08

429 55 7
                                    

Suasana sebuah kamar sabtu pagi ini cukup hangat, ditemani sinar matahari serta angin semilir kecil dari sela jendela yang sengaja dibuka agar udara berganti.


Badan kecil itu meregangkan badannya ke kanan dan ke kiri, sedikit ditarik ke atas, lalu melemaskan kaki, menggerakan sepuluh jari kakinya yag menimbulkan gemeletuk, menghasilkan suara yang memenuhi kamar yag dihuninya.




"Huh.. udah pagi kah.."




Masih belum sadar, sekarang ia sedang menatap langit-langit kamar yang entah kenapa menjadi lebih tinggi dari biasanya, dan sejak kapan kamarnya punya jendela yang menunjukan gedung pencakar langit?




"Kek di hotel.."



HAH!!!!



Nyawanya sudah terkumpul 95%, segera ia bangun ketika menyadari bahwa ia tidak sedang berada di kamarnya. Seingatnya ia sedang curhat dengan Haechan, lalu kenapa bangun- bangun ia berada di ruangan asing- "ADUUH!!" bonus tersandung bedcover.





Yang mana teriakan Renjun terdengar sampai luar ruangan. Pintu terbuka menunjukan Jeno dengan setelah santainya.




"Jeno?"




Jeno mendekati Renjun, pemuda itu sedari tadi meringis karna kesusahan bangun. Kaki siapa yang tidak lecet karna suda berjalan beberapa kilometer tanpa alas kaki.




"Aku bantu ya.." Dengan gentle  Jeno membantu Renjun untuk duduk di tepi kasur queen size millik Jeno.



"Ada yang sakit lagi?" Tangan Jeno tak hentinya membenarkan selimut yang masih menggelung badan Renjun. Setelahnya dilipatlah selimut itu dengan rapi, 



kek marki ya



PLAK!!



"Renjun??"



Secara tidak sadar Renjun menampar dirinya sendiri saat tiba-tiba membandingkan Jeno dan Mark. Ini bukan pertama kalinya, tapi ini pertama kalinya Jeno melihat itu, mebuatnya khawatir.



"Waduhh kenapa ditampar pipinya??"


Lah iya ya jawabnya gimana dong, 


"Ah itu.. kayak ada nyamuk, hehe."


Jeno secara implusif mengelus pelan pipi yang Renjun tampar tadi, membuat degupan jantung Renjun sekali lagi menjadi lebih kencang dari sebelumnya.



Oh, kalau dipikr-pikir dari tadi dirinya hanya menerima afeksi dari teman tapi mesranya ini, ia lupa bertanya kenapa dirinya berada disini.




"Oh.. itu, kamu mabuk kemarin. Terus kamu bilang kamu udah di kedai, aku langsung susul."



Jeno mengangkat telur rebus dengan cekatan mengganti air panas dengan air dingin agar telurnya mudah dikupas..


"Karna aku ga tau rumahmu, yaudah aku bawa dulu kesini." Renjun ber-ohh ria.



Dua porsi roti lapis telur mayo sudah siap dihadapan Renjun. Setelah mendengar penjelasan Jeno tadi bisa dipastikan ini karena kebiasaan mabuknya yang suka jalan-jalan ketika sudah tidak sadar.



Satu suapan lalu beberapa kunyahan, Renjun sangat terkesan dengan kemampuan memasak Jeno, walaupun hanya roti lapis. Nanti ia akan minta resepya ke Jeno.



"Kenapa harus minta resep? Aku bisa kok buatin kamu roti lapis tiap hari." Ujar Jeno kelewat  santai. Karna ini hari sabtu dan Renjun merasa tidak memiliki janji hari ini, ia memutuskan untuk tidak terburu-buru pulang. 
































Mereka sedang lesehan bermain lego di atas matras puzzle bermotif catur, kesannya seperti tempat khusus untuk bermain. Tapi dibandingkan mereka, lebih tepatnya, yang bermain adalah Jeno dengan Renjun yang menupukan dagunya di atas meja.




"Udah bosen?" Jeno memilih dan memilah bagian yang harus dipasangkan, sorot matanya sesekali menatap yang Renjun yang sepertinya nyaman hanya memperhatikan tidak ingin bergabung.




"Takut deh, gimana nanti kalo aku jatuhin menaranya?" begitu alasan Renjun tadi. Tapi Jeno pun tidak keberatan kok kalau Renjun mengacak susunan lego yang sedang dibuat ini, rasanya tidak sebanding dengan Renjun yang sudah mengacak-ngacak perasaannya, ouch..




Jeno izin tidak masuk pagi ini, Jisung akan mengurus kedai sendiri (lagi). Sebenarnya tadi Jeno akan mengantarkan Renjun pulang, sambil modus bisa mengetahui tempat tinggal Jeno. Tai sepertinya Renjun belum mengizinkannya. Jadi sebagai gantinya Jeno menawarkan Renjun untuk bermain di apartemen miliknya.





"Nanti sore mau makan apa?" Renjun menyamankan rebahannya di sofa. Aduh rasanya seperti pengantin baru ya, dirinya yang nyaman  di sofa dengan Jeno berada di depannya masih berusaha menyelesaikan puzzle menara terkenal di dunia itu lalu ditemani televisi besar yang menonton mereka berdua.




"Ga tau yah, mau makan apa, aku juga bingung." Kurang tiga potongan maka menaranya akan selesai.




"Kalo kamu sendiri lagi mau apa?" Jeno melepar pertanyaan ke Renjun lagi.






Tapi sampai potongan terakhir puzzle terpasang Renjun masih belum menjawab pertanyaanya. Jeno akhirnya berbalik dan mendapati Renjun yang menatapnya intens. Udara di apartemennya ini tiba-tiba terasa panas entah kenapa. Tapi Jeno masih harus bertanya Renjun ingin makan apa, maka ia bisa menyiapkannya segera atau memesan delivery.





"Kalo makan kamu boleh?"






Renjun, Jeno bukanlah prajurit terkuat.. 





Ia akan terima jika Renjun tiba-tiba menamparnya setelah ini.





Jeno dengan cepat menyatukan kedua bibir mereka. Menikmati sisa rasa micin yang tertinggal di tepi bibir Renjun. Dang! Jeno menahan dirinya untuk tidak terlalu brutal. Bagaimana pun ini pertama kalinya bagi mereka. 





Setelah beberapa kecupan kecil dibubuhkan Jeno menyatukan kenig mereka, mengarahkan kedua tangan Renjun untuk mengalungi lehernya.




"Aku tidak tau kamu senakal ini."





Renjun hanya tertawa tanpa ingin menjawab.





Rasa panas di apartemen itu tidak hanya Jeno yang merasakan, tapi Renjun pun begitu. 




Semakin lama mereka bertatapan, semakin intens Jeno rasakan, apalagi tangan Renjun yang tidak menganggur, mengusap-usap pelan helai rambutnya.




Kecupan pelan Jeno bubuhkan sekali lagi. "Kamu yakin ngelanjutin ini?" Jeno menanyakan konsen kepada Renjun. Ia tidak bisa bertindak berengsek. Ini anak orang.




Renjun tanpa berikir langsung mengagguk.





Dalam sekali sentakan Jeno berpindah berada di atas Renjun. Menguasai pemuda kecil yang sudah berantakan bibirnya itu. Senyuman nakal sudah bertengger di wajah Jeno.




"So, itadakimasu?"

CABARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang