Sekitar ada 6 murid yang akan pergi menjenguk Viko yang sudah dirawat jalan karen sakit DBD, sepulang sekolah. Diantaranya adalah ketua kelas, wakil, bendahara dan dua sohib Viko di kelas ini. Natta dan Gusti. Namun Natta sepertinya tidak bisa ikut, karena sejak istirahat cowok itu belum balik ke kelas dan dipastikan sibuk.

“Eh, masa berlima doang? Emang yang lain enggak boleh ikut ya?” tanya Alika terdengar menyindir, nimbrung saat kelima orang itu mengumpul di meja Fandi untuk membahas keberangkatan ke rumah Viko.

“Yaudah kalau mau ikut mah ikut aja.” sahut Fandi santai.

“Beneran boleh emang?” 

“Ya boleh, cuma nanti izin lagi ke Mamanya Viko, yang ikut jadinya sekelas. Biar enggak kaget dateng sebanyak ini.”

Tara ikut nimbrung. “Lagian elo pilih kasih Fan, yang ikut masa lima orang doang. Viko kan juga temen kita. Kita juga mau liat dia baik-baik aja apa enggak. Lagian udah rawat inap kok dia, enggak bakal keganggu.”

“Bijak banget lo, Ra.” celetuk Fandi.

“Yaiyalah,” Tara mesem.

Fandi berdecak. “Yaudah ikut aja dah semua, gue telepon dulu nih Mamanya Viko. Bilangin ke yang lain gih, kalau mau ikut jangan balik dulu, biar barengan kesananya.”

“YANG MAU IKUT JENGUK VIKO JANGAN PULANG, KITA KESANA BARENG-BARENG!” Tara berteriak, dia keluar kelas untuk mengecek teman-temannya yang sudah keluar kelas, berniat balik.

“Cempreng banget sih temen lo, Lik,” ujar Fandi kepada Alika yang tidak ditanggapi.

Disaat Fandi menelepon Mama Viko, wakil ketua kelas, Nahla, mengabsen siapa saja yang tidak bawa kendaraan.

“Ra, gue mau ikut jenguk Viko, tapi gue nebeng sama lo ya,” ujar Putri, langsung booking Tara.

“Motor lo belom selesai?” tanya Tara, mengingat kemarin Putri bilang rem motornya blong. Putri mengangguk.

Alika dan Riva sama-sama tidak bawa kendaraan, maka nama meraka
masuk ke daftar 8 orang yang tidak membawa kendaraan.

Fandi, Gusti dan Nahla membawa kendaraan sendiri, yaitu motor. Maka ada 3 orang yang bisa nebeng bersama mereka, tersisa 5 orang yang belum jelas akan pake apa berangkatnya.

“Kalau ojol, kayaknya jangan deh. Pasti ada solusi lain selain ojol, karena nanti kalian dari rumah Viko otomatis harus keluar biaya lagi buat ongkos pulang.” ujar Fandi yang tumben-tumbenan bener.

Pintu kelas diketuk, ternyata Natta.

“Gue bisa ikut Fan, udah selesai urusan gue.” Natta nimbrung.

Fandi menepuk pundak Natta kemudian merangkulnya. “Nah! Ta, ini ada lima orang yang enggak kebagian tebengan, nebeng mobil lo aja bisa enggak?”

“Bisa, tapi sempit-sempitan enggak apa-apa ya? Soalnya mobil gue kan empat pintu doang.”

“Enggak apa-apa udah, entar atur aja duduknya. Biarin aja mereka. Daripada ngongkos kan?”

“Iya bener, daripada Ojol,” sahut siswa lain yang enggak kebagian tebengan.

Mereka bersama-sama pergi ke parkiran sekolah. Untungnya semua parkir didalam sekolah, karena biasanya mereka harus parkir ke parkiran luar sekolah karena parkiran sekolah selalu penuh.

“Riva sama siapa, Lik?” tanya Putri yang membawa motor Sita kepada Alika—disebelah motornya—yang dibonceng Gusti. Mereka sudah sampai didepan gerbang sekolah, sedangkan yang lain masih didalam.

“Mobil Natta kayaknya,”

Motor Nahla dan Fandi keluar disusul mobil Natta. Mereka semua menepi terlebih dahulu.

Dibawah Bulan, Pantai dan PasirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang