“ Tidak hanya ada satu hal yang harus kau genggam, tapi ribuan dari satu yang kau anggap menakjubkan dan tidak boleh mengabaikan hal lainnya.”
***
Kacau, kacau! Laudya semakin gugup oleh lukisan yang akan dia buat. Dosen meminta Laudya agar mengerjakannya selama 2 jam, bukan satu atau seminggu! Idris yang sedari tadi melirik-lirik sinis pada Laudya, dia semakin senang melihat kegagalan dari Laudya.
Waktu hampir menipis, namun ada Lula di sebelah Laudya, dan dia berkata,”Udah, kamu jangan menyerah, Laud. Jangan biarkan si Idris menertawaimu,” ucapnya diam-diam memperhatikan Idris yang tadi menatap sinis pada sahabatnya.
“Tapi, aku belum pernah bikin lukisan kayak gini, La!” bisik Laudya. Lula hening, dia menunjukkan hasil karyanya. Laudya melihat lukisan Lula sangat menakjubkan. Laudya menyimak, pandangannya terarah oleh gaya lukisan tema malam milik Lula, nuansa yang tenang, hening dan tanpa hal-hal lain yang mengusik, selain pohon-pohon yang berdiri kokoh di sekitaran latar belakang yang gelap gulita.
Sejenak sekali lagi, Laudya menghela napas. Perlahan dia mereleksasikan dirinya, akan tetapi segala hal dalam pikirannya masih kacau. Lukisan Lula tidak terbantu sama sekali, justru membuat Laudya sedikit minder oleh hasil karya orang lain.
“La, aku gak bisa!” bisik Laudya lagi.
“Kenapa?” tanya Lula dengan bingung.
“Lukisanmu, aku rasa tidak sanggup membuat hal yang serupa,” jawab Laudya dengan ekspresi sendu.
“Laud, tenang! Ini lukisanku, jadi lukisanmu akan berbeda dengan punyaku. Tujuan kita memang sama, tema gelap dengan pohon-pohon yang menghalangi sekitarnya. Kamu pasti bisa, ayo, Laud! Semangatlah,” kata Lula menyemangati Laudya sambil mengenggam kedua lengan Laudya agar tidak putus asa. Laudya tertunduk sedih, dia masih menolak untuk merespon sedangkan waktu makin kian menipis.
Hari ini Laudya tidak mengumpulkan tugas, dia belum sanggup melawan dirinya yang tiba-tiba minder begitu saja. Idris menertawakan Laudya sambilnya membicarakan kegagalan Laudya dengan temannya. Hatinya sangat puas, puas sekali! Dia tidak suka melihat Laudya bersaing dengannya melalui lukisan yang jauh lebih baik dari miliknya.
“Tentu dong, lukisanku jauh lebih indah, menawan, anggun dan sangat disenangi oleh banyak orang,” ucapnya congkak sambil tertawa girang dengan diiringi tawa ejekan temannya yang bermaksud untuk mengejek Laudya.
Gadis penikmat senja itu tidak bisa melawan, Lula berusaha menenangkan Laudya di hadapan Idris dan temannya yang sangat sombong.
“Udah, kamu gak usah dengerin si Idris. Gak baik buat kamu,” bujuk Lula dan menjauh dari pandangan Idris.
“Aku bingung, La. Salahku apa sama Idris? Kita saja saling mengenal pun tidak!” tanya Laudya dengan rasa yang amat pusing memikirkan sikap Idris yang jahat padanya. Lula mengelus pundak Laudya, gadis penyabar seperti Lula pun merasakan hal yang sama yang dirasakan oleh Laudya. Pun, dia memeluk Laudya dan turut merayakan kerisauan hati sahabatnya.
***
Ketenangan hati Laudya kerap masih mengusik dirinya yang masih tengah gelisah. Dosen dari Laudya pun memperingati agar gadis semester awal itu segera menyelesaikan lukisannya selama 2 hari. Laudya mencoba untuk melukis lagi, tapi malahan dia memilih senja di rumahnya. Goresan warna jingga dan hitam menjadikan lukisan yang terlihat cukup indah, iya, Laudya mencoba mengasah kemampuannya untuk melukis tema malam dengan perpaduan lembayung setelah senja.
Gelap-terang, begitu lukisan yang terpancarkan dalam kanvas miliknya. Lukisan tadi siang pun terabaikan, gadis itu berpikir kritis di ruang studio melukis di kediaman rumah keluarga Lula di Jakarta. Dulu ruangan itu dipakai oleh Tius untuk belajar dan persiapan ujian, namun karena Tius tengah kuliah di Eropa kini ruang belajar yang cukup luas itu direnovasi oleh sang Papa untuk keperluan dua sosok gadis yang telah mengisi keadaan rumah mereka kembali, ya walaupun Tius dan kedua gadis tersebut memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda-beda.
