan sok tau deh,” Marcel berdecak malas.

“Marcel, gue benci lo tapi gue lebih benci Arle yang nyakitin temen gue. Kalau lo mau jatuhin Arle, jangan libatkan Lulu!”

“Temen lo itu yang bego, dia sama Arle itu sama-sama bego. Cocok kan?”

Tara menganga, hendak membalas ucapan Marcel namun Marcel segera berbicara lagi.

You don't want to end up like your friend do you? Gue kasih tau lo demi kebaikan lo. Jangan berurusan sama Arle, dia bisa bikin hidup lo hancur. Lo enggak kenal dia. Dan jangan jadiin cerita dari temen lo itu sebagai kesimpulan lo.”

“Hidup gue enggak akan hancur karena Arle, sialan.” ujar Tara dengan tatapan tajam. Ucapan Marcel seolah-olah Arle orang berbahaya. Padahal Arle siapa emangnya bisa membolak-balikkan hidup orang? Dia punya nama orang tuanya doang kok.

Marcel mengedikkan bahu, ia menyebrang jalan dan hilang dari pandangan Tara. Tara melamun karena memikirkan ucapan Marcel yang membuat Tara ragu dengan Lulu, tapi masa sih? Mereka kan berteman lama, Lulu udah menceritakan semua kok. Tara percaya sama Lulu.

Tara berjengit kaget karena klakson dari Audi hitam yang hendak masuk. Tara langsung menyingkir. Mobil itu masuk kedalam area sekolah dan parkir disamping pos satpam.

Tara melirik cowok itu yang baru keluar dari mobil, entah Natta ada urusan diluar atau memang terlambat, tapi emangnya ini masih bisa disebut terlambat padahal jelas-jelas udah jam 12 siang? Ah, ngapain juga Tara mikirin, dia kan sama aja kayak Marcel, sama-sama punya privilage

*****

To be continue

Dibawah Bulan, Pantai dan PasirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang