Peter Pan

46 30 57
                                    

Aku adalah lelaki pemimpi. Memungut serpihan harapan agar tidak hirap. Kusimpan dalam dekapan, berharap untuk mewujudkan mereka suatu hari nanti. Ah, harapan itu baru saja bertambah satu lagi.

Banyak netra memandang rendah, banyak pula yang menitipkan citta. Diam-diam mengajukan pinta pada bintang jatuh. Mendarat di Neverland. Disambut oleh para peri.

Aku pernah melihat peri di kehidupan nyataku. Rambutnya dikuncir dua, berkilau indah. Ditali dengan pita, bergerak bebas menyapa udara. Tubuhnya yang kecil nan ramping melompat riang membawa pemiliknya menapak buana. Gemar melihat bintang, tidak heran kemilaunya menuntun irisku untuk selalu memandangnya.

Tidak. Aku berkhayal. Dia bukanlah peri. Gadis itu hanya gadis biasa pengagum cakrawala. Bintang, benda malam yang kerap mendengar keinginan terpendam manusia. Aku sering melihatnya melalui balkon.

Sebercak wewangian menguar keluar hebat tatkala aku membuka pintu. Kamar bagai hutan menyambutku, helai demi helai daun berguguran. Kemilau kelopak bermekaran. Adiwarna dimana-mana. Tidak jarang Bunda akan melingkarkan tangannya di depan dada sambil menggelengkan kepala. Tidak lupa gestur menghela napas yang sangat khas miliknya.

Bunga, makhluk hidup ajaib. Kelopaknya mengemban harapan banyak organisme, bermekaran menghias alam. Bunga, sesuatu yang membuatku merasa hidup, tapi juga menuntun menuju mati rasa.

Aku menyukai bunga, yang hidup di tanah, yang tumbuh karena dipupuk dan disiram dengan baik. Bukan yang tumbuh sebab benih cinta, dipupuk kesepian, dan disiram cemburu.

Dokter yang menanganiku dulu pernah berkata, "walaupun belum parah, kami menyarankan operasi." Tapi aku menolak. Tulip kuning artinya perasaan yang tidak terungkap. Aku hanya perlu mengungkapkannya bukan?

"Beri aku waktu."

Terkadang, selalu ada satu atau dua harapan yang kandas. Selaksa alasan, mengumbar nestapa. Tidak terkecuali aku, pernah berenang dalam kubangan keruh. Tapi untuk yang satu ini, aku tidak ingin menyerah.

"Satu bulan." Aku mengangguk menyanggupi. Padahal pesimis untuk melakukan aksi.

Cinta, harapan untuk memiliki ternyata rasanya bisa begitu sesak. Perasaan yang harusnya hangat, juga bisa membekukan. Jatuh cinta bisa dilakukan sendiri, namun aku egois. Aku ingin memilikinya. Aku ingin jatuh cinta, ingin pula dicintai.

"Maukah kamu menerima perasaanku?"

Malu bukan main, rasanya ingin mengubur diriku hidup-hidup. Menerima? Memangnya aku ini sedang bersedekah? Rasa ingin lari itu membuncah kala melihat jelmaan peri di depanku tertawa lepas. Ini memalukan.

Kakiku benar-benar ingin mengambil langkah ketika dia memutuskan untuk menjawab. Aku takut, mungkin saja jawaban itu membuatku semakin terpuruk. Aku hanya perlu mengungkapkan, tidak harus mendengar jawaban 'kan? Pengecut.

"Boleh." Daun telingaku bergidik. Pandangan yang kosong itu perlahan mulai kembali, menyingkap kabut yang menutupi netraku. Dia tersenyum dengan begitu manis.

"Aku mau. Mungkin butuh waktu untuk benar-benar menerima perasanmu, tapi mungkin itu bisa dicoba. Jadi, maukah kamu memberiku waktu?"

Waktu. Aku juga memintanya dari seseorang. Sebut ini pertaruhan, namun yang dipertaruhkan adalah hidupku. Tetap saja, aku ingin mencoba. Sebelum aku sadari, gestur tubuhku sudah menunjukkan persetujuan.

Memoriku menangkap momen itu dengan baik, kala melihat Rui tersenyum dengan manis untuk pertama kalinya seraya berkata, "terimakasih!"

Berkali-kali aku bertaruh pada takdir, mungkin ini adalah pertaruhan yang paling aku syukuri. Pertaruhan yang membuatku semakin percaya pada keajaiban. Dewi Fortuna mungkin sedang berpihak kepadaku. Sebab aku berhasil sembuh dari penyakitku. Tanpa operasi dan yang lainnya. Mungkin, saat itu aku hanya beruntung.

𝐅ragmen𝐭sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang