Happy Reading
*****
Mengendarai motor skuter miliknya, gadis berumur 26 tahun dengan rambut lurus, tertutup jilbab tiba di depan gerbang rumah. Senyum terkembang ketika melihat mobil yang biasanya digunakan sang ayah bekerja sudah terparkir rapi di bagasi sebelum dirinya pulang. Ayumi Kusuma Dewi pemilik nama tersebut melangkah penuh kebahagiaan setelah memarkirkan motor.
Jarang sekali melihat keberadaan sang ayah di jam seperti sekarang. Hati si gadis merasakan bahagia yang luar biasa apalagi mengingat percakapan dirinya dan sang kekasih sebelum pulang tadi. Namun, langkahnya terhenti ketika suara keras terdengar. Ayumi terdiam di ambang pintu masuk rumahnya. Salam yang tadi diucapkan teredam oleh perkataan keras sang ayah.
"Bunda jangan gegabah dengan keputusan ini. Semua bisa kita bicarakan baik-baik. Sudah puluhan tahun kita hidup bersama. Apa kata anak-anak jika kita sampai bercerai," ucap seorang lelaki paruh baya memasuki usia 58 tahun.
Tulang-tulang Ayumi rasanya patah menjadi tepung saat itu juga. Menyandarkan punggung ke dinding di ruang tamu, si bungsu memejamkan mata sambil mencuri dengar perbincangan kedua orang tuanya.
Selama puluhan tahun, dia tidak pernah mendengar ataupun melihat pertengkaran antara kedua orang tuanya. Namun, hari ini kalimat yang keluar dari bibir lelaki paruh baya itu meruntuhkan segalanya.
"Cukup sudah, Yah. Selama ini, aku sudah mengalah dan menahan kesakitan ini demi anak-anak. Nyatanya, Ayah tidak pernah berubah. Sekarang, tidak ada lagi yang perlu Bunda pertahankan. Anak-anak sudah menemukan jalan hidupnya sendiri. Jadi, mari akhiri pernikahan ini dengan baik-baik." Perempuan yang paling dihormati Ayumi menjawab dengan suara bergetar.
"Mengalah dan menahan kesakitan? Apa artinya, selama ini ayah tidak berbuat baik pada Bunda atau Ayah memiliki wanita lain?" kata Ayumi dalam hati.
Kalimat demi kalimat yang dimunculkan oleh kedua orang tua Ayumi membuat banyak spekulasi bermunculan dalam pikiran si gadis. Salah satunya adalah anggapan bahwa sang ayah telah mendua tanpa sepengetahuannya.
"Ayah tidak akan pernah mengabulkan permintaan Bunda. Kita harus tetap menjadi keluarga yang utuh dan bahagia di mata semua orang, termasuk di depan anak-anak. Suka tidak suka, Bunda harus menyetujui keputusan ini." Suara sang pemimpin keluarga menggelegar.
Ayumi ingin sekali masuk dalam perdebatan keduanya, tetapi kakinya susah bergerak. Apa yang terdengar sungguh jauh dari bayangannya. Dalam mimpi sekalipun, si gadis tidak pernah terlintas hal menakutkan seperti itu.
"Egois!" Perempuan yang biasa Ayumi panggil Bunda itu berbalik hendak meninggalkan suaminya. Kedua bola matanya tampak memerah dengan kabut yang menggelap. Si bungsu sempat melihat kesedihan tersebut.
"Ayah tidak egois, Bun. Apa salahnya dengan poligami? Bukankah syariat memperbolehkan?"
Jedar ....
Kilatan petir itu seperti berada di atas kepala Ayumi. Apa yang sempat dipikirkannya tadi menjadi nyata. Kata poligami akan selalu menjadi momok menakutkan dalam setiap kehidupan berumah tangga.
"Tidak mungkin ayah melakukannya. Beliau lelaki yang menjunjung tinggi kesetiaan," gumam Ayumi lirih. Namun, suaranya mampu ditangkap oleh indera pendengaran Ramlan, ayahnya.
Seketika, lelaki berusia 58 tahun tersebut merubah mimik muka yang semula marah menjadi tersenyum. Belum saatnya sang putri bungsu mengetahui permasalahan rumah tangganya.
"Kapan kamu datang, Nak?" tanya Ramlan. Semua berubah drastis, tidak seperti tadi ketika berdebat dengan sang istri.
"Apa Ayah masih peduli setelah menghancurkan kebahagiaanku? Ayumi tidak tuli, Yah. Mengapa baru sekarang terucap kata poligami di antara Ayah dan Bunda?" Tak lagi mampu menyembunyikan apa yang didengarnya tadi, Ayumi mengungkap kekesalan hatinya saat itu juga.
"Yum, dengarkan Ayah dulu. Kamu salah paham. Ayah bisa jelaskan. Kamu pasti cuma mendengar sepotong perdebatan Ayah sama Bunda."
"Tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi, Yah. Yumi tahu dan mendengar semua obrolan tadi. Yumi juga bukan anak kecil yang mudah dibohongi." Berlalu pergi meninggalkan lelaki yang dulu sangat dia hormati dan puja-puja karena terlihat sempurna dengan segala tingkah baiknya.
Namun, semua itu sirna saat kata poligami dan perceraian terucap. Tak ada asap tanpa api. Jika sang Bunda meminta perpisahan tentu masalahnya sudah sangat serius.
"Yum, tunggu, Nak," teriak Ramlan berusaha mencegah kepergian si bungsu dan ingin menjelaskan semua permasalahan. Sungguh dia sangat menyesal, Ayumi harus mendengar pertengkarannya dengan sang istri.
Namun, semua sudah terlanjur. Niat berpoligami tidak bisa dibatalkan. Ramlan sudah berjanji pada seorang perempuan untuk menikahinya. Pantang bagi lelaki berkulit sawo matang dan berkumis itu untuk mengingkari. Walau seluruh dunia menentang keputusannya.
Mencoba mengejar langkah si bungsu, Ramlan harus menelan kecewa ketika Ayumi membanting pintu, tepat ketika dia berada di depannya.
"Astagfirullah," ucap Ramlan sambil mengelus dada.
Di kamarnya, Ayumi membanting tubuh ke ranjang. Kabar bahagia yang ingin dia sampaikan pada keluarganya tadi menguap. Meraih guling yang ada di samping dan memeluknya, gadis itu mengeluarkan seluruh kesedihan melalui air mata.
"Mengapa baru sekarang semuanya terungkap? Apa kata Prima saat mengetahui perceraian orang tuaku? Apa orang tuanya akan setuju, sedangkan mereka adalah keluarga terpandang. Tidak ada keluarga yang akan menerima menantu dari anak yang broken home. " Pikiran-pikiran buruk itu mulai bermunculan dalam diri si gadis.
Mencoba mengalihkan segala sumpek di hati, Ayumi menelepon sang kekasih. Namun, beberapa kali panggilannya tak terangkat. Akhirnya dia memilih untuk mengirimkan chat.
"Prim, aku bisa curhat?"
Setelah mengirimkan chat tersebut. Ayumi berusaha menegakkan tubuh. Duduk bersandar pada kepala ranjang sambil menunggu balasan sang kekasih.
"Sorry, Yang. Aku lagi nganter Mama belanja. Kalau mau curhat, nanti malam saja."
Kecewa, tentu saja hadir di hati Ayumi. "Iya, tidak apa-apa. Hati-hati, jangan ngebut pas nyetir nanti. Kamu bawa Mama soalnya," tulis sang gadis.
"Siap, Sayangku. Nanti malam, sleep call. Jangan tidur dulu, ya."
Apa yang ditulis sang kekasih mampu membuat Ayumi tersenyum. Melupakan sejenak permasalahan orang tuanya. Terus terang, dia masih berharap apa yang didengar tadi hanyalah mimpi. Ketika dia terbangun pasti akan berlalu dan semua baik-baik saja.
Melirik jam dinding, Ayumi beranjak dari ranjang dan bergerak ke kamar mandi. Seperti kebiasaan sebelum-sebelumnya ketika baru pulang kerja, gadis itu membersihkan diri ke kamar mandi yang sempat tertunda tadi.
Keluar kamar mandi, ponsel berkali-kali berbunyi. Banyak sekali masuk notifikasi chat. Ketika Ayumi membuka layarnya, grup chat kantor sedang ramai men-tag sang kekasih. kening Ayumi berkerut. Banyak sekali ucapan selamat yang diberikan rekan-rekan kerjanya.
"Apa Prima menceritakan rencana pertunangan itu, ya. Jadi ramai kalau begini," gumam Ayumi.
Mengabaikan puluhan chat yang menggoda sang kekasih, Ayumi keluar kamar karena perutnya sudah berbunyi minta diisi. Namun, suara pertengkaran kedua orang tuanya kembai terdengar. Dia pun mengurungkan niat untuk makan.
Kembali melihat grup chat, kening Ayumi berkerut ketika melihat sebuah chat yang dikirimkan sang kekasih.
"Apa yang Prima kirim? Mengapa dihapus dengan sangat cepat?" tanya hati Ayumi.
Tanda tanya dalam hati si gadis makin besar ketika salah satu rekan kantor mengirimkan chat. "Wah, cantik. Selamat, ya, semoga langgeng."
"Ada apa sebenarnya?" Pikiran Ayumi melayang ke mana-mana.
*****
Banyuwangi, 20 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Istri Kedua Sahabat Ayah
SpiritualTak pernah ada yang tahu tentang alur kehidupan seseorang di dunia ini. Suka duka, datang silih berganti seperti kisah Ayumi. Terbiasa melihat keharmonisan rumah tangga kedua orang tuanya, satu pertengkaran hebat mematahkan seluruh asumsi indah bahw...