"Terapi ABA-Applied Behavioral Analysis- sangat penting, diharapkan keluarga memberikan support agar hasil terapi maksimal." Rosdiana duduk di bangku taman bersama Tyas. "Lihat, bukankah perkembangannya sangat pesat?"
Tyas mengikuti telunjuk Rosdiana yang mengarah ke Aren dan Luna. Meski belum berani menyentuh, Luna tidak menjerit histeris saat burung-burung mendekat memakan remahan roti tawar yang dia lemparkan. Dia akan bersembunyi di ceruk leher Aren saat burung-burung terlalu dekat.
Angin bertiup cukup kencang sampai rambut pendek Luna berkibar-kibar. Terlihat Aren memperbaiki posisi topi rajut Luna yang nyaris terjatuh. Dia menggendong Luna menghampiri Tyas.
"Merawat anak istimewa seperti Luna butuh kontrol emosi yang baik dan stok sabar yang banyak." Pelukan hangat menjadi perpisahan mereka. Sebelum benar-benar berpisah, Rosdiana sempat berpesan, jaga diri baik-baik. Sambil mengelus perut Tyas yang membesar.
"Es krim, mau es krim!" Luna memekik membuat orang-orang di sekitar kaget. Sesuai permintaannya, Aren membawa Luna mampir di kedai es krim tanpa sepengetahuan Tyas.
"Astaga, Aren! Kau memberi Luna es krim?" Tyas naik pitam melihat es krim bergambar semangka ada di tangan Luna. Dia baru meninggalkan mereka ke toilet sebentar, Aren memberinya makanan yang harus dihindari anak-anak seperti Luna.
"Apa yang salah memberinya es krim?" tanya Aren dengan ekspresi polos.
"Harusnya kau tanya dulu! Kasein dalam es krim tidak baik untuk anak autisme seperti Luna," jelasnya dengan kesal dia merebut es krim dari tangan Luna dan membuangnya sembarang sampai Luna tantrum di tempat umum. Dia memukuli perut Tyas dengan keras dan berulang. Wanita itu tidak bisa menghentikan putrinya meski mencoba menenangkannya.
"Ren, punggungku sakit banget," kata Tyas yang wajahnya memucat dihiasi bintik keringat dingin. Rasa mulas mulai intens, Tyas pun semakin tidak nyaman dengan posisinya. Rasa panas membakar punggung bagian bawah.
"Kita ke rumah sakit, ya?" ucapnya dengan panik. Rasa tidak nyaman itu menular ke Luna yang semakin gelisah dan mengerang-ngerang. Dia menggigiti jari telunjuknya sampai berdarah.
"Luna, jangan." Tyas berusaha bicara dengan putrinya, tetapi desakan kuat dari dalam perut membuat Tyas melenguh. Luna menjerit sangat kencang.
"Diam! Aku jadi nggak fokus." Bentakan Aren justru mengundang teriakan demi teriakan dari bibir Luna.
"Ren, telepon Rosdiana untuk jaga Luna." Aren tidak menggubris, dia fokus pada Tyas dan calon pewarisnya yang akan lahir.
***
Rasa syukur terus tercurah saat tangisan seorang bayi terdengar. Dokter mengatakan Tyas memiliki bayi laki-laki. Aren merasa melayang melawan gravitasi, tidak ada yang lebih bahagia di dunia selain dirinya. Setelah memperdengarkan azan, tak hentinya Aren menggendong dan mengajak putranya bermain. Namun, Aren merasakan ada kejanggalan dengan putranya.
Seiring berjalannya waktu, Aren tidak menangkap ada yang tidak wajar dari reaksi Surya. Di usianya menginjak tiga bulan, bayi itu hanya terlentang. Sementara menurut artikel-artikel yang dibacanya, bayi seusia Surya sudah miring kanan-kiri. Bahkan beberapa bayi sudah bisa terkurap.
Pandangan mata tidak fokus saat diajak bermain, sering menangis tanpa sebab, dan kurang responsif membuat Aren mulai cemas. Tyas dan Aren membawanya ke pusat tumbuh kembang anak untuk memantau Surya. Setelah beberapa kali kunjungan, Aren sadar anaknya berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Surya didiagnosis menderita ASD-Autism Spectrum Disorder. Harapan besar yang Aren tanam runtuh saat itu juga. Putra yang akan dia jaga layaknya bola mata, kemungkinan besar Surya tidak akan mampu melihat dunia seperti orang-orang kebanyakan.
Tangisan yang dulu seindah nyanyian kini seperti petir yang menyambar-nyambar membuat Aren tidak tenang. Dia pun akan pergi entah ke mana agar tidak mendengar tangisan mengerikan itu.
Lingkungan mulai memandang sebelah mata saat fakta keadaan Surya tidak bisa disembunyikan lagi. Tuduhan mulai mengalir deras ditujukan kepada Tyas. Benar, orang-orang membicarakan kepandaian Surya yang terhambat. Gempuran yang terlalu tiba-tiba dari berbagai sisi membuat Aren tidak siap dan frustrasi.
Tyas paham apa yang Aren alami, Henri juga mengalami hal yang sama saat kelahiran Luna. Tiba-tiba bayangan masa lalu membuatnya bergidik ngeri. Akankah Aren akan menjatuhkan talak juga? Apa dia akan menjadi janda sekali lagi?
Wanita itu yakin, waktu telah menumbuhkan rasa sayang kepada Aren. Rasa yang menguatkan pernikahan mereka tidak hanya berdasar sebuah perjanjian. Sekarang Tyas merasakan ketakutan akan kehilangan. Akankah siklus kehidupannya yang mengenaskan akan terulang?
Berhari-hari Aren tidak pulang, urusan kantor pun banyak yang terbengkalai. Jika dibiarkan Narendra Production akan gulung tikar. Kerja keras yang dirintis Aren akan sia-sia. Pernikahannya dengan Aren tidak berguna.
Dentuman keras berasal dari pintu utama, Tyas pun terkesiap. Namun, dia berusaha tetap rasional agar semua dapat dikendalikan. Tuksedo kelabu menggelepai di pundak Aren. Rambut keritingnya berantakan. Tidak satu pun kancing kemeja putihnya terkait. Dia terhuyung, dengan cekat Tyas menyangga tubuh jangkung itu dan membaringkannya di sofa.
"Yas, Yuswaningtyas." Tak hentinya aroma alkohol menguar dari mulut Aren yang terbuka. "Aku benar-benar mencintaimu, Yas. Sungguh," ucapnya sambil terbatuk-batuk. "Aku takut menyakiti Luna jadi lebih baik menjauhinya, kan?"
Napasnya perlahan teratur, Aren tertidur. Tyas bahkan tersihir perkataan Aren meski dalam keadaan tidak sadar.
🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] RETAK
Romansa[Runner Up AMM Project] Tidak semua luka masa lalu bisa disembuhkan oleh waktu, tetapi tidak ada yang lebih baik bagi penyesalan selain kesempatan kedua. *Pernah terbit di Autumn Maple Media dalam The Blood, Sweet, and Tears