“Kalo aku pake lukisan ini, gimana,ya?” Pikir Laudya dengan rasa bimbang– menatap lukisan corak lembayung hitam dan penuh semak-semak, pepohonan serta bunga-bunga putih di bawahnya. Setengah mengangguk dengan keraguan, dia pun memutuskan akan membawa lukisan tersebut esok hari kepada sang Dosen.
Lula hanya bisa menggeleng melihat jerih payah Laudya yang tidak begitu meyakinkan, bila dicegah barangkali Laudya tetap akan keras kepala dan tidak mau akan mengubah lukisan tersebut jika sebelum berada di tangan sang Dosen.
Hari selanjutnya dengan keberanian yang sedikit matang di dalam diri Laudya, gadis itu pun menghampiri sang Dosen ke ruang Rektor. Laudya mengetuk pintu dan menemui Dosen bernama Tantra Hasada, M.Sn, seorang Dosen yang kemarin bertugas dikelasnya.
“Permisi, Pak. Ini tugas kemarin yang telat saya kerjakan, mohon diterima dan bimbingannya,” kata Laudya sambil menyodorkan hasil lukisannya. Pak Hasada menerima lukisan Laudya dan mengecek hasil yang beliau perintahkan kemarin dikelasnya.
“Laudya, lukisanmu memang bagus. Tapi, maaf. Bukan tema ini yang saya maksudkan melainkan tema malam dengan pepohonan. Cukup sederhana saja, lukisan ini belum memasuki kriteria dari tema yang saya buat untuk dikelasmu kemarin,” tutur Pak Hasada.
“Maksud Bapak, bagaimana,ya? Saya belum bisa memahaminya dengan baik,” jawab Laudya dengan sopan kepada sang Dosen.
“Begini, Laudya. Tema ini belum bisa saya terima maka tolong kamu kerjakan ulang lagi. Lagipula tenggat waktu masih ada esok hari, apa kamu masih bisa sanggup mengulang tugas ini?” tanya Pak Hasada. Kelegaan hati Laudya sirna, dia kembali tidak tenang. Gadis itu merasa amat malu, dia memang tengah berusaha ditengah-tengah kegundahan hatinya.
“Baik, Pak. Saya akan berusaha mengulanginya lagi dan mengumpulkan hasil lukisan yang sesuai Bapak arahkan,” jawab Laudya, samar-samar merasakankekecewaan di dalam benaknya. Gadis itu pamit dari sang Dosen dan kembali ke kelas.
Laudya berjalan dengan rasa sedih, malu dan kecewa. Lula melihat Laudya yang masih amat kacau.
“Laudya!” panggil Lula menghampiri sahabatnya. Namun, Laudya hanya diam saja dan tidak menjawab sapaan Lula.
“Kamu kenapa?” tanya Lula. Lagi, Laudya hanya diam saja. Lula pun cukup dibuat termangu oleh sikap Laudya yang sedang bersedih, di tatapnya lukisan yang sedang dipeluk oleh Laudya.
“Lukisanmu, bagaimana?” tanya Lula lagi. Laudya menatap wajah Lula yang terlihat khawatir, lalu dia memeluk Lula bersama lukisannya, gadis itupun menangis.
“Lukisanku yang ini di, di tolak oleh Pak Hasada!” kata Laudya sesenggukan di dalam pelukan Lula.
“Sabar, ya? Barangkali lukisan itu belum masuk dari selera Pak Hasada, jadi kumohon jangan menyerah dulu. Selagi ada kesempatan dari awal semester ini, kamu ataupun kita tetap berjuang dalam segala hal apapun agar apa yang belum tuntas akan bisa segera teratasi dengan baik,” jelas Lula menasehati sahabatnya. Laudya semakin bersedih sambil mengangguk setuju dengan nasehat Lula.
***
“Menangislah, jika kamu merasa jatuh. Tapi, jatuh itu jangan biarkan selamanya bersemayam di dalam dirimu. Bangkitlah bersama sayap yang masih utuh untuk kau kejar sampai berhasil!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Nona Opacraphile
RomanceKetika dia beranjak dewasa, semakin kejam rasanya dunia yang dihadapi. Tetapi, masih ada Lula, sahabat baik Laudya. Mereka sama-sama menyukai dunia seni dan kuliah di jurusan yang sama. Tapi, Laudya lebih menyukai senja dan menjadikannya ke dalam s...