“Senja tidak meninggalkanku bahkan dunia seni merangkul dalam asa yang penuh jejak-jejak baru dalam enigma.”
***
Laudya semakin lama semakin berbakat di bidang seni, bahkan Kakek dan Neneknya pun tidak hanya ingin melihat Laudya sekedar melukis biasa. Saat cucu mereka telah beranjak dewasa, Laudya kuliah di bidang jurusan seni di Jakarta.
Berangkat bersama Lula, Laudya berpamitan bersama Kakek dan Nenek untuk pergi ke Univeristas Jakarta. Meski Laudya tak bisa bersama Kakek dan Neneknya lagi, gadis itu sekarang di ajarkan menjadi wanita yang lebih kuat dan mandiri.
“Kakek, Nenek. Maafin Laudya, ya? Laudya harus ke Jakarta untuk demi Kakek dan Nenek. Jika Papa sama Mama sudah pulang, bilang kalo Laudya udah bisa belajar mandiri tanpa ngrepotin Kakek dan Nenek lagi,” ucap Laudya sambil salim tangan pada Neneknya.
“Cu, kamu gak boleh ngomong gitu. Kamu udah anggap sebagai satu-satunya cucu yang paling kami sayang. Kamu ke Jakarta bukan untuk kami ataupan Papa dan Mamamu, tetapi ini untuk sebagai bekal hidupmu di masa depan,” tutur sang Nenek yang berkaca-kaca.
“Iya, Nek. Terima kasih banyak udah jagaian dan besarin Laudya sampe sekarang. Semua itu gak bakal pernah Laudya lupain. Sekarang Laudya pamit, ya, bareng Lula juga?” tutup Laudya.
“Nona senja, jangan lupa dengan masa kecilmu terhadap langit ketika ia akan menenggelamkan dirinya ke ufuk barat. Kenanglah kami jika kamu rindu dengan suasana rumah,” ucap sang Kakek.
“Iya, Kek. Laudya akan tetap ingat itu. Apalagi senja sudah seperti kawan sejati yang terlihat abstrak untuk Laudya. Senja itu juga selalu menemani Laudya dan menjadi hal yang terindah Laudya ciptain dalam lukisan-lukisan yang sering kita bikin sama-sama,”
“Ada yang jauh lebih menjadi kawan sejatimu nanti. Bersiap saja, Laudya.” Kakek tersenyum, Laudya sedikit bingung untuk mencerna kata-kata Kakek kali ini.
“Tenang, Kek. Kan udah ada Lula yang selalu nemenin Laudya,” balas Laudya dengan senyum polosnya.
“Baiklah, kalo gitu kalian hati-hati di jalan. Baik-baik jaga diri selama tinggal di Jakarta,” kata Kakek. Laudya dan Lula akhirnya berangkat berdua ke Jakarta dengan menaiki kendaraan bus. Sepanjang perjalanan, Laudya berpikir bagaimana akan keberlangsungan hidup yang katanya tinggal di rantauan tanpa orang tua yang menemani hidupnya? Bagaimana jika Lula menghadapi kesulitan saat tinggal bersama denga diirnya di rumah kost-an baru.
“La, kira-kira kita gak nyaman gak ya tinggal di kost-an nanti di Jakarta?” tanya Laudya.
“Liat nanti aja, Laudya. Toh, kita juga belum sampe ke Jakarta dan belum tau kayak gimana nuansa kampus di sana,” jawab Lula sambil membaringkan kepalanya di atas bahu Laudya.
“Semoga aja sih ada asrama di kampus, kan nanti bisa tinggal lebih baik daripada kost,” keluh Laudya. Lula tertawa kecil.
“Udah, gak usah khawatir kamu. Aku tau biaya kost pasti lebih mahal dan kita harus irit dalam segala sesuatu yang bikin kita boros,” ujar Lula menenangkan Laudya. Gadis itu hanya bisa membalas dengan menganggukan kepalanya saja.
Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah Paman Lula untuk menginap sehari. Kedatangan mereka berdua disambut hangat oleh keluarga Lula, siapa lagi yang tidak mengenal Laudya sejak SMP bareng Lula? Paman dan Bibinya tentu amat mengenali Laudya.
“Halo, Laudya!” sapa Bibi.
“Halo, Bi!” balas Laudya.
“Ayo, masuk-masuk!” kata sang Bibi mempersilakan keponakan dan temannya memasuki rumah mereka.
“Matur nuhun, Bi!” jawab mereka dengan kompak. Setelah Bibi Lula mempersilakan masuk, mereka duduk di ruang tamu dan tengah berdiskusi tentang persiapan kuliah mereka di Jakarta.
“Jadi, kalian kuliah di Universitas apa?” tanya sang Bibi mengawali topik pembicaraan.
“Universitas Jayasta, Bi. Mau ambil jurusan seni bareng Laudya, iya’kan, Laud?” tanya Lula melemparkan pertanyaan pada Laudya.
“Betul, Bi. Jadi, kami jauh-jauh dari desa demi mengembangkan bakat lukis,” sambung Laudya. Bi Martina mengangguk paham.
“Udah nyiapin bekal, belum?” tanya Bi Martina.
“Itu, udah, kok, Bi. Papa sama Mama udah nyiapin bekal biaya kampus setiap semester ke depan nanti,” jawab Lula.
“Oke, jadi kalian tinggal saja disini. Gak perlu cari kost-an, lagian Jayasta tidak jauh dari rumah ini,” jelas Bi Martina. Lula dan Laudya saling tatap, mereka begitu canggung saat ditawarkan untuk tinggal di rumah Bi Martina.
“Eh, tapi, Bi?” kata Laudya malu-malu.
“Kenapa, Laudya?” tanya Bi Martina dengan tersenyum.
“Saya, saya saat sudah tiba di Jakarta. Saya mau cari tempat kost sama Lula–,” Bi Martina mencegat, ketika Laudya belum selesai berbicara.
“Jangan! Disini saja, biar lebih aman. Saat ini di Jakarta harga kost-an sedang naik harga, jadi kalian gak usah repot-repot mencari tempat penginapan lain. Toh, di rumah cuma ada Bibi sama suami Bibi aja,” kata Bi Martina membujuk Laudya.
“Berdua, Bi?” tanya Lula kaget, sang Bibi hanya membalas dengan anggukan.
“Martius kemana, Bi?” tanya Lula lagi, Martius. Ya, putra satu-satunya dari Bi Martina dan Pak Kusumo.
“Oh, Tius? Dia juga baru kuliah, sama kayak kalian. Tapi, dia lebih memilih untuk kuliah di Eropa. Baru aja berangkat kemarin sore,” jelas Bi Martinah.
“Oh, gitu, ya?” jawab Lula sambil mengangguk setengah syok.
“Ya, sudah sekarang kalian istirahat saja, ya?” kata Bi Martina. Mereka berdua saling mengangguk dan memilih kamar tidur untuk berdua.
Hari berikutnya, Laudya dan Lula mendaftrakan diri dikampus yang sudah mereka bahas kemarin dengan Bi Martina. Pendaftaran itu berlangsung selama satu minggu, akhirnya mereka diterima. Ospek? Ya, itu terjadi selama 4 hari ke depan sampai mereka berdua benar-benar resmi menjadi mahasiswi Univeristas Jayasta.
Tak hanya sampai situ, Laudya yang cukup berbakat bertemu dengan sosok pesaing dirinya. Seorang gadis yang juga baru saja menjadi mahasiswi, Idris Sabella namanya. Wataknya begitu angkuh dan sombong, bentuk wajah yang tegas dan menyebalkan. Saat OSPEK kemarin, Idris tidak suka melihat kehadiran Laudya, lukisan miliknya tidak boleh ditandingi oleh siapapun. Namun, Laudya hanya cuek saja kepada sikap jahat dari Idris yang sama sekali tidak dia kenali.
Ketika kelas berlangsung, Laudya mendapatkan tugas dari Dosennya untuk melukis tema malam dengan kayu-kayu hutan yang bernuansa sunyi dan gelap. Tangan Laudya cukup bergetar, lantaran dia jarang melukis tema tersebut. Idris tersenyum sinis, hatinya cukup puas melihat kegugupan dari Laudya.
Bagaimana ini? Duh, aku sebelumnya jarang melukis hal-hal seperti ini. Kegugupan hati Laudya amat kacau, dia berusaha menarik napas agar bisa lebih tenang.
“Cih gitu doang gak bisa, norak banget sih!” celetuk Idris dengan nada kecil, seakan tidak ada yang mendengarnya.
***
“Kegugupan adalah salah satu racun yang menyihir seseorang untuk kehilangan harapan, namun bisa diatasi jika kamu mampu melawannya!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Nona Opacraphile
RomanceKetika dia beranjak dewasa, semakin kejam rasanya dunia yang dihadapi. Tetapi, masih ada Lula, sahabat baik Laudya. Mereka sama-sama menyukai dunia seni dan kuliah di jurusan yang sama. Tapi, Laudya lebih menyukai senja dan menjadikannya ke dalam s...