RETAK 9

76 11 0
                                    

"Kau menanggung semua ini sendirian?" tanya Aren tanpa melepas dekapannya. "Kau menyimpan rahasia sebesar itu dari diriku?" Tyas masih belum bisa mencerna dengan baik perkataan Aren. Bukankah beberapa waktu lalu dia bilang akan membebaskan dirinya dari ikatan rapuh mereka? Kesunyian memberi waktu keduanya menyelami perasaan satu sama lain. "Apa pun alasannya, aku suamimu yang sah! Tidak boleh ada rahasia antara suami dan istri, kan?"

"Maaf, aku tidak bermaksud menyembunyikan tentang hubunganku dengan Henri. Pernikahan kita hanyalah pernikahan bisnis, urusan pribadi tidak boleh dicampur aduk." Tyas tidak ingin Aren kembali ke masa yang menyedihkan saat dia mendengar alasan sebenarnya, tidak ingin merusak kebahagiaan Aren yang meluap-luap saat mendengar kehamilan Tyas.

"Apa ini, kau bilang tadi perasaanmu telah berubah?"

Tyas beranjak tanpa menjawab pertanyaan Aren. Tidak penting perasaannya telah berubah, untuk apa dibahas jika akhirnya berujung pisah. Lebih baik semua berjalan sesuai skenario yang sudah Tuhan ciptakan.

Pintu kamar telah dikunci menutup akses masuk bagi siapa pun. Tyas tidak ingin ada yang menyaksikan kehancurannya. Dia biarkan air dari shower membasahi kepala, seluruh tubuh, dan menghilangkan duka di hatinya.

Sekeras apa pun wanita itu mencoba berpikir jernih, tetap saja dia tidak bisa menerima jika perpisahan terjadi antara dirinya dengan Narendra. Bayangan Aren yang sangat bahagia mendengar berita kehamilannya, senyum yang mengembang saat menemani Luna terapi, dan dia bekerja lebih keras menjelang kelahiran pewarisnya. Semua kenangan itu menusuk jantungnya dengan sangat menyakitkan.

Suara tangis Tyas teredam gemericik air di bath up yang meluap. Dia menenggelamkan diri di bak mandi mungil itu dan tidak ingin keluar dari sana.

"Ma-ma-ma." Surya kecil bisa menyebut namanya dengan terbata-bata di usianya hampir menginjak dua tahun. Kemampuan Surya memenangkan hati Tyas. Bocah itu persis seperti ayahnya, memiliki warna mata keemasan dengan alis tebal. Wajahnya terbilang tampan, sayang tak hentinya Surya menggigit ujung kuku meski sudah tumpul tidak bisa digigit lagi, dia akan menggigit jarinya dengan gemas. Segaris senyum saat bermain dengan ayahnya, Tyas ingin melihat lebih banyak senyum dari Surya.

Sosok Luna yang sibuk dengan lego yang berantakan di kelilingnya tak mau kalah muncul bagai hologram. Gadis kecil itu melompat-lompat kegirangan berhasil menyusun benda warna-warni itu berderet-deret di lantai.

Kedua buah hatinya yang istimewa. Mereka membutuhkan perhatian khusus, jika bukan Tyas yang merawatnya, siapa lagi?

Tyas menyembul dari air dengan napas termengah-mengah. Ini bukan pertama kali dirinya terluka, dia harus kuat.

Dalam balutan handuk kimono putih, Tyas keluar dari kamar mandi. Terlalu lama berendam membuat jemari mengerut dingin, bibir pun berubah biru.

"Kau meninggalkan pembicaraan yang belum selesai." Suara rendah yang terkesan angkuh menyapa indera pendengaran Tyas. Suara penuh penekanan yang sudah lama tidak dia dengar membuatnya terkejut. Dua tahun terakhir, Aren tidak pernah masuk ke kamar Tyas untuk mengunjunginya dan sekarang ....

Tyas tidak heran jika Aren ada di kamarnya saat ini, lelaki itu pasti punya akses cadangan meski pintu kamar telah dikunci.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan."

"Katakan, apa kau menerima tawaran Henri untuk rujuk?" Dari jarak beberapa meter, mata keemasannya mengunci tatapan Tyas.

"Tidak."

"Kenapa?" Pelan, tetapi pasti langkahnya memangkas jarak.

"Semua perasaan yang kumiliki untuknya telah lenyap sejak dia membuang Luna."

"Lalu?" Ketukan langkah itu terhenti saat tubuh tinggi Aren tepat di depan Tyas.

"Apa maksudmu dengan lalu?" Suara Tyas terdengar mulai tergagap.

"Kenapa kau tidak mau kubebaskan dari ikatan yang menyakitkan ini?"

"Terikat sebuah janji," jawabnya dengan bergetar.

"Kau yakin hanya itu?" tuntut Aren.

"Aku akan bekerja untukmu, kau akan memberiku uang. Itu saja."

"Aku akan memberimu uang terus-menerus apa kau mau lepas dari ikatan ini?"

"Tidak. Perceraian tidak ada dalam perjanjian."

Aren tersenyum samar dan mengeluarkan pertanyaan yang dia tunda sejak tadi. "Apa kau tidak pernah mencintaiku sama sekali?"

"Itu tidak penting." Pandangan Tyas mulai tidak fokus apalagi saat detak jantungnya tidak dapat dia kendalikan. Bola mata itu akan bergerak-gerak tak beraturan.

"Walau hanya sehari atau sesaat?"

"Tidak sehari, tidak juga sesaat," elaknya.

"Kau tidak pernah menjawab pertanyaanku dengan benar."

"Tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban karena kau bisa melihat atau merasakannya."

"Kau benar." Aren berbalik hendak meninggalkan Tyas yang mengembuskan napas panjang. Diam-diam Aren tersenyum. Dia memutar tubuh hingga menghadap Tyas kembali dan berkata, "Kau benar, Tyas. Tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban karena kita bisa melihat dan merasakannya."

Satu langkah panjang membuat Tyas mundur membentur dinding. Dia terkejut dengan sikap Aren yang terlihat berbeda. Kedua tangan kokoh itu memegang pundak dengan mantap. Matanya berapi-api dan menatap waspada. Tatapan yang pertama kali dia terima saat pertemuan pertama mereka.

"A-aren, apa yang kau--" Kecupan singkat membungkam bibirnya yang dingin. Tyas merasa kesulitan menelan ludahnya. Sentuhan di pundak melonggar dan melayang ringan menyentuh kulit berhanduk kimono. Tyas merasa ada sesuatu yang hilang saat jemari itu turun ke telapak tangan, lalu bukannya menggenggam, jutru perlahan-lahan sentuhan itu terlepas. Mata Aren yang berkaca-kaca belum melepas tatapannya.

"Apa yang kau rasakan, Yas? Apa kau marah aku menciummu tanpa izin? Atau kau merasa jijik punya suami sepertiku?"

Tyas menggeleng. Dalam kepalanya yang menunduk, ada air mata yang mulai menetes.

"Kenapa menangis, Yas?"

"Aku tidak menyangka kau akan menyentuhku setelah bertahun-tahun."

"Aku tidak akan menyentuh tanpa seizinmu, Yas."

🌻🌻🌻

[TAMAT] RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang