BAB 2 JULUKAN LAUDYA

8 4 0
                                    

“Hanya saja aku dan senja adalah ikatan yang akan kau senangi suatu saat nanti!”
***

Seringkali gadis itu tampak termenung saat Papa dan Mama berada di luar kota. Hati kecilnya amat sedih, tetapi Laudya berusaha tetap bisa tersenyum meski tanpa kehadiran sosok kedua orang tuanya. Kakek dan nenek juga berjuang untuk membesarkan Laudya agar tumbuh menjadi anak yang baik, pintar dan tentu saja tidak merasa dikucilkan ketika berada di lingkungan teman-temannya yang serba lengkap.

Memang kisah perjalanan hidup tanpa kedua orang tua cukup berat bagi Laudya, banyak hal yang terjadi dan sudah terlewatkan melalui pahit-manisnya sebuah setapak jalan di dalam hidupnya.

Kini Laudya sudah tumbuh remaja dan duduk di bangku SMA, sebelum menginjak usia yang makin kian remaja, ia berjumpa dengan Lula, seorang gadis tangguh dan baik hati.

Mereka berdua tumbuh besar bersama hingga di bangku SMA. Tapi, Laudya tetap menyimpan sebuah rahasia yang tidak perlu semua orang tahu tentang dirinya.

Kemarin saat hari ulang tahunnya yang ke-17 tahun saja samar-samar terpancar rona wajah yang sendu walaupun dia tutupi dengan berpura-pura gembira.

Hal yang lebih mengharukan adalah ketika Kakek memberikannya sebuah kejutan hadiah yang mengesankan sedangkan Nenek merayakan ultah cucu tercinta dengan nasi tumpeng yang enak dan gurih. Ya, Nenek Malla sangat pandai memasak, maka tak heran kalau saat Nenek yang memasak semua keluarga sangat senang menikmati masakan buatan dari Nenek Malla.

Terutama Laudya yang merindukan sosok Mama di dekatnya, Neneklah seperti peran sosok Mama untuk Laudya walau sang Mama tiada duanya di hati gadis belia ini.

“Nek, Laudya sangat senang kalau Nenek memasak di rumah! Serasa hati Laudya gembira banget,” ucapnya pada sang Nenek dan memeluknya.

“Cucuku, Nenek juga senang mendengarnya. Ini hari ulang tahunmu yang ke-17 tahun. Sekarang kamu perlahan menginjak usia remaja dan tumbuh dewasa. Jangan bersedih atau berkecil hati bila Papa dan Mama tidak bisa hadir di tengah-tengah kita,” kata sang Nenek menasehati.

Pelukan mereka berdua semakin erat, apalagi saat Laudya mendengar kata nama “Papa dan Mama” di daun telinganya yang agak samar-samar terdengar sensitif.

“Iya, Nek. Laudya sayang Papa dan Mama. Setiap hari, selalu kangen berat dengan mereka. Tapi, mau bagaimana lagi? Pekerjaan mereka sangat padat di luar kota,” ucap Laudya yang nyaris ingin menangis.

“Sudah, Nduk. Papa dan Mama-mu pasti juga kangen berat dengan putri semata wayang mereka. Laudya yang kuat, ya? Ada Kakek dan Nenek disini yang sangat sayang padamu. Tidak usah risau atau mendengarkan orang-orang yang mengejekmu tanpa orang tua. Jaman sekarang mereka hanya merasa bangga atas memiliki segalanya, maka Laudy juga harus bisa bangga denga napa yang sudah kamu perjuangkan selama ini,” tutur sang Nenek yang tidak henti-hentinya menasehati sang cucu.

“Iya, Nek. Laudya juga sayang Kakek dan Nenek. Setiap hari selalu ada untuk Laudya yang selalu memberikan nasehat dan berkelangsungan hidup yang tidak bisa Laudya lewati seorang diri.”

Hush! Kamu tidak sendiri, tidak sendirian, Nduk. Kamu tidak boleh bicara begitu, segala hal yang terjadi dalam hidup tidaklah selalu sedih atau bahagia. Tuhan sengaja memberikan cobaan ini untuk kita supaya bisa melewatinya dengan kuat dan lapang dada. Kamu mengerti’kan, Nduk?” 

“Iya, Nek. Laudya mengerti. Terimakasih untuk perayaan hari ulang tahunku dan juga nasehat dari Nenek,” balas Laudya. Sang Nenek hanya mengangguk sambil mengelus pipi tirus si gadis belia yang baru saja menginjak usia ke-17 tahun. Mereka berdua saling tersenyum.

Tidak ketinggalan sang Kakek juga memberikan sebuah kejutan untuknya.


“Laudya, Kakek punya sesuatu untukmu,” sambung Kakek yang sedari tadi menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya. Laudya terkesyap dan Nenek tidak berhenti dengan senyumannya yang ayu tenan.

“Kejutan apa, Kek?” tanya Laudya. Kakek juga tersenyum ramah di bibirnya, lalu menyodorkan bingkisan kado istimewa untuk cucu tercintanya. Laudya menerima dan mengambil sebuah kado istimewa berbentuk kotak dengan warna cokelat polos.

“Apa ini, Kek?” tanya Laudya menatap kado istimewa miliknya.

“Buka saja, Cu. Kamu pasti senang dan suka dengan kejutan hadiah istimewa dari Kakek!” titah sang Kakek meminta Laudya untuk membuka bingkisan kadonya.

Hati Laudya kali ini benar-benar gembira, dia bersemangat saat membuka kado pemberian dari kakeknya. Saat kado itu telah terbuka, Kakek dan Nenek sangat bahagia melihat Laudya dengan kado kejutan untuknya.

“Kanvas, cat air dan kuas, Kek?” tanya Laudya mengamati tiga benda yang dipegangnya.

“Iya, Cu. Kamu harus mau menggunakannya. Mungkin bertambahnya usia Kakek dan Nenek, kami tidak bisa setiap hari menemanimu untuk melihat senja di sore hari,” tutur Kakek samar-samar sedih. Laudya tercengang, di pikirannya dia takut kehilangan kedua sosok yang amat menyayangi diri kalian.

“Apalagi jalan-jalan setiap hari, pasti cukup melelahkan untuk kami yang sudah usia lanjut ini,” sambung Nenek.

“Maksud Kakek dan Nenek apa?” tanya Laudya makin bingung.

“Lukislah senja saat kau ingin menatapnya setiap hari. Kakek tidak mau kamu bersedih, senja adalah alam kesukaanmu sejak kecil. Jadi, lakukanlah itu dengan hadiah kejutan dari Kakek.”

“Melukis senja?” Laudya garuk-garuk kepala sedangkan Kakek mengangguk.

“Tapi, Laudya tidak pernah melukis sama sekali, Kek. Di sekolah saja nilai kesenian Laudya pas-pasan,” keluhnya.

“Laudya. Nenek yakin kamu pasti punya bakat. Asal kamu mau melakukannya tanpa menyerah,” kata Nenek.

“Tapi, Nek. Laudya tidak bisa, pasti hasilnya akan makin jelek,” ucapnya rewel.

“Nduk. Kalau kamu terus bilang tidak bisa, sampai kapanpun tetap saja tidak bisa. Kalau kamu yakin dan tidak ragu dengan usahamu sendiri, Nenek dan Kakek pasti selalu mendukungmu. Bukannya kamu itu sangat menggemari senja sampai tidak bosan melihatnya sepanjang waktu di sore?” tanya Nenek.

“Iya sih, Nek.”

“Kalau begitu Kakek sama Nenek beri kamu waktu dan kesempatan ini agar bisa memantapkan bakatmu. Laudya, kamu masih punya masa depan yang panjang apalagi kamu masih muda. Jangan menyerah, ya?” lanjut Kakek mendukung Laudya.

Tanpa berkata-kata lagi, Laudya hanya bisa mengangguk lesu.
***
Laudya merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, kedua tangan mengangkat kanvas sembari ditatap olehnya. Kanvas itu masih terlihat bersih, belum ada bercak noda cat air yang tertuang dalam bentuk lukisan. Gadis itu kebingungan, dia belum tahu cara melukis yang benar.

Terkadang di sekolahnya saja sering mendapatkan nilai yang kurang bagus. Kepercayaan dirinya merasa ‘down’ ketika saat ingin memulai hal baru.

Tetapi, dia tetap berusaha melakukannya walau gagal berkali-kali. Kanvas kesayangannya itu dia simpan. Buku gambar miliknya menjadi patokan untuk latihan melukis.

Sebentar-sebentar ngantuk, mager tapi niat untuk melukis masih tertanam di hati Laudya. Ya, kali ini dia ingin bangkit sendiri. Berhari-hari Laudya melukis senja, tiada lain lukisan yang ingin dia lakukan. Kakek dan Nenek terus memantau keseharian Laudya.

Di saat hujan turun, Laudya mulai lelah karena sering menghabiskan waktu untuk melukis. Ini adalah karya Laudya yang ke-9 kalinya. Alhasil dia harus memperlihatkannya pada Kakek.

“Kek, maaf, ya? Laudya sudah berusaha tapi begini hasilnya,” ucapnya dengan sedih sambal menyodorkan lukisan miliknya. Kakek mengambil lukisan Laudya dan mengamati dengan serius. Lima belas menit Kakek terdiam, Laudya pun cukup gugup dan takut terhadap hasil lukisan miliknya. Tapi, tiba-tiba Kakek tersenyum.

“Nona Senja. Lukisanmu sangat indah!” puji sang Kakek. Raut kesedihan di wajahnya berubah menjadi senang.

“Sungguh, Kek?” tanya Laudya kegirangan, Kakek mengangguk. Kemudian Laudya memeluk Kakek sebagai ucapan rasa terimakasih.
***
“Aku tidak akan pernah tahu kalau bukan Sejarah yang akan mengukir nama indah ini seumur hidupku dan senja abadi dalam ikatan hati setiap penggemarnya.”

Si Nona OpacraphileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang