“Barangkali kau adalah seseorang yang merindukan senja atau memang terlahir sebagai manusia penggemar senja.”
***
Sentuhan alam pada saat menjelang sore menjemput malam begitu menawan ketika senja mempadukan warna langit menjadi sangat indah. Siapa di sini tidak pernah melihat senja? Jika kamu melihat senja, pancarannya telah menyihir segala hal buruk menjadi sirna.Karena apa?
Inilah keajaiban alam yang menyembuhkan luka atau memang kamu terlahir menjadi seseorang yang menggemari senja dengan tanpa lelah menatapnya hingga ia tenggelam di ufuk barat dan abadi bersama kepingan kenang yang terukir dalam hati dan pikiran setiap manusia.
Senja memoleskan senyumnya saat kau tengah gundah, risau, kecewa, marah, sedih, air mata bahkan bahagia atau ceria, itulah bentuk dari segala campuran rasa pada perasaan setiap yang di alami oleh siapapun.Perasaan adalah bagian sensitif di mata orang-orang yang menganggapnya terlalu naif sehingga mematahkan dan membuat kita down saat mereka yang mengatakan, “Ngapain sih orang ini dikit-dikit baper, dikit-dikit cengeng, dikit-dikit emosian, muka jelek, jutek lagi! Duh bikin mood aku makin kesal aja lihatnya!”
Apa hubungannya semua ini dengan senja? Ada masalah apa sih dengan orang ini? Stop! Stop kamu terperangkap oleh akal pikiranmu yang hanya akan membuatmu menyesal di kemudian hari.Senja sangat erat terhadap warna dan ciptaan Yang Esa untuk melabuhkan lukisan raksasa yang enak di pandang daripada mandang haters,iya’kan? Oops!
Hehehe … Yuk, lanjut. Jadi, di sini kamu akan diajak untuk menerka-nerka setiap karakter yang ada di dalam dirimu seperti perpaduan warna yang berarti. Hidup ini hitam putih, iya’kan?
Maka senja menjadi salah satu tempat yang paling indah untuk berteduh atau kamu mulai jatuh cinta pada senja dan mengenang keindahannya lewat kanvas dan kuas yang ingin kamu poles menjadi karya yang luarbiasa dan tentunya membuat mereka-mereka yang membencimu akan menyesal seumur hidup ketika hanya memandang sebelah mata atau menilai seseorang dari luarnya saja.
Selebihnya kamu selami sendiri seperti ibarat menyelam sambil minum air agar tidak ada lagi luka-luka yang menganga diatas permukaan kulit dan hatimu.
***
Ketika senja muncul ada seorang gadis belia bernama Laudya. Laudya Albecca Senjani nama lengkapnya. Dia hanya tinggal bersama kakek dan neneknya ketika kedua orang tua Laudya pergi ke luar kota untuk urusan kerja selama bertahun-tahun.
Sejak kecil sebelum kedua orang tuanya meninggalkan rumah untuk urusan pekerjaan, Laudya sering diajak jalan-jalan pada sore hari oleh Papa. Betapa senang hati anak gadis itu dengan wajah yang manis dan ceria.
“Papa, itu sangat indah sekali!” tunjuk Laudya pada sunset di ujung barat sana.
“Oh, itu namanya senja. Sama seperti nama akhiranmu, Senjani,” jelas sang Papa.
“Senja dan Senjani?” pikirnya bingung dan membuat Papa terkekeh oleh tingkah lucu sang anak.
“Dulu waktu kamu lahir, Mama melahirkanmu tepat pada sore hari dan tentu ketika waktu itu ada matahari terbenam.Kami bingung memberimu nama apa, tetapi Mama dan Papa menoleh pada jendela kaca rumah sakit dengan menatap sejenak langit yang memukau, yaitu senja,” tutur sang Papa mengingat ketika awal kelahiran putri semata wayang mereka.
“Lalu?” tanya dia dengan polos. Iya, Laudya masih kecil berusia 10 tahun.
“Lalu, Papa dan Mama sepemikiran untuk memberikan nama akhir setelah Albecca adalah Senjani,” terang Papa.
“Oh, begitu ya,Pa? Laudya sangat senang menjadi bagian matahari terbenam yang indah!” ujarnya bersemangat. Papa tertawa sambil menuju pulang ke rumah.
“Oya, kamu suka senja?” tanya Papa pada Laudya setelah gadis kecil itu kegirangan.
“Suka? Iya, Laudya sangat suka senja! Setiap hari melihat senja dengan Papa sangat luarbiasa!” jawab Laudya dengan bersemangat. Papa mengelus kepala Laudya kecil hingga gadis itu tersenyum sumringah sedangkan samar-samar wajah sedih terpancar dari sang Papa.
“Ayo kita pulang!” kata Papa menggandeng tangan putri kecilnya dan Laudya mengangguk senyum.
***
Pak Soeman baru saja selesai mendapatkan telepon dari menantunya yang masih bekerja di luar kota. Raut wajahnya sangat sedih saat mengetahui putranya harus memyusul istrinya bekerja.“Nak, sudah pulang?’ tanya Pak Soeman setelah melihat anak dan cucunya baru saja sampai dari rumah.
“Ya, Pak. Sudah kok, ini sama Laudya,” jawab anaknya.
“Bapak mau bicara dan Laudy acari nenek ke dalam ya,” pinta sang kakek pada Laudya. Gadis itu pun mengangguk dan meninggalkan kakek dengan Papa untuk masuk ke dalam. Entah apa yang dibahas oleh kakek dan Papa. Laudya segera menyusul nenek yang sedang menyiapkan makan malam. Nenek tersenyum melihat Laudya yang baru saja pulang.
“Habis kemana barusan?” tanya Nenek.
“Jalan-jalan sama Papa, Nek. Tadi kami melihat ada senja yang indah banget!” seru Laudya bersemangat.
“Oya? Cantik tidak senja-nya?” tanya nenek lagi. Laudya tersenyum dengan semangat.
“Ya sudah, kamu mandi dan makan, ya?” kata Nenek.
“Iya, Nek.”
Tak lama Laudya mandi, dia menyusul untuk ikut makan malam. Tetapi, raut wajah ketiganya sangat murung di meja makan. Laudya yang tidak tahu apa-apa merasa bingung melihat Kakek, Nenek dan Papa yang seketika ekspresi mereka berubah.
“Apa Laudya terlambat untuk makan malam?” tanya dia dengan lugu.
“Oh, Laudya sayang. Kamu tidak terlambat untuk makan malam, duduklah!” titah sang Nenek. Laudya duduk dan belum puas dengan sesuatu hal yang terjadi.
“Lalu mengapa kalian bersedih?” tanya Laudya lagi. Mereka hening sejenak dan tidak terlalu tega mengatakan hal yang sebenarnya, tapi Papa Laudya tidak punya banyak waktu lagi maka beliau mengatakan hal yang sebenarnya.
“Nak, Maafkan Papa, ya?” kata Papa memulai pembicaraan.
“Maaf kenapa, Pa?” tanya Laudya.
“Papa tidak bisa lagi menemani Laudya seperti sekarang ini.Papa janji akan pulang jika ada waktu.”
“Memang Papa mau kemana?”
“Papa harus menyusul Mama ke luar kota untuk bekerja, Nak. Sekali lagi, maafkan Papa,” bibirnya bergetar seakan tidak tega meninggalkan Laudya. Gadis kecil itu mulai menangis, Papa bangkit dari kursinya dan memeluk Laudya.
“Laudya tidak mau pisah sama Papa atau Mama. Laudya kangen Mama, Pa. Sekarang Papa yang pergi meninggalkan Laudya!” ucapnya dalam isak tangis.
“Papa dan Mama tidak pergi,Nak. Kami berdua sangat sayang pada Laudya, jadi Laudya jangan sedih. Ada Kakek dan Nenek yang akan menjaga Laudya selama Papa dan Mama tidak ada di rumah,” tutur Papa.
“Nenek sayang Laudya, begitupun Kakek. Kamu jangan sedih dan khawatir,ya?” sambung Nenek.
“Nanti Kakek janji ajak Laudya untuk jalan-jalan melihat senja lagi,” hibur Kakek. Mendnegar ‘senja’ tangis Laudya terhenti.
“Benarkah, Kek?” tanya Laudya. Kakek mengangguk. Laudya tersenyum lagi walau wajahnya masih berantakan dengan air mata.
“Apa Papa sudah boleh ke luar kota?” tanya Papa. Laudya mengangguk seketika menurutinya begitu saja.
Begitulah saat Papa pergi ke luar kota, perasaan gadis kecil itu campur aduk antara sedih dan senang. Sedih karena Papa dan Mama akan menetap di luar kota urusan pekerjaan sedangkan dia senang masih bisa melihat senja bersama Kakek.
***
“Barangkali kau akan rindu, jejak kenang ini tetap terlukiskan pada dinding Sejarah senja yang tidak bisa aku lupakan seumur hidupku!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Nona Opacraphile
RomanceKetika dia beranjak dewasa, semakin kejam rasanya dunia yang dihadapi. Tetapi, masih ada Lula, sahabat baik Laudya. Mereka sama-sama menyukai dunia seni dan kuliah di jurusan yang sama. Tapi, Laudya lebih menyukai senja dan menjadikannya ke dalam s...