“Apa yang kau kejar dan usahakan, jika berbuat jahat terhadap seseorang maka proses dan hasilnya belum tentu menjamin keselamatanmu dari apa yang kau buat, melainkan jika kau berbuat baik maka nasib baik pula yang akan menghampiri.”
***
Nasib baik telah menyelamatkan Laudya dari keterpurukan yang terjadi. Pak Hasada telah memuji lukisan Laudya yang sebelumnya sempat rusak karena oleh Idris. Sekarang Laudya telah bebas dari siksaan Idris yang suka menganggu kehidupannya di dunia seni. Dunia yang begitu diimpikan oleh laudya sejak kecil.
Karena bukan dari Kakek dan Nenek, mungkin saja nasib Laudya tidak akan menemukan jalan hidup yang dia dambakan sebagai seniman. Gadis itu sekarang telah ditemani sejak di belakang kampusnya. Lula selalu setia menemani Laudya.
“Ini yang kamu tunggu-tungggu, Laudya?” tanya Lula sambil menatap senja indah di langit berdinding jingga. Laudya tampak ceria dengan senyuman manis di bibirnya lalu menganggukan kepala.
“Senja dan aku bagaikan dua kombinasi yang menyatu dengan semesta. Karena tanpa senja, mungkin aku tidak bisa melangkah jauh sampai titik ini, Lula.”
“Senja memang selalu bisa melumpuhkan kesedihan dan menghapuskan air mata dalam kesedihan, aku lega semua sudah kembali dengan baik,” kata Lula terharu.
“Pak Hasada, Dosen yang menakjubkan dan selalu memberi kesan yang misteri. Tapi, di balik semua itu, Pak Hasada seperti malaikat yang menyelamatkan keterpurukanku,” jawab Laudya dengan menatap senja.
“Hei, kata-katamu itu membuat seseorang bisa jatuh cinta!” Lula ketawa.
“Siapa yang tidak mengenali Pak Hasada? Dosen yang tampan dan misterius?” sambung Laudya yang ikut tertawa dengan Lula.
Dari kejauhan, ada seseorang yang menatap mereka berdua dengan diam-diam. Seseorang itu yang baru saja mereka biacrakan, siapa lagi kalau bukan Pak Hasada? Beliau tersenyum. Tidak ada yang banyak tahu tentang kehidupan bahkan kepribadian diri Pak Hasada.
“Senja ya?” utasnya tersenyum, lalu pergi begitu saja tanpa sepengetahuan Laudya dan Lula.
Laudya dan Lula belum ingin pulang ke rumah, mereka masih menikmati keindahan senja hingga berakhir.
Barangkali kamu bisa menikmati senja di kala sore hari, dia bisa datang dan pergi. Layaknya seseorang yang datang sebentar lalu pergi dan atau seseorang yang selalu ada bagaikan malam dan siang, tidak bisa terpisahkan.
Pada setiap keindahan membawakan sebuah lukisan pada setiap goresan yang menciptakan rasa dan karsa. Kehidupan yang kamu lalui, sepak-terjal, hingga keajaiban datang menjemputmu saat kesulitan itu menerkam hidupmu.
Bahkan kamu pun tidak tahu apa yang kamu alami jika berbuat hal yang buruk, tidak akan secerah matahari di siang atau akan menjadi gelap bagaikan malam yang tak bercahaya. Apa yang kamu tuai, itulah yang kamu petik.
***
Malam semakin gelap ketika senja telah kembali ke ufuk barat, nasib Idris tidak seberuntung Laudya. Ya, benar. Gadis jahat itu tengah melaksanakan hukuman dari Pak Hasada, Fellin– seorang Asdos perempuan angkatan kelima sedang berjaga untuk Idris agar tugas tersebut segera terlaksana dan diselesaikan olehnya.
Lain dengan Fellin, Fheo juga seorang Asdos laki-laki dari angkatan ketujuh, sebenarnya dia sedang tidak ditugaskan oleh Pak Hasada namun dia sangat berbaik hati dengan Fellin untuk menjaga hukuman Idris.
Cih, coba saja si brengsek yang sok berbakat itu gak kuliah disini! Gerutu Idris dalam hati sambil memainkan kuasnya di kanvas kedua. Dia sudah tampak bosan dan kelelahan setelah mengerjakan hukuman selama berjam-jam lamanya.
“Cepat selesaikan!” tegas Fellin.
“Iya, Kak Fellin,” jawab Idris dengan mengangguk, samar-samar memasang ekspresi kebencian pada sang Asdos. Karena dia sudah muak, maka Idris menghasut Asdos yang tengah bersamanya.
“Kak Fellin. Cat airku sudah mulai habis, bisakah minta tolong ambilkan di tempat penyimpanan cat air yang baru?” pinta Idris. Fellin, walau seorang sesama perempuan, hatinya sekuat baja dan tidak gampang goyah bahkan tidak percaya dengan siapapun. Asdos itu pun mengecek cat air milik Idris, sejenak dia mengangkat satu persatu untuk diperiksa. Namun, benar saja Idris membohonginya.
“Kau pikir bisa kabur begitu saja?” bentak Fellin.
DEG!
Idris membeku, sebeku-bekunya ketika dia kena mental oleh Fellin. Siasat kebohongan dan kemuakan dirinya memang betul ingin kabur dari hukumannya. Tapi, Fellin tidak membiarkannya begitu saja.
“Jawab!” bentak Fellin lagi.
“Baik, akan aku selesaikan!” jawabnya sebal.
Fellin sangat marah, kali ini sorot matanya yang tadi tenang sekarang setajam mata elang. Penuh kegigihan dan rasa amarah yang setiap mencekam lawannya. Fellin Laruna Samara, itulah nama lengkap gadis yang dulu terpilih sebagai Asdos oleh Pak Hasada sejak 2 tahun yang lalu. Tidak ada yang bisa berani menyakiti bahkan menganggu setiap kali dari ketegasan dan kegigihan hati Fellin yang telah lama memegang sumpah sebagai Asdos selama berada di Universitas Jayasta.
Bagi Fellin, Idris hanyalah serpihan kertas yang usang. Jika saja dia berani bertingkah buruk terhadapnya maka siap-siap saja Fellin tidak akan mengampuninya. Idris sama seklai tidak mengenali dua Asdos ini, ntah Fellin maupun Fheo maka dia juga bisa bertindak sesuka hati jika ada yang menindas dirinya.
Liat aja nanti kalian berdua! Akan aku buat kalian yang akan di D.O oleh Pak Hasada nantinya, ucapan hati Idris seakan mengancam Fellin dan Fheo. Gadis itu melukis dengan penuh emosional maarah dalam dirinya, dendam yang membara seakan menghancurkan beberapa hal tentang keadaan yang tenang menjadi kacau.
Tak lama setelah lewat dari 2 jam, Fellin dan Fheo menarik kedua lukisan itu dari Idris lalu dibawa oleh mereka ke ruang Rektor. Idirs benar-benar benci terhadap Laudya, hukuman ini bukanlah hanya sekedar membuat dirinya jera melainkan semakin ingin menghancurkan harapan Laudya sebagai sesama seniman.
Fellin dan Fheo melangkah menuju ruang Rektor, mereka berjalan sambil mebicarakan hasil lukisan Idris yang sama sekali bukan seperti yang diperintahkan oleh Pak Hasada. Jika itu bukan hukuman sudah dari tadi mereka ingin membuangnya ke tempat sampah.
Mengingat diri mereka Asdos, niatan buruk itu diurungkan. Sebaiknya menjadi barang bukti jika Idris tidak menjalankan hukuman sesuai dengan tema yang diberikan oleh Pak Hasada.
“Selamat malam, Pak!” sapa Fellin kepada Pak Hasada.
“Selamat Fellin, Fheo kamu juga menemani Fellin?” tanya Pak Hasada kepada Fheo.
“Betul, Pak. Saya hanya tidak ingin jika terjadi hal sesuatu kepada Fellin,” jawab Fheo. Pak Hasada membalas dengan anggukan kepala.
“Kamu memang laki-laki yang bertanggung jawab walaupun saya tidak menugaskan kamu, Fheo,” kata Pak Hasada.
“Terima kasih, Pak!” jawab Fheo. Pak Hasada mengngguk, beliau melirik dua kanvas besar yang sedang dipegang oleh Fellin dan Fheo.
“Tolong dua kanvas itu!” pinta Pak Hasada. Fellin dan Fheo saling tatap tajam ketika mendengar dua kanvas yang sedang mereka tajam, lalu tanpa segan lukisan itu diserahkan oleh mereka berdua. Pak Hasada melirik dua diantara kanvas lukisan milik Idris.
“Aku sedang lelah hari ini. Ayo kita pulang setelah mendiskusikan ajang perlombaan lukisan minggu depan,” utas Pak Hasada seakan menolak lukisan Idris.
“Baik, Pak!” jawab mereka dengan kompak.
Diskusi di mulai, mereka bertiga membahas untuk rapat bersama. Di ruang Rektor tidak hanya ada Pak Hasada, Fellin dan Fheo, dosen-dosen lainnya pun ikut serta dalam diskusi tersebut untuk menentukan calon peserta dan kejuaraan lewat voting Senigram.
Sebelum rapat di mulai, sedari tadi Idris hanya menunggu diluar hingga rapat selesai, Pak Hasada, Fellin dan Fheo keluar dari ruangan. Sudah cukup lama gadis itu menanti jawaban dari hasil lukisan miliknya.
“Pak, bagaimana ha-,” Idris bangkit dari kursi, namun Pak Hasada tidak menjawab. Beliau berpura-pura menganggap Idris tidak ada begitupun dengan dua Asdos yang tadi menjaganya di ruang studio lantai 5. Dosen-dosen lain pun juga tampak cuek dan melangkah dengan tujuan mereka masing-masing.
Idris yang jahat, terbayar sudah kejahatannya kepada Laudya. Kini, dia ditinggal sendiri oleh Dosen dan 2 Asdos. Wajahnya tampak murung dan penuh amarah yang begitu benci kepada semua hal yang terjadi hari ini. Idris akan membalasnya suatu hari nanti.
***
“Hati-hati dengan perilaku dan lisanmu. Jika kamu tidak ingin mendapatkan hal yang lebih setimpal dari perbuatan burukmu!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Nona Opacraphile
RomanceKetika dia beranjak dewasa, semakin kejam rasanya dunia yang dihadapi. Tetapi, masih ada Lula, sahabat baik Laudya. Mereka sama-sama menyukai dunia seni dan kuliah di jurusan yang sama. Tapi, Laudya lebih menyukai senja dan menjadikannya ke dalam s...