Menjadi seorang ibu adalah perjalanan yang penuh perjuangan. Elara membesarkan kedua putrinya seorang diri. Dia selalu menuntut mereka untuk mendapatkan prestasi sempurna demi membanggakan namanya.
Namun, suatu hari Kalanie Iryssa bunuh diri. Tak ad...
Nanar di kedua netranya sungguh tak berarti apa pun, kecuali penyesalan terdalam dari satu-satunya hal yang seharusnya tak dia katakan malam itu. Dia tahu ucapannya itu sangat jahat dan bisa menyakiti hati putrinya, tapi emosinya mengambil alih akal sehatnya. Jikalau saja malam itu dia tak mengatakan hal itu ... apakah situasinya akan berubah? Apakah tragedi ini tidak akan menimpa putrinya? Pipinya memanas, menahan air mata yang sudah hampir tumpah, sekaligus menahan isak tangis agar tak merembes dari mulutnya saat mendengar kabar tentang putri pertamanya.
"Kami menemukan jasad korban tergeletak di kawasan ini. Sepertinya korban melompat dari atas gedung. Kami menduga korban melakukan tindakan bunuh diri karena ada selembar kertas yang diletakkan di atas gedung, tempat korban bunuh diri."
Elara tak percaya sampai dia melihat pemandangan mengerikan di hadapannya. Itu jelas bukan manusia, melainkan seonggok daging yang bentuknya seperti manusia, dengan genangan darah di bawahnya. Tulang-tulangnya membengkok ke arah yang tak wajar. Yang paling mengerikan, wajah itu adalah wajah yang sangat dia kenali-putrinya.
Dia membaca selembar kertas itu dengan tangan gemetar.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dia tak kuat lagi menahannya. Air matanya lolos membasahi pipi. Dia terisak dengan tubuhnya yang bergetar. Jantungnya seolah hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Bagaimana bisa seorang ibu melihat jasad putrinya yang begitu mengenaskan? Ini sangat kejam, bukan?
"Pasti ini bohong, 'kan? Tidak mungkin putri saya bunuh diri. Putri saya adalah anak yang baik. Dia selalu menuruti apa pun perintah saya. Dia berhasil masuk ke universitas kedokteran terbaik. Masa depannya jelas bersinar. Tidak mungkin dia melakukan hal sebodoh ini."
Isakan tangis Elara begitu memilukan. Hati Ashana seolah ditikam pisau berkali-kali. Dia tidak pernah melihat mamanya menangis sampai terisak-isak. Dia juga belum pernah merasakan kehilangan yang begitu menyakitkan. Separuh jiwanya seolah melebur bersama dengan kepergian kakaknya.
"Kenapa kakak malah meninggalkanku duluan? Padahal kakak, 'kan, janji bakal terus bertahan dan melewatinya bersama. Kakak nggak memikirkan perasaanku dan mama? Kalau kakak nggak ada, aku harus gimana?" Ashana memukul kepalanya sendiri sebagai pelampiasan rasa sakitnya. Dia berteriak kencang, memanggil kakaknya untuk kembali. Dia butuh pelukan kakaknya, suara menenangkan kakaknya, kata-kata penyemangat dari kakaknya. Dia tak bisa membayangkan kehidupan tanpa kakaknya. Dia tidak ingin kakaknya pergi. Dia ketakutan.
Elara menarik putrinya ke dalam pelukannya. Dia menahan tangan putrinya agar tak memukul kepalanya lagi. "Jangan lakukan itu. Tolong, Asha ...."
Suara mamanya yang bergetar membuat Ashana prihatin. Dia tak seharusnya membuat mamanya makin sedih karena dirinya.
"Mama masih ada di sini. Kamu masih punya mama. Mama akan menemanimu."
Ashana tersenyum tipis saat mendengarnya. Aneh, dia tak merasa lega karena ucapan mamanya. Malahan ucapannya itu membuat hatinya ngilu. Selama ini ... kenapa baru sekarang mama mengatakan itu? Ke mana saja mama saat aku dan kak Kala butuh? Dia ingin mengatakan itu, tetapi suaranya tertahan.
"Kita akan lewati semuanya bersama, ya? Sama-sama merelakan Kala. Mama akan bantu."
Elara merangkul Ashana, mencoba memberikan sedikit kehangatan dan dukungan dalam momen yang tragis ini. Meskipun dia sendiri terluka dan terluka oleh kehilangan yang mendalam, dia berjanji untuk tetap bersama putrinya dalam melanjutkan hidupnya.
Elara dan Ashana merasa hancur oleh rasa sakit dan kehilangan yang tak bisa dibayangkan. Mereka sama-sama terpukul oleh kematian tragis Kalanie, dan sulit untuk menerima kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga mereka telah memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
***
Terima kasih sudah membaca ֶ֢࣪⋆ Ini adalah cerita pertama yang aku publish. Awalnya aku ragu mau publish ini atau gak, dan akhirnya memutuskan untuk publish. Semoga kalian suka, ya. ֶ֢࣪⋆ Jangan lupa vote, comment, dan support karyaku, ya! ֶ֢࣪⋆ Salam hangat, Sofiana