Sirius

44 20 53
                                    


Tantrum itu tak kunjung berhenti sebanyak apapun aku menenangkan diri. Silih berganti oksigen menyapa paru-paru, memertahankan nyawa. Bukan fisik, melainkan batin. Bukan benda, melainkan kewarasan. Kacau, diporak-porandakan buana. Hati ini mulai lelah dibanting semesta layaknya gumpalan adonan martabak. Napas ini tersengal kala bau gas itu menyeruak. Apakah selanjutnya detak ini akan masuk ke penggorengan?

Hei, dimana aku bisa menemukan suatu kompetisi yang hadiahnya adalah sepotong ketenangan?

Sesak, elegi yang lama tertahan kini jatuh menimpa kertas proposal yang menunggu revisi sang pemilik. Ribuan error pada layar gawai membuatku semakin membenci warna merah. Menyeruak liar melalui Bahasa Program. Sayang, harapan sang pemilik telah kandas.

Tanganku terulur meraih pijakan. Satu detik, dua detik. Jika saja pemuda itu terlambat mengetuk sepersekian detik saja, mungkin ragaku sudah kandas terlilit temali.

Dia—Sirius, dengan segala kesadarannya menyumpah, menumpahkan emosinya. Sekon yang lain, kurasakan hangatnya meringkuh ragaku. Simpatiknya meluluhkan penat, membawa nyaman yang acap kucari belakangan.

"Begini jadinya kalau kamu ngga pernah cerita."

"Maaf."

"Kamu ngga salah, dunia yang keras. Tapi kamu juga berhak protes. Boleh kok sesekali mengeluh. Tapi bukan gini caranya. Kamu tahu kan, berdiri disitu bisa membahayakan? Gimana kalau tadi aku ngga sempat? Besok lagi jangan ya, tolong?" ringkuhnya mengendur, dia genggam erat jemariku. Moleknya sang empu sepasang netra obsidian tak pernah lelah memandangi kompleksitasku. Barangkali itu memang hobinya, atau mungkin hal yang dia minati.

"Cari aku. Jangan gegabah." Lelaki itu menunjukkan iris penuh harap. Sesekali melirik kearah satu dua lebam yang menaungi lengan dan kakiku. Ah, sepertinya aku paham kemana arah pembicaraan ini.

"Cukup aku yang sakit. Jangan lukai tubuhmu lagi," dia menambahkan. Curang.

Anggukan aku berikan sebagai jawaban. Kalimatnya selalu membawa kembali ketenangan yang bermain-main dengan kewarasanku. Dia hanya meminta, tidak memaksa. Selalu begitu. Belum, dan semoga tidak pernah berubah.

Ringkuhnya kembali mengerat, timbulkan degup serupa isak. Elegi tumpah, air mata membasahi pipi. Sangat kekanakan untuk menangis di umur yang semakin menua. Faktanya, semakin menua justru semakin giat merasakan cengeng. Kecuali, untuk mereka yang benar-benar bahagia, dan mereka yang benar-benar mati rasa.

"Nanti kalau aku udah ngga ada, kamu ngadu ke Tuhan ya? Ingat, jangan gegabah."

"Memang kamu mau kemana?"

"Pulang. Kayanya Tuhan kangen aku."

Kusut itu membuncah seiring menggelapnya malam. Putaran memori menyeruak masuk, tanpa tahu malu minta didahulukan untuk diingat. Bising.

"Kamu jahat." Sebab kali ini dia memaksa.

Agaknya aku menyadari, gagalnya sang kekasih bukanlah keinginannya. Tidak pernah ada kata selamanya sebab dia memang tidak bisa berjanji untuk selalu ada. Manusia selalu terlilit fana, begitu pula dia. Fana yang lebih kejam dari milikku. Menggerogoti sedikit demi sedikit organ dalamnya. Waktunya terbatas, dia gunakan untuk menjelma menjadi rumah. Demi aku, gadis setengah waras yang entah bagaimana dia jadikan tempat menitipkan hati.

Tidak pernah terpikir olehku bahwa meninggalkan adalah verba yang benar-benar dia ucap. Belakangan aku paham, ditinggalkan dan meninggalkan adalah cara semesta mendewasakan seorang insan.

Kemana bahagia milikmu?

Gema tawa bertalu-talu, bersama ulasan senyum tidak pernah gagal menyuratkan betapa bahagia lelaki itu. Kebanggaan akan gadisnya yang berhasil bertahan selama tiga tahun tanpa menjemput keinginan untuk pulang adalah sesuatu yang berharga baginya. Aku juga harus berjuang demi membawa bahagia yang dia dambakan, demi membawa harapan yang dia titipkan. Baru tiga tahun. Hanya tiga tahun aku bisa menjaga janjiku.

Setelah dia berpulang, lagi-lagi aku terpuruk. Percikan keinginan itu datang kembali. Menghantarkan langkahku pada gumpalan batuan halus yang kini menjadi tempatku berpijak. Disapu oleh dinginnya ombak. Haruskah aku menemui sukmanya sekarang, pada tempat dimana rumah terakhirnya bernaung?

"Aku tidak masalah meski sendirian," kataku sambil berlagak kuat.

Dinginnya udara malam timbulkan friksi pada sekujur tubuh. Membawa-bawa memori lawas berputar menguasai ruang pikir. Lagi-lagi tentang dia. Repetisi bertalu-talu membuat kepalaku berputar. Setelah hari-hari kelam nan sunyi itu, aku kembali kehilangan arah. Bagaimana aku bisa menemukan arah sementara Sirius hanya mengajarkan cara melihat?

Meski begitu, Sirius selalu menuntun tubuh ringkih ini untuk bangkit. Tidak apa meski dengan merangkak, selama tidak berhenti pada satu tempat, menonton tayangan memori pembawa kalut. Aku paksakan bertahan walau setengah hancur. Tentu Sirius tidak ingin melihatku seperti ini bukan?

Nabastala, dunia yang lebih tinggi dari tempatku bernaung. Iris itu bertemu dengan gemintang yang menetap di langit malam. Aku menemukan ketenangan kala aku melihat ke atas. Kata orang, jiwa manusia yang sudah berpulang akan kekal menjadi bintang di langit. Padahal, bintang pun tidak ada yang amerta.

Namun, aku percaya. Sirius ada disana. Menjelma menjadi Sirius B, katai putih paling terang yang menaungi langit malam. Salah satu bintang dalam konstelasi Canis Major, turut berdansa dengan Sirius A.

Katai putih, bintang degenerasi, bintang yang mencapai akhir evolusinya, bintang yang sudah tidak lagi bersinar. Seperti Sirius. Redup, namun sukmanya masih berkilau.

Aku terpekur, menimang aksama dari Sang Maha Kuasa. "Tuhan, bolehkah aku melanjutkan hidupku walau telah mendekati laranganmu berkali-kali?"

(n.) Sirius berasal dari kata Seirios yang artinya berkilau.

𝐅ragmen𝐭sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang