Kompleksitas

78 35 72
                                    


Sena kerap memertanyakan eksistensi Anka yang tercipta bak Nirmala, banyak didamba baik Tuan maupun Puan kemanapun langkah membawanya. Monokrom terlampau kelam guna mewarnai sebercak kehidupan Sang Puan. Jika memang iya, kenapa semesta merancang pertemuan Sang Nirmala dengan Sena?

˚°𓆝˚°𓆟˚°𓆞˚°𓆝˚°𓆜

"Dia sekarang milikku," lengan Sena terlipat, matanya memandang setengah merendahkan, tak lupa dia bentuk raut wajahnya sedemikian rupa, sehingga lawan bicaranya mengerti seberapa kesalnya dia.

Bagaimana tidak? Pemuda ini telah menyatakan perasaan pada gadis milik Sena tepat setelah dia tahu mereka telah menjalin hubungan. Memang belum resmi, tapi setidaknya Sena telah mengakui dan diakui Anka sebagai pasangannya.

Si surai biru kini meloloskan helaan pasrah. Matanya melirik, memandang siluet yang kini tengah bermain-main dengan boneka barunya, pemberian Sena. Jelas tidak mengidahkan percakapan lelaki. Bahkan tidak tahu-menahu soal eksistensi percakapan itu sendiri. Lucu, pikir pemuda itu. Saddam akui, Sena tahu betul cara mengalihkan atensi Sang Puan. Tangannya mengepal, seraya dia memberikan jawaban.

"Benar, Ann menyelamatkanku, tapi kamu-lah yang menyelamatkan Ann," jemari Saddam mengepal. "Oke, aku ga akan ganggu Ann lagi. Tapi berjanjilah satu hal."

Alis Sena terangkat—apa, katanya.

"Tolong, jaga dia ya?" Sena mengikuti arah pandangan Saddam, masih mengamati Anka. Barangkali terhibur oleh eloknya sang puan. Rautnya gambarkan kebahagiaan, masih bermain-main dengan bonekanya. Sempat mendecak jengkel, namun selanjutnya bibir Sena mengulum senyum, seraya menyanggupi permintaan Saddam.

"Pasti. Itu pasti."

˚°𓆝˚°𓆟˚°𓆞˚°𓆝˚°𓆜

Pagi yang muram, mentari tidak ingin menyapa Anka dengan sinarnya. Sebab sekarang gadis itu tengah bolak-balik kamar mandi selama beberapa pagi dalam beberapa menit ke belakang. Malang, asam pada ventrikulus miliknya membuat dia kesakitan, mual. Gagal membaik, lagi-lagi hanya memuntahkan saliva.

Dia sempatkan mata pedasnya menilik layar ponsel, memberi kabar bahwa dia akan terlambat ke teman perjalanannya. Sekon berikutnya, Anka loloskan helaan panjang. Seraya memijit pelipisnya yang semakin pening, dia mengerang. Sial, pikirnya. Seperti yang dia takutkan, temannya sudah terlebih dahulu siap dan berkata ingin menghampiri Anka ke rumahnya. Aku bisa nunggu kok, katanya. Iya, Sena akan selalu bisa menunggu, sementara Anka yang selalu kena marah sebab membuat temannya menunggu.

Suara kendaraan di depan tempat tinggalnya kembali membawa Anka kealam sadar. Menghantarkan kaki-kaki itu berlari menuju beranda. Anka berteriak, meminta Sena untuk menunggu sejenak. Tak lupa dia persilahkan temannya itu masuk, duduk di beranda, barangkali lain waktu bisa ditemani oleh secangkir kopi yang biasanya Bunda buat untuk para tamu. Sementara lagi-lagi dia berlari menuju toilet, sebagai usaha terakhir untuk mengeluarkan isi perutnya.

Gagal, lagi. Sebab itu, Anka putuskan untuk menyambar jaket dan bersiap berangkat.

"Kalau sakit libur aja, tugasmu bisa kuanterin kok," cemas jelas terukir melalui raut wajah Sena. Harap-harap temannya ini mau mengikuti sarannya untuk beristirahat dirumah ketimbang memaksakan diri.

Gelengan Anka tunjukkan sebagai jawaban. "Tanggung, Hari Jumat," jawab Anka asal sambil menyibukkan diri dengan kerudungnya. Yang diberikan jawaban mendaratkan pitakan ke dahi Anka, buru-buru menunduk sebab ditertawakan Anka besar (Bunda Anka).

"Serius, aku gapapa." timpal sang puan, menenangkan Sena. Helaan pasrah lolos dari lisan pemuda itu. Bahunya berkedik, seraya jemarinya meraih helm yang dia letakkan di kendaraannya. Bersiap berangkat.

𝐅ragmen𝐭sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang