--- 1 ---

7 2 0
                                    

Jumat, 13 Januari 2017

00.15 AM

Daniel Syahreza, berjalan pelan keluar kamarnya untuk meminum segelas air. Kerongkongannya yang terasa kering, membuatnya terpaksa bangun dari tidur lelap.

Malam itu hujan. Sangat deras. Sesekali petir menyambar, menimbulkan suara gelegar yang kuat. Daniel lantas menutup kedua telinganya rapat-rapat. Ia benci hujan.

Hanya beberapa meter sejak ia keluar dari kamar, ia mendengar suara bising dari dapur. Suara yang menghentak-hentak, memaksa untuk dimengerti. Berpadu dengan suara memohon yang terdengar menyedihkan. Suara-suara seperti ... seseorang yang bertengkar.

Daniel menghela napas pelan. Lagi? Pikirnya. Kerongkongannya yang semula terasa keringpun sekarang tak terasa apa-apa lagi. Kepalanya kembali terasa nyeri. Ia melangkah pelan untuk melihat situasi yang terjadi.

"Diem! Gausah ngomong apa-apa lagi!"

Daniel tersentak dengan keberadaan ibunya yang tepat didepannya. Wajahnya mengisyaratkan kebencian mendalam kala melihatnya. Tangannya mengepal. Napasnya tak karuan. Beberapa detik kemudian, ia memalingkan wajahnya.

"Minggir!" ucapnya dengan nada ketus. Daniel reflek merapatkan diri ke tembok.

"Sofie!"

Belum sempat Daniel kembali melangkah, seseorang kembali melewatinya dengan cepat. Daniel menengok sedikit. Ayahnya, mengejar wanita itu.

Daniel cepat-cepat mengambil minum dan meneguknya. Ia berlari ke depan guna melihat keduanya kembali bertengkar. Ia penasaran sebab suara manusia yang ada di ruang tamu lebih dari 2 suara.

"Saya mohon kamu tetep di sini aja, Sofie. Siapa yang akan mengurus Daniel nanti kalau kamu ga ada?" Suara sang Ayah terdengar memohon.

Daniel tak percaya ayahnya mengucapkan kalimat itu. "Siapa juga yang butuh ibu kayak Sofie? Aku bisa mengurus diri sendiri!"

"Daniel? Kamu suruh aku ngurusin Daniel? Dasar gila! Dia udah 12 tahun! Suruh aja dia urus dirinya sendiri!" Teriak Sofie kesekian kalinya. Daniel rasa pita suaranya seperti akan putus.

"12 tahun masih kecil, Sofie! Dia masih butuh ibu!"

"Itu sebabnya kamu mau balikan sama istri kamu, kan?!" tanya Sofie dengan nada merasa menang.

Alis Daniel mengernyit. "Apa? Istri? Apa Ayah selingkuh dari Ibu?"

"Tapi aku cintanya cuma sama kamu, Sofie. Tolong jangan menikah lagi!"

Sofie mengambil kopernya. "Devano, aku hanya mencintai uangmu. Tak lebih dari itu!" Sofie menggeret kopernya keluar rumah.

"Sudah, Pak. Tenang. Biarkan dia pergi." ucap salah satu tetangga menenangkan Devano.

"Astagfirullah. Bener-bener ga beres semua ternyata."

"Gila semua ya, Bu."

"Ya Allah, kasian bener anaknya."

Suara-suara tetangga rupanya yang membuat suasana lebih ramai. Barangkali mereka terganggu sebab suara Sofie dan Devano terlampau kuat. Ini bukan sekali atau dua kalinya mereka begini. Hampir setiap hari. Seperti neraka.

Daniel menyusul Devano, ayahnya, yang ada di depan. Ia melihat Sofie menerjang hujan menuju mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Siapa itu? Pacarnya?

Hujan semakin deras. Tanpa disangka, hati Daniel mengisyaratkan rasa bahagia yang teramat sangat. Ia merasa lega. Bebas dari Sofie yang selalu membuatnya susah setiap hari.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mentari Di Tengah HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang