Artha tidak bisa memalingkan pandangannya dari April. Gadis dengan rompi PMR itu kalau dipikir-pikir memang hanya satu orang. Satu raga, walau di dalamnya ada dua jiwa. Mungkin lebih?
Well, yeah, hanya orang-orang yang sadar yang bisa mengerti.
Artha bahkan sampai tidak sadar jika seseorang di baris sebelahnya pingsan, hingga April datang dan membopong gadis itu sendirian. Artha yang melihat kesempatan itu langsung membantu April. Entah kenapa dia pikir, dia harus mengobrol dengan gadis itu.
"Anak IPS ngapain ikut ekskul anak MIPA? Kurang kerjaan lo?" Artha benar-benar tidak bisa memulai pembicaraan yang baik dan sopan. Perayu bodoh bukan?
Sayangnya April tidak menjawab pertanyaan barusan. Itu karena dia pikir dia tidak perlu menjawab hal yang tidak menyangkut dirinya. Artha tidak menyebut namanya. Lagi pula dia sedang bertugas.
Setelah mengantarkan gadis yang pingsan itu ke UKS, April hendak kembali ke barisan. Namun Artha mencegahnya.
"Gue mau ngobrol sama lo. Nggak salah kan?" ucap Artha seraya berdiri tegap, menghadang April yang jauh lebih pendek darinya.
April mendongak, menatap iris coklat gelap itu dengan tatapan dingin. Namun belum ada satu kata pun keluar dari mulutnya.
"April. Aprilia Sahara," gumam Artha sekali lagi.
"Boleh, nanti pulang sekolah--"
"Kenapa nggak sekarang aja sih?" Artha berdecak. Dia berkacak pinggang dengan dahi berkerut dalam.
"Lo nggak buta, kan? Itu jam tangan lo juga baterainya nggak habis, kan? Lihat sendiri! Ini masih jam sekolah," tukas April seraya pergi meninggalkan Artha dan berlari kembali ke barisan belakang.
Artha hanya menatap gadis itu. Dia tidak ingin kembali ke barisannya. Pergi ke rooftop sepertinya jalan terbaik, lagipula sebentar lagi upacara selesai. Karena tak sanggup menahan diri, Artha pergi mencari April ke kelasnya. Dia melihat gadis itu tengah mengipas-ngipasi wajahnya dengan buku, sambil menyuruput es.
"Pril!" sapanya seraya berjalan ke bangku gadis dengan rambut yang dikucir kuda itu.
"Pulang sekolah, Artha. Lo ngerti bahasa manusia, kan?" ujar April seraya memijat pelipisnya.
Tiba-tiba Akmal dan rombongannya menyerobot masuk di tengah-tengah April dan Artha. Dia mendorong tubuh Artha untuk menjauh dari bangku April, membuat sang empu murka dan hendak melayangkan tinjunya. Beruntung April segera melerai kedua belah pihak dengan mengusir mereka.
Bukan Artha dan Akmal kalau mereka menyerah dan pergi begitu saja. Jelas mereka masih beradu argumen menentukan siapa yang layak bertahan.
"Pergi sana! Kandang lo bukan di sini kali, ngapain lo nyasang di sini?" tukas Akmal seraya mengusir Artha dengan nada angkuh.
"Lo yang ngapain di sini? Ganggu aja!"
"Eh, di sini tuh kelas gue ya, Setan!"
Brakk!!
"Bubar! Bubar! Buburnya udah tinggal mangkok doang, bubar!!" April berteriak setelah menggebrak bangkunya sendiri.
Bel tanda masuk lalu berbunyi, membuat semangat pengusiran April semakin menggebu. Semua usahanya akhirnya berhasil saat Pak Kopi memasuki ruangan dan membantu mengusir Artha dan Akmal ke habitat mereka masing-masing.
Artha tidak lagi datang di jam istirahat pertama dan kedua, walaupun April tidak bisa benar-benar tenang karena Akmal terus mengganggunya. Dia bahkan sampai tidak jadi makan siang dan membuat asam lambungnya naik. Dia harus mengontrol emosi agar gerd anxiety-nya tidak kumat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Run from the Rain
Teen Fiction⚠️ 🚨⚠️WARNING!! MENGANDUNG EFEK BAPER DAN MABUK YANG LUAR BINASA BECANDA!!⚠️🚨⚠️ Akmal Mahesa, laki-laki pembuat onar yang rela pindah sekolah untuk mengganggu gadis yang dia sukai. Namanya April, siswi SMA Pancasila yang sering izin tidak ikut kel...