BAB 6 KESEDERHANAAN YANG TIDAK TERNILAI

3 1 0
                                    

“Mendayunglah sampai tiba ke tepi, jangan lupa bekali diri dengan tekad yang kuat. Sebab kesederhanaan bukanlah sebuah hal yang sepele. Tetapi, tetaplah mendayung lagi sampai ke ujung pelangi.”

***

“Serahkan lukisanmu pada saya, Laudya!” kata Pak Hasada, beliau berusaha mengambil lukisan yang telah rusak itu dalam pelukan sang pemiliknya. Tangan gadis itu agak gemetar, bahkan menghardik lukisan dari tangan Pak Hasada.

“Tidak, Pak!” tolak Laudya, kondisi dirinya masih kacau dan tidak ingin mengecewakan sang Dosen untuk kedua kalinya bahkan ke sekian kali. Pak Hasada hampir memberikan harapan pada Laudya, namun dia tetap untuk menolak.

“Baiklah, temui saya lagi jika kamu sudah merasa lebih baik dan bawa lukisan itu ke kantor,” ujar Pak Hasada dan meninggalkan Laudya bersama Lula.

Sahabat Laudya itu sedang menolongnya untuk berdiri dan meninggalkan koridor kampus, tempat dia dan Idris bertengkar tadi.

Suasana hati Laudya sangat kacau, jika dibayangkan tentu berat baginya. Sosok Idris telah menghancurkan segala usaha miliknya dan seakan tidak ada lagi jalan untuk memperbaiki semua, apalagi deadline pengumpulan tugas adalah hari ini. 

Laudya benar-benar buta dan tidak mendengarkan kesempatan dari Pak Hasada, kalau-kalau saja hal itu tidak akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Dosen Hasada adalah sosok orang tegas dan misterius, banyak kata dari mahasiswa lain yang pernah menjadi bagian asuhannya bahwa Pak Hasada bukanlah seorang Dosen yang mudah memberikan jalan kepada mahasiswa-mahasiswa yang cerdas dan berbakat, di balik itu semua tentu Pak Hasada meberikan tantangan yang lebih berat. 

Lula pergi ke kantin untuk membeli minuman untuk Laudya sedangkan gadis yang tengah bersedih itu justru amat memikirkan cara agar bisa memperbaiki lukisan yang sudah terkesan bagus dan sederhana, namun  ada kekacauan dari kanvas miliknya. Bagian pinggir bawah lukisan terlihat sobek dan terdapat sedikit goresan air.

Pikirannya masih berantakan, belum sedikitpun mendapatkan ide cara memperbaiki itu semua. Lula datang dengan membawa minuman segar dan cemilan untuk Laudya.

“Nih makan dulu!” kata Lula menyodorkan roti pada Laudya, tetapi Laudya menangkis roti tersebut. Lula merasa agak terpukul saat Laudya tidak ingin makan.

“Kalo gini terus, kamu gak akan bisa menemukan solusi untuk memperbaiki lukisan yang sedikit rusak ini. Setidaknya, makanlah dulu sedikit saja,” Lula memohon pada Laudya. Sejenak, dia berpikir lagi. Benar adanya jika saat ini dia masih keadaan kacau, mau tidak mau Laudya akhirnya menurut pada Lula untuk makan.

“Aku hanya sedang bingung memikirkan cara untuk membenahi lukisanku yang sudah rusak ini. Pasti Pak Hasada memberiku kesempatan untuk mengulang lagi lukisan yang sudah aku buat dengan susah payah,” celoteh Laudya dengan berprasangka.

“Tapi, Pak Hasada tadi kayak berusaha membangkitkan kamu untuk menyerahkan lukisannya,” kata Lula beda pendapat.
“Aku gak yakin, La. Aku gak bisa gampang percaya gitu aja, sekali udah kena teguran itu pasti bakal kena lagi,” pikir Laudya.

***

Pak Hasada tengah merenung, beliau tengah memikirkan lukisan Laudya. Sekilas tampak biasa tapi membawa kesan yang menghanyutkan hati. Sayangnya, lukisan itu ditolak oleh Laudya untuk menyerahkannya kepada Pak Hasada.

“Aku belum pernah melihat corak warna seperti itu sebelumnya,” ujar Pak Hasada di ruang kantornya.

Kemudian ditengah-tengah renungan beliau, seseorang telah memasuki ruangannya.

“Pak, gadis itu sudah disini!” kata salah satu mahasiswa yang mengantarkan seseorang menuju ruang Rektor. Raut wajah Pak Hasada yang tadinya agak tenang, kini merubah menjadi sedikit kesal.

Si Nona OpacraphileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang