Sebenarnya, kebahagiaan itu didasari oleh apa?
Aku enggan berkelana jauh demi menafsirkan rasa. Sebab aku tidak memilikinya. Semua perasaan ini sudah mati sejak aku menginjak bangku keempat di sekolah dasar. Pun, pada puncak selanjutnya hanya ada kekosongan.
Aku tidak lagi percaya dengan rasa.
Ribuan kalimat afirmasi hanya kulirik dengan tatapan kosong. Himpunan puan dengan tatapan ingin tahu hanya kuanggap angin lewat. Perkataan penuh kasih sayang masuk dari telinga kiri, keluar dari telinga kanan.
Pulang menimba ilmu, bergabung lagi dengan cinta, sekaligus patah hati pertama. Sesekali berdialog, melakukan kontak mata sambil menorehkan frasa yang bervariasi. Kami melanjutkan kegiatan seolah tidak terjadi apa-apa, berkobar dengan kesibukan masing-masing.
Bergelut dengan luka masing-masing. Entah sampai kapan, menyimpan segalanya sendiri. Berusaha menyembuhkan diri. Berpaling dari memori jahat.
Di sisi lain, seseorang hidup dengan begitu bersinar. Dengan percaya diri menyebarkan berbagai macam rasa. Terlihat tanpa beban walau sudut mataku sesekali melihatnya termenung. Tatapannya bahkan lebih kosong dari milikku. Kemana perginya figur ceria itu?
Hari demi hari berlalu, seperti kehidupan remaja pada umumnya; belajar, ujian, naik kelas, lalu lulus. Sekarang aku sudah remaja. Aku bukan anak-anak lagi. Begitulah orang-orang menyebutnya. Padahal, di dalam sana banyak yang belum bisa merangkul masa kecilnya.
Semakin terkikisnya umur, aku semakin mengerti. Kehidupan selalu diselubungi oleh benang takdir. Ada banyak ikatan yang menanti kita seraya bertambahnya langkah. Berbagai simpul menunggu benang lain untuk melengkapinya. Suatu hal yang terjadi diluar dugaan, kita menyebutnya kebetulan.
Sama sekali bukan ideologiku untuk merepotkan diri, apalagi dengan menerima permintaan seseorang. Seorang puan, mantan ketua murid di kelasku dahulu, sekali lagi kami bertemu dalam satu naungan tempat menganyam ilmu. Tatapannya masih sama, kosong.
Ada cahaya tersembunyi di dalam sana, berusaha melesak keluar. Cahaya yang pernah kulihat dulu, pada hari pertama kami bertemu. Berubah begitu saja setelah empat semester tidak beradu pandang.
"Kapan-kapan bareng dong, rumah kita searah kan?"
"Boleh-boleh aja, ayo."
Ada temali yang membentuk simpul kala kalimat itu terucap.
Aku mengutuk diriku sendiri kala memaparkan jawaban, ruang pikirku dipenuhi oleh kabut yang melarangku mengucap penolakan. Bodoh, apa salahnya menjawab tidak? Kalau begini 'kan, aku jadi repot. Egois, memang. Lalu apa?
Manusia memang pada dasarnya diciptakan untuk memikirkan dirinya sendiri. Jika ada rasa yang tersisa dalam diriku, maka itu adalah ego. Namun melihat botol yakult di depanku melompat kegirangan, aku luluh. Sesekali membantu sesama tidak ada salahnya. Toh selain egois, manusia juga dipaksa hidup sebagai makhluk sosial.
Aku menghentakkan tubuhku pada kasur, menyadari betapa impulsifnya aku hari ini. Menerima ajakan sesat, kabur dari panitia MPLS, dan puncaknya menghamburkan uang untuk membeli action figure Elaina yang dijual murah di salah satu laman jual beli. Preloved, tapi kondisinya masih sangat mulus. Yah, Elaina-ku akan tetap cantik walau dalam kondisi tidak mulus sekalipun.
Jiwa otaku itu kembali lagi, kini mendewakan waifu idamanku. Seorang karakter yang kujadikan pelarian atas penolakanku terhadap kosongnya perasaanku.
Rasa hanyalah omong kosong, begitulah yang kupercayai. Hatiku yang membeku diam-diam menunggu mentari untuk mencairkannya. Hidup dalam kehampaan bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Hati kecilku tidak ingin selamanya berkubang dalam lautan ego.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐅ragmen𝐭s
AléatoireSebuah perkumpulan frasa yang mendiskusikan lika-liku buana. Tidak ada yang bersambung, hanya berpaku pada satu kisah, satu tokoh utama. Diperbarui sesuai suasana hati penulis. Warnai hati, penuhi komentar, sangat diapresiasi. Penulis tidak pandai m...