Disarankan bacanya setelah buka puasa ☻
San terbangun saat jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi, tepat saat sinar matahari menelusup dari celah gorden yang terbuka.
San segera bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi ranjang. Kepalanya sudah tidak sakit, dan panas di tubuhnya juga sudah turun. Ia berusaha mengingat kejadian sebelum tertidur. Semalam Wooyoung merawatnya saat demam. Saat pemuda manis itu mengecek suhu tubuhnya, memberikannya obat, dan mengompres keningnya dengan air hangat. Semua itu terasa nyata.
Tapi apakah semalam benar-benar Wooyoung yang selama ini ia kenal? Yang selalu memarahinya setiap hari, tapi kemarin pemuda itu justru bersikap 180 derajat. Terlihat sangat manis saat merawatnya. Atau... Wooyoung yang dilihatnya semalam hanya bagian dari mimpinya saja?
San melangkahkan kakinya menuju lemari untuk mengambil handuk. Tubuhnya lengket bekas keringat karena demam semalam. Kemudian cowok itu pergi ke kamar mandi yang letaknya terpisah dari kamarnya. Saat melewati depan kamar Wooyoung, San teringat kembali kejadian tadi malam. Omong-omong di mana pemuda itu? Ah, jam berapa ini? Mungkin Wooyoung sudah berangkat kuliah.
Baiklah. Memang sejak bangun tidur, sebenarnya San tidak bisa berhenti mengingat kejadian semalam. Bekas tamparan Wooyoung tidak seberapa jika dibandingkan dengan kilatan marah pada tatapan Wooyoung. Tapi ada yang berbeda pada tatapan tersebut, sesuatu yang mengganjal yang dapat San rasakan. Terlihat sendu, terlihat sedih, terlihat... khawatir. Namun apa mungkin Wooyoung mengkhawatirkannya?
"Wooyoung?" San terkejut mendapati Wooyoung di dapur begitu ia selesai mandi dan turun ke lantai bawah hendak membuat sarapan. Pemuda Jung itu sedang sibuk memotong bawang bombai.
"Lu gak kuliah hari ini?" tanya San begitu sampai di belakang Wooyoung.
Wooyoung menggelengkan kepala, tanpa berbalik badan pemuda itu menjawab, "Gak ada kelas."
Seperti biasa, Wooyoung menjawabnya dengan santai. Wooyoung bersikap seolah tidak ada yang terjadi semalam. Padahal, San berharap Wooyoung akan mengkhawatirkannya lagi seperti yang dilakukan tadi malam. Atau sekedar menanyai keadaannya.
Tanpa San ketahui, sebenarnya Wooyoung sedang mati-matian menahan gugup. Bekas genggaman tangan San yang panas semalam masih bisa ia rasakan. Dan ketika Wooyoung ingat lagi kejadian itu, darahnya berdesir hangat.
San mengusap tengkuknya, sembari memerhatikan Wooyoung yang masih berdiri membelakangi.
"Berarti yang semalam itu cuma mimpi," ucapnya pelan. Nyaris tidak terdengar untuk orang yang jaraknya jauh, tapi untuk seseorang yang jaraknya hanya lima langkah di depannya, suara itu masih terdengar cukup jelas. Akibatnya, Wooyoung terkejut dan jadi salah tingkah. Bahkan ia tidak lagi hati-hati, melupakan kefokusannya pada sesuatu yang sedang ia kerjakan.
"AWW!!"
Sial! Pisau yang berada di genggaman tangan kanannya mengiris jari telunjuk tangan kirinya. Jari itu langsung mengeluarkan banyak darah.
Wooyoung memekik dan suaranya melengking seperti bocah perempuan.
"Wooyoung!" San buru-buru menghampiri Wooyoung, tepat ketika pemuda itu melepaskan pisau yang mengenai jarinya tadi dari genggaman. "Lu gak apa-apa?"
"Jari gue! Berdarah! Sakitt." Wooyoung sudah akan menangis dengan suara yang bergetar. Matanya semakin berkaca-kaca melihat darahnya menetes ke lantai.
"Coba gua liat." San meraih tangan kiri Wooyoung untuk dilihat. Kemudian cowok itu tersenyum. Senyum yang tidak dapat Wooyoung artikan, karena hal yang berikutnya dilakukan San membuat Wooyoung lebih terkejut. Cowok itu memasukkan jari telunjuk Wooyoung yang terluka ke dalam mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐩𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭 𝐬𝐭𝐫𝐚𝐧𝐠𝐞𝐫 || WOOSAN 17+ FF [ON GOING]
Fanfic"GUA GAK MAU PUNYA SAUDARA TIRI." -Wooyoung "Jangan terlalu benci. Nanti lu bisa suka loh" -Yunho "Gak mungkin!" -Wooyoung . . . - woo: sub/bottom - san: dom/top - bahasa non baku - 17+, 18+, 21+ written by atzgurl