LVM - 29

81 17 0
                                    

Happy Reading ✨️

***

“Oleh karena itu, kami sebagai orang tua dari Erza ingin menyampaikan dengan tulus niat untuk melamar putri Bapak/Ibu—Aziza sebagai bentuk keseriusan kami. Kami berharap Bapak dan Ibu berkenan merestui niat baik kami dengan menerima lamaran ini.” Gavin mengembuskan napasnya pelan.

“Bagaimana, Aziza. Apakah kamu menerimanya?” Kiai Zahid memandang putrinya yang senantiasa menundukkan pandangannya.

Cukup lama Aziza terdiam yang membuat Erza duduk dengan tidak tenang di tempatnya. Keringat dingin pun mulai bermunculan di dahi pria itu.

“Terima kasih atas niat Erza untuk melamar saya. Insya Allah dengan restu Abi dan Ummi, saya bersedia menerima Erza sebagai suami dan imam dari bahtera rumah tangga yang akan menuntun saya menuju surganya Allah.” Jawaban Aziza menghadirkan angin sejuk untuk Erza yang sedari tadi tegang, takut lamarannya ditolak gadis itu.

Penyematan cincin pun dilakukan untuk mengikat Aziza yang telah resmi menjadi calon istrinya. Redyna menyematkan sebuah cincin di jari manis Aziza. Setelah terpasang, gadis itu meraih tangan kanan Redyna lalu menciumnya. Ibu empat anak itu merasa terharu hingga memeluk tubuh Aziza dan menggumamkan terima kasih.

Suara ribut-ribut dari luar terdengar ke dalam, yang menyentak perhatian mereka ke arah luar. Salah satu dari mereka ada yang keluar untuk memastikan keadaan. Ada apa sampai bisa seheboh ini? Untung keributan yang tercipta entah karena apa terjadi saat acara lamaran telah selesai.

“Itu, Gus. Di taman ada perempuan yang pingsan. Kayaknya dia salah satu tamunya Kyai,” ujar seorang santri yang ditanyai oleh kakak Aziza.

Suara santri itu lumayan kencang bahkan sampai terdengar ke dalam. Adam yang mendengar kabar itu seketika jantungnya berdebar kencang, ia khawatir jika perempuan yang dimaksud itu adalah istrinya. Dengan rasa khawatir dan panik setengah mati, Adam berlari keluar. Raut wajahnya tegang, tubuhnya sampai bergetar tak karuan.

“Anter saya ke sana,” pinta Adam pada santri yang tadi memberikan informasi. Suaranya terdengar sengau.

“Baik.”

Sesampainya di tempat kejadian, Adam melihat orang-orang berkerubung menutupi sosok perempuan yang pingsan itu. Adam menerobos mereka dan seketika napasnya tercekat kala melihat dengan jelas perempuan tersebut. Dia ... Cira—istrinya.

“JANGAN SENTUH ISTRI SAYA!” teriak Adam marah saat beberapa lelaki berniat mengangkat tubuh Cira. “Minggir kalian semua!”

Pria itu bersimpuh di samping tubuh Cira yang tidak sadarkan diri. “Sayang, bangun,” bisik Adam, menepuk pelan pipi sang istri. Pendar matanya sudah menunjukkan bahwa Adam akan menangis sebentar lagi sebelum suara pria terdengar.

“Sebaiknya istri Anda dibawa masuk ke dalam untuk diperiksa, Pak.” Kakak Aziza menyarankan hal terbaik.

Segera Adam mengangkat tubuh tak berdaya istrinya untuk dibawa ke dalam. Baru beberapa langkah tungkainya bergerak, kehadiran Lili yang sejak tadi tidak diketahuinya membuat Adam berhenti saat mendengar tangisan sang putri yang bertanya kepadanya.

“Papi, mamina Yiyi napa?” Lili sangat syok mendapati maminya pingsan tepat di depan matanya. Anak itu sejak tadi tidak berhenti menangis dengan tangannya yang berusaha menggapai Cira namun dihalangi oleh salah satu santriwati yang menggendongnya.

“Mami baik-baik aja, Tomato,” ucap Adam disertai senyum terbaiknya meski perasaannya sedang terguncang. “Lili sama Om Zen dulu ya?” Lirikan matanya mengisyaratkan Zen untuk lekas mengambil Lili dari santriwati itu. Setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya begitu juga Kakak Aziza.

Love Very Much [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang