"SEKOLAH sudah bubar. Sedang apa kamu di sini?"
Seorang laki-laki seumur ayahnya mengejutkan Eza yang masih tertegun menatap tempat yang diperkirakannya sebagai rumah Mbah Singo.
"A-aku tadi dari sana. Dari rumah kakek."
"Kakek? Kakek siapa? Tidak ada siapa-siapa di sana. Apalagi rumah. Itu hanya kebun buah milik juragan."
"Ta-tapi aku baru saja dari sana."
Eza benar-benar bingung sekarang. Pandangannya berpindah-pindah dari lokasi sekolah ke wajah laki-laki itu lalu ke dalam area kebun sambil menunjuk suatu tempat di antara pohon buah-buahan itu.
"Coba kamu perhatikan baik-baik. Seandainya benar, di dalam sana ada sebuah rumah seperti yang kamu bilang tadi, seharusnya bangunan itu terlihat dari luar pagar ini, bukan?" Ucapan laki-laki itu menyadarkan Eza.
"Iya juga, ya."Eza menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Nah, 'kan? Lagipula bagaimana caramu masuk ke sana? Kebun milik juragan ini dikelilingi pagar yang dialiri listrik bertegangan tinggi, lho! Kamu sebaiknya segera pulang," kata laki-laki itu kepada Eza. Namun, Eza masih tampak tertegun dan enggan beranjak dari tempat itu. Melihat anak itu bergeming, akhirnya dia memperkenalkan diri.
"Aku tukang kebun milik juragan. Namaku Miku. Sore ini jadwalku memberi pupuk dan membersihkan kebun." Laki-laki itu meraih sebuah kotak di samping pagar kawat. Ada sebuah saklar di dalamnya. Lalu dia menekan tombol bertuliskan 'off'.
"Paman Miku, Aku Eza."
Eza menyambut ragu telapak tangan yang terulur. Akhirnya anak itu tersadar dari lamunannya. Sebelum Paman Miku masuk ke dalam, dia memberitahu sedikit tentang kebun itu.
"Tidak ada seorang pun tinggal di dalam sini. Kebun ini dipagari aliran listrik untuk melindungi dari gangguan hewan dan pencuri. Aku harus mematikan aliran listriknya sebelum ke dalam."
"Lalu mengapa aku tadi bisa di sana tanpa kesetrum?" Eza merasa heran.
"Nah, itu dia. Paman juga tidak habis pikir. Kecuali kamu hanya berkhayal dan mengada-ada." Eza terdiam. Mendengar pendapat Miku, bocah itu mulai ragu.
"Oh, iya. Katamu tadi berjumpa kakek di sana?" lanjut tukang kebun itu.
"Iya, Mbah Singo namanya." Mata Eza tampak berbinar. Dia senang, ternyata Paman Miku mau mengajaknya berbincang.
"Hmm. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Tapi di mana, ya?" Laki-laki itu lalu berusaha mengingat-ingat sebuah nama dan kisah yang menyertainya.
"Ceritakan semua tentang dia, Paman!" desak Eza.
"Tapi ini sudah terlalu sore. Paman pun harus menyelesaikan pekerjaan di kebun. Besok saja, pulang sekolah temui Paman di sini. Bagaimana?" Paman Miku berbaik hati menanggapi keingintahuan Eza.
"Iya. Setuju, Paman!" sahut Eza dengan ceria.
"Bawalah bekal kudapan dan air minum secukupnya. Kisah ini seru jika diceritakan bersama camilan. Hahaha!"
"Siap, Paman!"
"Tapi ingat, jika Paman belum datang, jangan coba-coba masuk sendiri ke sini ya!"
"Iya, Paman," jawab Eza girang.
Keesokan harinya, pada waktu yang sama, Eza menemui Miku.Pria itu membersihkan rumput di pelataran agar mereka duduk dengan nyaman sambil bercerita. Siang itu, di atas tikar yang dibentangkan di dekat pagar kebun, bersama beberapa potong singkong goreng dan dua botol teh dari kantin sekolah, akhirnya Paman Miku bertutur lancar,
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost King of Sanguine
Fantasy"Atharwa-Niyata-Ayatana!" Seluruh sorot mata langsung tertuju pada sosok bocah dua belas tahun itu. Anak laki-laki berambut ikal kuning keemasan dengan pupil bersemu biru, tengah asyik bergulat sendiri dengan sesuatu tak kasat mata. Tatapan aneh dan...