Chapter 12

1 0 0
                                    

UDARA di dataran Desa Freyn tercium wewangian bunga. Tak heran, tempat yang diapit gunung dan lembah itu ditumbuhi banyak tanaman berbunga harum. La Mymau dan La Miyao tinggal di Desa Freyn. Mereka tiga bersaudara dengan Dwipa, kakek Eza. Setelah dewasa, si kembar La Mymau dan La Miyao tinggal terpisah dengan Dwipa yang tinggal di Desa Yaba.

Dahulu sekali, sebelum membuka kedai makannya sendiri, La Mymau dan saudari kembarnya, La Miyao menjadi sepasang pengelana kuliner. Banyak tempat telah mereka jelajahi. Setelah puas dengan petualangan, mereka berpisah untuk menjalani kehidupan dan keahlian masing-masing. La Mymau menjai koki di Desa Freyn sementra La Miyao menjadi tabib keliling sebelum membuka klinik di kaki Bukit Gwezin.

Senja di Desa Freyn menyapa seorang perempuan tua bongkok dari sebuah sudut kelabu. Di bawah pohon flamboyan yang sangat tua, ada sebuah pondok yang bisa menghilang saat fajar. Pondok itu berupa gubuk reyot berdinding kayu, atapnya penuh dengan tanaman liar. Perempuan tua keluar dari pondok membawa lampu minyak di lengan kurusnya dan sebuah keranjang besar digendong di pinggangnya menggunakan selendang.

Cahaya lampu minyak dari jendelanya meredup bersamaan dengan tersamarnya bentuk sebuah gubuk reyot berdinding kayu. Pondok Menghilang La Mymau memang selalu begini; perlahan bentuk gubuk memudar menjadi bayang-bayang kelabu, lalu menjadi seberkas kabut tipis, dan berubah menjadi titik-titik transparan. Akhirnya gubuk itu menghilang, tak terlihat lagi.

Ketika La Miyao mencari Rumput Biru Perak untuk mengendalikan kepribadian jiwa perak, jiwa emas, jiwa merah dan jiwa biru para pasiennya, tiba-tiba di sela-sela helaian Rumput Biru Perak terlihat butiran padat menyatu dan membentuk wajah manusia.

Bagaimanapun, baik Mymau, Miyao maupun Freyaa dan para pengabdinya percaya bahwa jiwa yang tumbuh berbeda dengan raga yang tumbuh. Jiwa yang tumbuh tidak terlihat prosesnya, sedangkan raga yang tumbuh dapat terukur dan terlihat. Seperti halnya aureus dalam raga Eza yang tumbuh diam-diam, tanpa seorang pun tahu jiwa itu telah berkembang dan semakin kuat jauh melebihi raganya.

Dulu Kakek Dwipa sering menyebut La Mymau dan La Miyao dalam cerita-ceritanya. Namun, baru kali ini Eza bertemu dengan kedua neneknya, Kakek menyebut saudari kembarnya itu sebagai orang-orang aspon, yakni orang-orang yang pernah kembali dengan selamat dari dunia yang tak dikenal. Sebuah negeri berbahaya yang sebaiknya tidak dikunjungi.

Beberapa hari telah berlalu, Eza sudah dapat menghitung lamanya waktu yang berlangsung di Teritori Sanguine, sebab terlihat matahari terbit dan terbenam dengan cara yang sama seperti di dunia fana. Setidaknya, Eza sudah melihat munculnya bulan purnama sebanyak dua kali.

Menurut para nenek, Eza tidak perlu kembali ke Dugem Dugong, sebab kedua neneknya sedang merencanakan sesuatu untuk cucu mereka itu.

Sambil menikmati santapan yang dihidangkan La Mymau, Miyao membicarakan kelemahan Lucifelix dalam membaca jiwa seseorang. Sementara itu, Eza memikirkan keselamatan Miku dan beberapa orang yang dikenalnya di Dugem Dugong.

"Di Tanah Sanguine bagian atas, mantra kalian tidak berlaku. Hanya mantra kami yang dibenarkan dan bisa mengendalikan semua tatanan kalian. Demikian pula Dunia Bawah yang dikuasai kegelapan, baik penguasa maupun pengikutnya lemah terhadap cahaya," kata La Miyao.

"Nek, lalu bagaimana nasib Paman Miku dan teman-temanku di sana? Apakah mereka tidak akan pernah bisa kembali ke dunia nyata?" tanya Eza kepada La Mymau.

"Dunia bawah berisi roh-roh sesat dan menyedihkan. Dugem Dugong diciptakan roh jahat yang serakah. Mereka terus melakukan tipu daya agar bisa menarik orang ke jurang kegelapan. Kecil kemungkinan orang-orang itu akan selamat. Apalagi mereka tidak memiliki Jiwa Emas atau setidaknya Jiwa Perak sendiri di dalam dirinya," jawab La Mymau.

The Lost King of SanguineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang