Prolog

44 18 7
                                    

Jaket lusuh itu terjatuh dari kursi kayu yang sudah lapuk. Diruangan dengan luas 3x3 meter persegi itu sungguh sangat suram. Terlihat dinding dengan percikan darah yang sudah mengering siap untuk dicuci. Tali gantungan berdiri kokoh menentang kemanusiaan tinggal secuil sebab gentar pada senapan dan pedang panjang yang siap menusuk.

Disebelah ruangan itu terenggah suara napas putus asa dengan seorang lelaki dibalik jeruji besi. Tatapan lelaki itu kosong, enggan bersitatap pada realita sebab kepalanya memikiran per-andai-an jika dia tak memilih jalan yang ini.

"Apakah salah menjadi cerdas?" Gumamnya getir. Ia tak kuasa menghadapi maut yang seolah menunggu di ujung lorong.

Mata berwarna abu-abu itu sudah melihat teman-temannya dihampiri oleh ajal. Mati di tali gantungan, kursi listrik, ditembak ditempat, dipukuli habis habisan, mati kedinginan sebab dibiarkan membeku diruangan pendingin raksasa.

Dan sialnya, dia harus memakan daging sang kekasih. Sang tunangan tercinta yang selalu ia rindukan tubuh dan jiwanya. Badan ramping kecil itu selalu pas saat dipeluk, diciumi manja bukan berakhir dipanggangan siap untuk disantap dengan saos Teriyaki.

Ia masih ingat bagaimana sang kekasih diberikan obat tidur dengan dosis tinggi, dicabuli dalam tidurnya, lalu dikuliti hidup-hidup. Bahkan ia tak bisa mendengar suara terakhir sang pujaan hati.

Lelaki bernetra abu-abu itu pasrah. Keluarganya ia tinggalkan sejak lama demi menjadi seorang ilmuwan, demi ide cemerlangnya bersama sahabat sejiwanya namun naas ide itu kandas karna dianggap menganggu rencana 'para kehormatan'

Sang Ilmuwan tertawa getir, lelah sudah dia membela umat manusia. Meluangkan waktu, tenaga, dan otaknya bahkan relasi keluarganya.
Tak apa. Setidaknya dia mati dalam kebaikan walaupun rencana menyelamatkan umat manusia harus gagal.

"Selamat malam, Tuan Ilmuwan siap bertemu ajalmu?" Suara itu menjadi gema sebab ruangan terlampau sunyi.

Ilmuwan itu tahu suara pria berbadan besar dengan topeng dan jubah didepannya memakai pengubah suara sebab dia mendengar suara seperti kaset rusak yang berulang-ulang.

"Apakah aku bertemu dengan kekasih dan sahabatku disana?" Sang Ilmuwan bertanya balik.

"Lho, bukannya sudah bertemu? Bukankah Lilly kekasihmu sudah masuk ke lambungmu? artinya kau sudah satu tubuh dengannya, seperti janji pernikahan. Ah, romantis sekali."

"Terima kasih sudah memberikanku kesempatan melihat tunangan ku, tuan. Kau baik sekali."

"Yah sama-sama, sebenarnya atasanku bilang untuk membuang daging Lilly itu tapi, sayang sekali jika ia tak bertemu denganmu. Ah, aku suka sekali dark romance." Nampaknya pria besar ini sudah gila.

"Jadi apa agenda mu hari ini? Ah, apa kau ada rokok?"

"Ini. Agenda ku itu membunuhmu." Si Pria besar memberikan sebatang rokok dan membakar rokok itu lalu menyodorkannya pada Sang Ilmuwan.

"Terima kasih atas rokoknya, kamu act of service juga ya. Ah, aku sarankan bunuh aku diruangan pembeku saja."

"Maaf, kawan. Atasanku bilang untuk membawamu menjadi makanan buaya." Nada sedih bahkan keluar dari mulut pria besar.

"Apa aku harus berenang ke kolam buaya?"

"Tidak. Maafkan aku lagi. Tapi kamu mati di guillotine."

"Pastikan darahnya tak terciprat kemana-mana."

"Untuk seorang yang akan disiksa kau banyak maunya juga ya?" Si pria besar terkekeh sambil membawa Sang Ilmuwan untuk ke alat pancung manusia yang sangat legendaris itu.

Asap rokok mengepul seiring Sang Ilmuwan menyeret kakinya dengan dibopong oleh Pria besar selalu Algojo hingga mereka sampai ke ruang dimana akhir hayat Sang Ilmuwan.

Ilmuwan itu dibaringkan telentang tampak keranjang besar sudah tepat dibawah kepalanya seolah siap menangkap tempurung kepala itu jika menggelinding setelah bersua pada mata pisau guillotine.

"Hey, bung bisakah kau ganti rokok ku dengan yang baru?"

Algojo berbadan besar itu mengangguk sambil tersenyum kecil dengan sifat sang ilmuwan. Si Algojo menghampiri sambil membawa sebatang rokok, menyelipkan dibibir lelaki bernetra abu-abu lesu itu kemudian membakar rokoknya.

"Kau tahu bung, aku selalu berharap aku mati seperti aktivis berdarah Tionghoa bernama Soe Hoek Gie, mati dikeabadian gunung Semeru."

"Percayalah kawan, dipancung pun lebih heroic lagi. Kurasa saatnya sampai jumpa harus ku ucapkan. Terima kasih sudah mau mendengarkan radio bersama ku meskipun kau tahananku, bung."

"Terima kasih juga atas makanan, minuman, tempat tidur dan rokok yang selalu kau berikan, kawan. Aku mengasihimu."

Alat pancung itu menurunkan membuat kepala Sang Ilmuwan menggelinding menuju keranjang besar dibawahnya. Darah terciprat membasahi guillotine itu.

Sudah selesai, Ilmuwan itu sudah tamat.

Algojo bertubuh besar hanya menatap datar dan mengambil kepala Sang ilmuwan, mengelapnya, membersihkannya lalu membungkusnya kedalam kardus. Siap untuk dikirim ke sang atasan. Dia tahu untuk apa kepala ini, sebab dua hari nanti dia percaya kepala Sang ilmuwan akan menjadi pajangan dinding.

Algojo itu bersiul dengan senandung dan joget joget lincah sembari membawa kardus berisi kepala kedalam mobil.

Tak lama wajahnya merenggut, "Sialan aku rugi satu batang rokok. Dasar ilmuwan setres dia mati dalam rokok masih menyala. Tahu begitu ku biarkan dia menghabiskan rokoknya."

Opresi MassalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang