8. Dunia dan Segala Isinya

85 10 2
                                    

Di KBM aplikasi sudah sampai bab 16, ya. Mau tahu kelanjutannya, silakan baca di KBM aplikasi.

Oleh karena cerita ini ikut event KBM app dan ada ketentuan bisa post sebagian di platform lain,   kemungkinan di Wattpad cuma sampai bab 10 saja.

Happy Reading

*****

Entah berapa lama Ayumi menangis, tidak pernah disadari si gadis. Seseorang telah masuk dan memegang kening membuatnya menggerakkan bola mata. Samar terdengar orang tersebut berkata.

"Yum, kamu baik-baik saja?"

"Pak Yovie?" beo Ayumi. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih apalagi saat ini di sedang tidak memakai jilbab.

"Yum, mau ke mana?" Yovie berkata sedikit keras ketika gadis itu malah lari melihatnya. Tak ada jawaban hingga beberapa menit kemudian, si gadis muncul dengan pakaian rapi dan tertutup dari ujung kepala hingga kaki.

"Bagaimana Bapak bisa masuk ke kamar ini. Bukankah ....?" Kalimat Ayumi menggantung saat kelima tangan sang atasan terangkat.

"Jangan salah sangka. Aku meminta kunci cadangan pada pihak hotel karena satu jam lebih aku mengetuk pintu kamarmu, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Suasana kamar sepi, aku takut terjadi sesuatu denganmu. Maaf kalau lancang." Tatapan Yovie lekat menatap gadis di depannya.

Merasa tidak enak hati, Ayumi menunduk. "Maaf, sempat berprasangka buruk tadi."

"Tidak masalah, Yum. Duduklah," pint Yovie menepuk sofa kosong tinggal di sebelahnya. "kamu sudah makan?"

"Tadi pagi sudah, Pak."

"Coba lihat pergelangan tanganmu. Jam berapa sekarang?"

"Astagfirullah," ucap Ayumi, "apa selama itu saya tertidur?"

"Mau dipesankan layanan antar makanan ke kamar atau turun ke restoran di bawah," tawar si lelaki dengan senyum manisnya.

"Saya ingin keluar kamar, sih, Pak. Cuma ...." Menggantungkan kalimatnya, Ayumi menunduk lesu. Mana mungkin berkata hal yang sangat pribadi pada lelaki di depannya.

"Jangan panik. Aku punya sesuatu untukmu."

Menyerahkan paper bag yang berada di samping lelaki itu, dia julurkan pada sang bawahan. "Pakai ini sebagai ganti. Aku tahu keresahanmu. Kamu pasti tidak membawa baju ganti sama sekali." Yovie melirik Ayumi dari atas ke bawah. Memastikan bahwa baju yang dikenakan sang gadis sama seperti yang dipakai semalam.

Ayumi tak serta merta mengambil pemberian atasannya. Banyak hal yang menjadi pertimbangan, salah satunya rasa sungkan pada sang atasan. Si gadis sudah banyak menerima bantuannya.

"Jangan terlalu banyak berpikir, Yum. Ambil ini, aku tunggu di depan. Kita makan bareng di restoran. Kebetulan, aku juga belum makan malam. Walau agak terlambat tidak masalah, daripada badan kita menjadi sakit karena tidak ada asupan makanan yang masuk ke tubuh." Panjang lebar Yovie berkata membuat Ayumi kesulitan untuk menyela bahkan menolak pemberian itu.

Setelah berkata sang atasan langung keluar. Sama sekali tidak memberi waktu untuk berbicara. Mau tak mau, Ayumi terpaksa mengambil paper bag tersebut, lalu mengganti seluruh pakaian dengan yang baru. Tak ingin mengecewakan Yovie yang sudah begitu baik memperhatikannya.

Makan malam berlangsung hening. Ternyata, Yovie tidak sendiri. Ada salah satu rekan bisnis yang sedang bersamanya. Ayumi jadi tak enak sendiri karena merasa menganggu pekerjaan atasannya.

"Segeralah punya momongan, Yo. Ikatan pernikahan kalian akan semakin kuat nantinya," ucap rekan kerja Yovie. "Apalagi yang ditunggu? Umur kalian berdua sedang subur-suburnya." Lelaki berkumis tipis dengan kulit sawo matang itu melirik Ayumi sekilas. Kedua mata mereka tanpa sengaja bersirobok.

"Apa orang ini berpikir jika aku adalah istrinya Pak Yovie," gumam Ayumi dalam hati.

"Maaf, Pak. Sepertinya, Anda salah ...." Ucapan Ayumi lagi-lagi terhenti. Di bawah meja, pergelangan tangannya di pegang oleh Yovie. Ketika si gadis menatap, sang atasan langsung menggelengkan kepala.

"Salah bagaimana, Mbak?"

"Mungkin maksudnya ada yang salah dengan program kehamilan yang sedang kami jalani, Mas. Masak sudah setahun belum ada hasil," sahut Yovie.

"Eh," kata Ayumi terkejut, "bukan begitu maksudnya, Pak." Menatap pada rekan sang atasan.

"Sudahlah, Yang. Kita tidak perlu malu untuk berbagi hal semacam itu. Mas Oky, dulu juga lama ikut program kehamilan bersama istrinya. Bukan begitu, Mas?"

Untuk mendukung perkataannya tadi, sang atasan malah dengan sengaja menangkupkan tangannya terang-terangan di atas tangan kanan Ayumi.

Lelaki bernama Oky tersebut tertawa lirih. "Bukan hal mudah mendapatkan keturunan untuk orang-orang sibuk seperti kita ini, Yo. Apalagi kalau istri kita juga sama-sama sibuk dengan bisnisnya sendiri. Keadaanku empat tahun lalu sama persis sepertimu. Berjuang mendapatkan momongan dengan berbagai macam program. Aku harap kalian berdua tidak patah semangat."

"Tentu saja, Mas. Aku dan istri tidak akan pernah patah semangat sampai nanti Allah mempercayai kami untuk menerima manah itu. Iya kan, Sayang?"

Membeliakkan mata, Ayumi tidak bisa memprotes ucapan-ucapan atasannya. Menunduk lesu sampai Oky pamit.

"Maaf tentang semua ucapanku tadi, Yum. Kamu pasti terkejut, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa mengajak istri menemui sahabat lamaku itu padahal dia jauh-jauh datang ingin berkenalan."

"Harusnya jujur saja, Pak. Sekali Bapak berbohong, maka akan ada kebohongan-kebohongan selanjutnya." Saat ini, keduanya berada di depan kamar yang Ayumi tempati.

"Tidak akan ada kebohongan lainnya, Yum. Mas Oky akan pindah keluar negeri. Jadi, pertemuan tadi adalah pertemuan terakhir sekaligus perpisahan bagi kami berdua."

Ayumi malas menanggapi perkataan Yovie. Dia memilih masuk setelah mengucapkan terima kasih.

*****
Tiga hari menenangkan diri di hotel yang disewa oleh atasannya, Ayumi diminta untuk pulang sore kemarin. Ayah dan bundanya menelepon, meminta si bungsu dengan penuh permohonan. Namun, permintaan itu, tidak serta merta dituruti oleh si gadis.

Ayumi memilih pulang pagi-pagi keesokan harinya. Langsung berangkat ke kantor. Dia tidak perlu pulang ke rumah terlebih dahulu. Setiap hari, Yovie mengirimkan beberapa pakaian ganti padanya sehingga pagi ini, gadis itu sudah siap bekerja.

Pukul delapan kurang sepuluh menit, gadis berjilbab dengan kulit sawo matang tersebut sampai di kantor. Menempelkan jari telunjuk pada mesin absen, beberapa rekan sejawatnya berbisik-bisik.

"Enak kalau jadi simpenan bos. Bisa masuk kerja kapan saja tanpa mendapat surat peringatan," kata salah satu dari mereka yang berada tepat di belakang Ayumi.

Gadis berjilbab itu menoleh dan menatap si pembicara. "Siapa yang kamu maksud?"

Kini, hanya tinggal tiga orang yang berada di depan finger print. Tidak mungkin jika perempuan di sebelah sang pembicara yang dimaksud. Mana mungkin seseorang berani bergosip di depan orangnya secara langsung.

"Wah, rupanya ada yang merasa, nih," sahut perempuan berambut cokelat di sebelah perempuan yang berkata pertama kali tadi.

Ayumi menggerakkan bola mata dengan kening berkerut.

"Kalian sedang membicarakan aku?" tunjuk Ayumi pada dirinya sendiri. "Memangnya kalian pernah melihatku menggoda salah satu bos di sini? Aneh-aneh saja jika bicara. Jangan menyebarkan fitnah."

"Siapa yang menyebarkan fitnah? Fotomu dan Pak Yovie sudah diketahui semua karyawan di sini. Kalian berdua sedang berkencan di sebuah restoran. Masih berani mengelak?" kata karyawan lainnya lagi.

"Kencan? Kapan aku melakukan dengan Pak Yovie? Lalu, foto apa yang kalian maksudkan?"

*****
Banyuwangi, 8 April 2024

 (Bukan) Istri Kedua Sahabat AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang