Restoran Hangus

26 15 2
                                    

"Haduh, kenapa sih Ella selalu mengetahui hal hal gila dan berbahaya?" Gerutu Sadiva merasa kesal sekali.

Rasa ingin tahu mereka harus ditelan bulat-bulat melihat polisi-polisi melarang warga sipil untuk mendekat. Saat Adira menjelaskan bahwa dia harus meliput kejadian ini sebagai Jurnalis justru, gadis itu mendapat perlakuan kasar. Adira baru saja dibentak oleh polisi bertubuh gempal dengan kumis panjang yang mengatakan bahwa jurnalis selalu saja mengambil kesempatan mencari uang saat jiwa jiwa banyak yang dikirim ke neraka.

Sadiva merotasikan matanya lelah, dia selalu menemukan polisi seperti ini saat menemani Adira meliput berita ataupun menemani Ella mencari untuk bahan pembahasan di buku buku berbahaya miliknya.

"Sahabatku ini tak senang pria membentak perempuan, lebih baik kau minta maaf pada teman Jurnalis ku ini." Ucap Sadiva dengan santai.

"Masa bodoh soal sahabatmu, sialan." Geram si polisi yang nampaknya disebut sebagai Inspektur polisi.

"Dia baru saja memiliki ipar jaksa. Kau bisa dituntut. Dan jika kau lupa temanku ini seorang jurnalis, dia bisa mengurungkan niatnya untuk menulis berita perihal restoran Hangus ini dan menggantinya dengan Inspektur Polisi membentak sekaligus menganiaya jurnalis miskin. Aku rasa masyarakat lebih suka berita tentang Inspektur polisi itu."

Hening sejenak. Sang Inspektur Polisi membeku tak lama dirinya menghela napas.

"Ku izinkan kau ambil berita, setelah kami selidiki lebih dahulu." Finish nya lalu pergi meninggalkan mereka.

"Apa yang kau perlukan untuk berita mu? Kau butuh kamera?" Sadiva menawarkan bantuan, bermaksud mempercepat kerja sang sahabat.

"Ah boleh, terima kasih ya sudah membela ku," tersenyum ceria dia sangat beruntung memiliki Sadiva dengan mulut sedikit pedas meski tak sepedas salah satu sahabat mereka yang berkuliah di Belanda sekarang.

"Sekali-kali, gunakan kemampuan berkomunikasi mu sebagai penulis berita untuk mengancam seseorang. Kau harus bisa menggertak." Saran Sadiva sambil menatap Adira lurus bak orang tua sedang menasihati anaknya.

Seorang polisi muda mendatangi mereka, dan mempersilahkan kedua gadis itu untuk melihat Tempat Kejadian Perkara. Sadiva membiarkan Adira berkeliling sembari menanyakan pada polisi beserta saksi yang ada di tempat kejadian saat malam hari.

Sadiva menatap dengan netra hitam bulat miliknya kursi-kursi restoran yang telah gosong dan bau daging bakar yang lengket. Ia tahu itu bukan daging bakar saat perayaan Tahun baru melainkan daging manusia. Sekilas gadis itu mencium aroma bensin disekitar dapur dan kursi-kursi tamu.

"... Kami melihat seorang gadis berjalan cepat dengan sepatu pantofel dan mantel navy memakai topi baret namun, kami tidak melihat rambutnya pendek atau panjang. Dia lebih mirip orang Asia bukan Eropa." Samar-samar suara saksi terdengar. Baru saja, Adira bertanya bagaimana ciri-ciri pelaku dan apakah saksi melihat kronologinya. Tapi, saksi tidak melihat kronologi yang terjadi. Saksi hanya melihat orang mencurigakan keluar dari gerbang restoran tersebut.

"Orang.. Orang Asia?" Sadiva bergumam. Kepalanya sibuk mengeluarkan praduga.

Setelah saksi itu pergi menghadap polisi, Adira mendekat pada Sadiva, "Apakah Ella? Tapi dia bahkan ada bersama kita semalam. Menurutku, dia terlibat. Soalnya dia mengetahui hal ini lebih dulu!"

"Tidak. Bisa saja itu hanya omongan mengambang darinya. Dia gemar berbicara tidak jelas." Sadiva mencoba menampik pendapat gadis berkacamata merah jambu sahabatnya itu, Sadiva memilih untuk percaya pada Ella meskipun dalam kepalanya memilih argumen yang sama sesuai apa yang Adira ucapkan.

"Aku mengerti, Sadiva." Adira mengerti makna dari perkataan Sadiva. Sangat jelas Sadiva menampik bahwa sahabat mereka bagian dari tindakan kriminal ini.

Opresi MassalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang