Pernikahan terjadi sesuai kehendak Narendra yang akrab dipanggil Aren oleh orang-orang terdekatnya. Pesta mewah berlangsung di salah satu gedung termegah di Jakarta. Pahatan sepasang patung angsa terbuat dari es menjadi pusat perhatian saat memasuki ballroom yang luas. Ukuran patung yang besar memantulkan cahaya warna-warni dari lampu membuatnya terlihat memesona. Belum lagi bunga asli yang menebarkan aroma wangi alami memberi impresi yang menyenangkan sekaligus menenangkan. Kain dua warna terpasang di langit-langit gedung menyatu di satu titik yang ditandai lampu kristal yang meruncing di ujungnya. Di beberapa sisi kain-kain menjulur ke hiasan lain berupa bunga-bunga sintesis.
Menu prasmanan tersedia beragama mulai dari makan Cina, Jepang sampai makanan tradisional khas Indonesia. Tak lupa minuman dari berbagai daerah pun tersaji melengkapi sajian jamuan.
Dalam balutan gaun putih mengembang dan mahkota mungil menghias kepala membuat Tyas yang berdiri di samping Aren tampak seperti seorang ratu. Namun, tidak ada yang berkesan bagi wanita dengan riasan sempurna itu selain rasa lelah yang menggerogoti jiwa dan raga harus menyalami ratusan tamu undangan. Hingga acara usai yang ingin Tyas lakukan hanyalah menyantap semangkuk soto sulung, sepiring siomay, dua cup puding susu, dan segelas besar es bajigur yang segar.
Malam harinya, setelah memastikan Luna tertidur, keduanya pun terlelap seperti mayat. Hanya bantal guling yang menjadi pembatas. Tidak ada yang tertarik membuka ratusan bingkisan kado dan amplop yang sebagian besar dari koleganya Aren.
***
Aren membawa Tyas dan Luna ke kediamannya di Sunter Garden. Sebuah rumah tiga lantai yang didominasi warna putih dengan halaman luas yang dihiasi tanaman bonsai berbagai jenis, kamboja, bugenvil, dan tanaman yang tidak Tyas ketahui namanya. Dalam gendongan Tyas, Luna memindai rumah baru yang akan mereka tempati. Gadis berkucir dua melorot dari gendongan dan berlari ke arah tanaman bonsai. Namun, saat seekor kupu-kupu mendekat dia berlari histeris sambil berteriak, sebelum menubruk tubuh ibunya, kaki Luna tersandung sesuatu. Tubuh kecil terpelanting ke rerumputan. "Luna," pekik Tyas langsung menyongsong dan memeluknya. Luna mencengkeram erat gaun selutut yang Tyas kenakan.
Aren yang kurang nyaman bertanya, "Apa dia selalu seperti itu?"
Tyas tidak bisa memungkiri, Luna selalu histeris saat hewan jinak sekali pun mendekat. Tidak ada kata lain yang bisa dia lontarkan selain, iya.
"Tenang saja, semua akan membaik setelah terapi."
Wanita bergaun putih tulang mengangguk setuju. Itulah harapan terbesarnya. Kesembuhan Luna!
"Apa dia tidur?" tanya Aren melihat Luna terkulai di gendongan Tyas setelah menangis seharian. "Baringkan di sini."
Pintu kayu berwarna putih dibuka menampakkan bagian dalam kamar berwarna salem yang lembut. Sebuah single bed diletakkan berimpitan dengan dinding terjauh dari pintu. Sebuah lemari pakaian, rak untuk mendisplay mainan, dan meja belajar semua berwarna cokelat kayu. Seakan semua sengaja didesain untuk Luna. Kamar yang memberi kesan tenang. Tyas sangat menyukai ruangan itu.
"Terima kasih," ucap Tyas setelah membaringkan putrinya yang terlelap.
"Dengar, aku tidak punya banyak waktu. Kita tidak akan berbulan madu."
"Aku mengerti," jawabnya seraya merapikan selimut. Dia pun tidak pernah berpikir sejauh itu. Mendapatkan jaminan kesehatan Luna sudah lebih dari cukup, apalagi yang bisa dia minta?
"Gunakan waktu cuti untuk mengobati Luna."
Kalimat yang diucapkan Aren sangat jauh dari kata romantis, tetapi dadanya terasa menghangat.
"Ada dua orang bekerja di sini, Pak Ateng dan Mbok Darmi yang bekerja setengah hari. Kau bebas pilih salah satu kamar di rumah ini."
Tyas tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Semua ingatan terkumpul dengan cepat. Alasan yang membawanya ke pernikahan penuh ilusi. Dia harus sadar posisi dan statusnya bukan siapa-siapa selain rekan bisnis. Susah payah Tyas memasukkan oksigen dalam dadanya yang kian sesak. Seakan lapisan udara di sekitar menipis. Luka-luka akibat kandasnya pernikahan sebelumnya bahkan masih terasa nyeri meski bertahun-tahun terlewati, keadaan memaksa dirinya terjebak dalam ikatan serupa.
Tarikan napas Luna yang terdengar berat mengumpulkan kembali puing-puing kesadaran Tyas. Kembang-kempis dada Luna sangat menampar dan melemparnya kembali ke kenyataan. Tujuan pernikahan keduanya hanya untuk Luna. Setidaknya terapi Luna tidak perlu tertunda hanya karena tersendatnya dana. Dia hanya perlu bekerja keras untuk Aren, lelaki itu akan mengalirinya uang untuk terapi Luna.
Tidak boleh emosial, Tyas. Emosi hanya akan memperburuk keadaan, Tyas membatin menguatkan diri sendiri.
Dia berjanji akan memerankan perannya sebaik mungkin. Pernikahan sandiwara ini akan terlihat sebagai pernikahan sempurna di mata masyarakat.
***
Dengan bantuan Pak Ateng, Tyas menemukan lokasi praktik Rosdiana dengan mudah. Kesan pertama saat bertemu dengan wanita semampai itu adalah ketenangan. Dirinya menebarkan ketenangan melalui senyum yang tak pernah lepas dari wajah ovalnya. Mata teduh saat dipandang, hidung yang tidak terlalu mancung, tetapi tidak bisa dikatakan pesek juga, singkatnya dengan dagu meruncing yang dimiliki, dia sangat cantik.
Rosdiana mempunyai gaya bicara yang khas, suaranya yang dalam terdengar lembut. Tyas tidak ragu memaparkan kondisi Luna tanpa ada yang ditutup-tutupi.
"Tidak ada cara lain, untuk mengatasi rasa takutnya, dia harus berani berinteraksi dengan hewan itu."
"Tapi bagaimana? Melihatnya saja dia akan histeris," jelas Tyas sambil berjalan pelan di samping Rosdiana. Matanya menerawang jauh ke arah Luna yang berlari. Kadang tubuh kecil itu oleng hampir menabrak benda-benda atau tiang besi di depannya. Tyas sangat khawatir.
"Pelan-pelan saja, Bu. Nanti akan saya atur jadwal terapi selanjutnya." Rosdiana berjalan cepat mendahului Tyas dan jongkok di samping Luna. Dari jarak beberapa meter Tyas mengamati Luna yang tidak tantrum atau terganggu dengan kehadiran Rosdiana di sisinya. Tyas berharap serangkaian terapi yang disarankan Rosdiana akan berjalan lancar, lebih dari sebelas jenis terapi yang harus Luna jalani.
"Ada kejutan untuk Luna, loh," ucap Rosdiana sangat pelan. Tangannya memperkuat dengan gerakan isyarat untuk meraih perhatian gadis kecil berjaket parka di sampingnya.
Gadis kecil itu berteriak sambil menggigit tangannya di sela-sela lompatan lincahnya.
"Tidak, Luna. Jangan." Rosdiana memotong perkataannya sebelum melanjutkan. "Sakit," lanjutnya. "Sakit, Luna. Kau mengerti?"
Gadis di depannya bengong, tetapi Rosdiana tahu, bocah itu menyimak. "Pintar, ini hadiahmu."
Luna menerima squizi lucu berukuran sedang dan berlari memeluk Tyas. Berulang kali dia menunjukkan mainan lunak bergambar kelinci sambil berbinar.
"Ucapkan apa, Luna?" Dengan penuh harap Tyas menatap putri semata wayangnya. "Te-ri-ma ka-sih." Tyas membimbing putrinya perlahan. Bola matanya terasa perih seketika. Untuk mengucapkan satu kalimat pendek saja, Luna butuh perjuangan ekstra.
"Luna cepat mengerti, dia pasti akan lebih baik," kata Rosdiana menghibur Tyas yang hanya mengangguk mengaminkan. Sikap dingin Aren tidak berarti apa-apa, Tyas masih bisa menahannya. Lelaki itu menerima Luna, memberi pengobatan terbaik, dan keamanan dalam hidup Luna, tetapi Henri, ayah kandungnya justru memilih menyingkirkan Luna dengan menitipkan ke panti rehabilitasi khusus penderita autisme. Tyas menarik napas panjang menenangkan gejolak dalam dirinya.
🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] RETAK
Romance[Runner Up AMM Project] Tidak semua luka masa lalu bisa disembuhkan oleh waktu, tetapi tidak ada yang lebih baik bagi penyesalan selain kesempatan kedua. *Pernah terbit di Autumn Maple Media dalam The Blood, Sweet, and Tears