Eza mengendap-endap masuk melalui celah pintu yang terbuka. Ruangan itu mendapat cahaya dari lampu teras, samar-samar menampakkan sebuah gudang terbengkalai. Mungkin benar yang dikatakan ayah ‘mereka belum siap’. Akan tetapi, saat dia hendak beranjak dari tempat itu, tiba-tiba lampu dalam menyala. Tampak sebuah ruangan terang benderang dengan dekorasi mewah di sana.
Eza terbelalak mendapati sebuah ruang pesta lengkap dengan meja-meja saji persegi panjang merapat ke dinding dan di tengah ruangan itu terdapat sebuah area dansa, dihiasi serangkaian lampu gantung yang terbuat dari kristal berkilauan.
Bukan rumah hantu? Tapi di mana orang-orang?
Eza tidak jadi pergi dari situ. Dia berjalan ke tengah area dansa. Pintu depan dibiarkan terbuka lebar, menampakkan jalanan yang lenggang. Dia mengitari tempat menakjubkan dengan dekorasi luar biasa. Eza mendongak,
“Lampu gantung ini tampak mewah dan mahal,” gumamnya seraya mengawasi pintu masuk. Bocah itu memastikan pintunya masih terbuka seperti tadi, supaya dia bisa kabur dengan mudah.
Eza mengira akan terjadi sesuatu di gedung tua itu. Dengan sedikit ragu dia pun berkeliling mengagumi ruangan aneh nan mewah itu sambil berharap tidak ada apa pun yang mengganggunya.
Suasana begitu sunyi, terasa angin malam bertiup dingin.
Sepi yang aneh, katanya dalam hati.
Eza melangkah keluar dari ruangan itu diikuti tatapan tajam seseorang yang bersembunyi di balik tirai lebar penuh dekorasi. Saat Eza di luar, keadaan berubah. Area pasar malam bukan lagi terletak di lahan kosong komplek tempat tinggalnya. Akan tetapi berada di sebuah kampung asing.
Ke mana semua orang yang kukenal? Ayah dan ibu tentu sudah berada di tempat parkir sekarang. Lebih baik aku segera menyusul mereka ke sana.
Eza berusaha menemukan jalan ke tempat parkir. Namun, sepanjang jalan dia justru bertemu dengan Kika yang menjadi pemain akrobat, Miku yang menjadi penjaja makanan, Naru yang berdiri sebagai pemandu di stan permainan. Bahkan ada gadis Sea Hiro yang bergaun putih tampak sedang mengemis di sebuah tikungan dekat tenda. Namun, mereka semua saling diam, tak acuh, dan pandangan mereka kosong.
Mengapa semua orang di sini menjadi aneh? Apa yang sebenarnya terjadi?
Eza bingung. Rasanya sudah sangat jauh, tetapi tempat parkir itu tak kunjung dia temukan. Akhirnya Eza terduduk lesu di sebuah bangku taman. Dari kejauhan tampak beberapa sosok bergerak perlahan mendekati tempat itu. Mereka antre menunggu loket wahana dibuka. Eza mendekati orang di barisan terakhir, tetapi orang itu tidak menoleh. Dia hanya fokus pada loket wahana.
“Percuma saja mencoba mengajak mereka bicara,” pikir Eza.
Dia pun terus berjalan meskipun tidak tahu lagi arah yang hendak dituju. Tanpa terasa, dia telah mengelilingi seluruh wahana sekali lagi, tetapi sama sekali tidak bertemu pintu masuk maupun pintu keluar.
Sekarang, Eza sudah berada di dalam wahana terakhir untuk ketiga kalinya. Dia berhenti sejenak mengamati kalau-kalau saja ada petunjuk atau sekadar benda yang berubah letaknya. Eza mengamati setiap sudut dan belokan sejauh mata memandang dengan teliti. Akhirnya dia menemukan keanehan di suatu tempat yang tadi sempat dilewati.
Di antara semak, ada satu jalan yang bisa dilalui yakni suatu lorong panjang. Sebuah jalan sempit yang diapit tanaman perdu setinggi bahu orang dewasa di kanan kirinya. Eza yakin, jalan sempit ini tidak pernah ada sebelumnya. Tidak ada jalan lain, Eza harus memasuki lorong mirip labirin itu.
Bocah itu tidak dapat pergi begitu saja dari pasar malam yang sekarang sudah menjadi bagian dari dunianya. Sebuah tempat yang membuat semua orang bisa terjebak ke dalamnya dan tidak dapat kembali ke dunia nyata kecuali ada orang lain yang bersedia datang berkunjung ke pasar malam ini untuk menggantikan posisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost King of Sanguine
Fantasy"Atharwa-Niyata-Ayatana!" Seluruh sorot mata langsung tertuju pada sosok bocah dua belas tahun itu. Anak laki-laki berambut ikal kuning keemasan dengan pupil bersemu biru, tengah asyik bergulat sendiri dengan sesuatu tak kasat mata. Tatapan aneh dan...