Tulip Kuning

61 37 78
                                    

cw // hanahaki disease 

"Kaktus."

Luna memandang dengan antusias. "Memangnya itu bisa hidup dalam iklim seperti ini?"

Lelaki itu mengalihkan pandangannya. Kini menatap Luna seraya mengulas senyum nan hangat. "Tidak ada salahnya mencoba bukan?"

Pengetahuan adalah daya tarik. Luna akui itu. Bodo amat dengan tampang, selama memiliki otak yang encer (secara harfiah) lelaki manapun akan besar kepala sebab bisa memenangkan hati Luna dengan begitu mudah.

Puan dengan sejuta warta, tidak ada minusnya kecuali matanya. Kacamatanya mencapai minus lima dilengkapi dengan silinder satu. Gema jejaknya di lorong sekolah mengalihkan semua pandangan ke arahnya. Tentu saja, kecuali lelaki itu.

Di sisi lain, pemuda itu bukanlah jenius seperti yang ada di dalam fantasi Luna. Pemuda itu tidaklah lebih dari sekumpulan manusia pemimpi yang mengharapkan keajaiban terjadi di tengah pongahnya semesta.

Namun, berbulan-bulan berikutnya, kaktus itu berhasil tumbuh. Tidak subur, namun cukup. Sepucuk kelopak kecil kini hinggap di pucuknya. Mungil, lebih mungil sebagaimana badan kaktus itu pertama kali muncul di hadapan Luna.

Beriringan dengan itu, entah sebab kebersamaan mereka di klub berkebun atau sebab keajaiban yang lelaki itu bawa, Luna jatuh cinta. Masalahnya, lelaki itu telah memiliki tempat untuk pulang. Seorang puan setengah waras yang kerap menjadi koki dari bekal yang tiap hari lelaki itu bawa.

Terkadang dibentuk sedemikian rupa, terkadang acak-acakan. Terkadang indah, terkadang menjijikkan. Pun, tak jarang puan itu menyalak marah di depan anggota klub, namun tidak pernah sekalipun Luna melihat lelaki itu marah.

Ah, Luna menyukainya. Lelaki itu, bukan tipe Luna. Tapi Luna menyukainya. Ada bagian dari lelaki itu yang tidak dimiliki lelaki lainnya. Bukan tentang pengetahuannya, bukan pula tentang mimpinya.

Luna tidak mengerti dengan gata yang muncul tiap netranya menangkap figur lelaki itu. Dadanya sesak tiap kali melihat lelaki itu beradu dialog dengan gadisnya. Mungkin itu hanya sesak biasa. Dia tidak ingin menjadi durjana dalam warita lelaki itu.

Sebaliknya, gadis itu memendam perasaannya seorang diri.

˚°𓆝˚°𓆟˚°𓆞˚°𓆝˚°𓆜

Batuk. Darah. Bunga.

Manik Luna membesar ketika melihat hamparan kelopak mewarnai lantai kamar mandinya. Kuning, bercampur darah nan merah. Diguyur air memerkuat semburat jingga pada kelopak tersebut. Indah, tentu. Namun tabu.

Pucat pasi, jelas mewarnai air mukanya ketika perawat yang dia temui menyebutkan sepatah penyakit fiksi. Puan itu mengumpat merasa dibodohi. Lisannya bungkam ketika melihat hasil rontgen. Paru-paru yang seharusnya polos dibungkus kerangka itu kini telah dihiasi flora, melesak tumbuh di tengah organ dalamnya.

Sesak itu bukan sesak biasa. Pun, saliva kekuningan bukan disebabkan karena sistem imunitas dari tubuhnya. Itu disebabkan karena hal lain. Sesuatu yang mendiami tubuhnya. Sebuah hal yang tidak dia sadari darimana datangnya.

"Setengah tahun, dan kamu tidak menyadarinya?" Perawat itu melayangkan pertanyaan, cemas dengan kondisi pasiennya. Air muka Luna cukup menjelaskan bahwa puan itu tidak tahu apapun, dan memang begitu kebenarannya.

Sementara perawatnya sibuk berkutat dengan kursor dan layar monitor. Mencari-cari barangkali ada kesalahan lain yang mungkin dia luputkan. Sesekali irisnya melirik Luna, gadis itu masih merenung. Pun, perawat itu paham. Pasti bukan hal yang mudah menerima fakta bahwa sebuah bunga telah tumbuh di paru-paru seseorang. Namun dia juga bingung.

𝐅ragmen𝐭sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang