Di tengah-tengah persiapan ulang tahun sekolah tiba-tiba anak pramuka menyampaikan ide ke osis buat ngadain jurit malam + kemah di sekolah biar tambah seru. Katanya sih untuk menambah rasa kekeluargaan. Akan tetapi nggak semua murid diajak sih, cuma kelas 11 dan 12.
Kenapa gitu?
Soalnya ngurus anak baru ribet kata para tetua. Ditambah nyiapin acara lain bla-bla-bla. Acaranya di mulai sore hari, apel terus malamnya langsung jurit malam, besoknya lomba kecil-kecilan terus pulang. Dah gitu aja.
Nggak wajib sebenarnya, tapi kalau nggak ada perwakilan per kelas minimal 10 orang bakal kena denda. Ya begitu, biar ada yang ikut maksudnya.
Panitianya tentu dari anak OSIS dan Pramuka, ada juga beberapa anak PMR buat jaga-jaga kalau ada yang K.O di tengah perjalanan. Mereka semua udah bagi tugas, dimulai dari anak OSIS yang ngurus jurit, Pramuka ngurus api unggun dan perlombaan besok paginya, PMR bagian kesehatan aja.
"Gue boleh ikut jurit buat besok kamis?"
April berhenti membalik bukunya. Laki-laki di sampingnya ini, sejak hari itu terus menggunakan nada sok sopan yang membuat jantungnya mau tak mau berlarian.
"Mau minta izin dulu, soalnya lo pasti di sana, kan? Walau nggak ikut kelas, lo anak PMR. Takutnya kalau gue ikut, lo jadi nggak nyaman. Gue mau berusaha bikin lo ngerasain perasaan gue, Pril. Nggak lagi dengan kelakuan bodoh gue yang bikin lo sekarat." Akmal memberi penjelasan panjang lebar dengan tulus. Sementara gadis cantik dengan kucir kuda di sampingnya, belum juga menoleh atau angkat bicara.
Dia menghembuskan napas kasar. Sangat sulit memang menaklukkan gadis satu ini. Tapi dia sadar jika menyakiti dan mengacaukan harinya bukan cara yang tepat.
"Pril, gue--"
"Terserah lo, Mal. Nggak usah minta izin ke gue," ucap April memotong cepat ucapan Akmal tanpa menoleh.
"Tapi gue nggak mau bikin lo--"
"Please, jangan terlalu peduli sama gue!"
Gadis itu akhirnya menoleh dan meletakkan buku LKSnya. Tanpa sengaja matanya bertemu dengan iris coklat gelap milik Akmal. Entah kenapa, April malah gugup dan semua kalimat penolakannya hilang begitu saja dari otaknya.
Dia berdecak, mengumpat dalam hati. Akhirnya memikih mundur dan bangkit dari bangkunya.
"Lupain ucapan gue, Mal. Anggep aja gue nggak pernah ngomong kayak gitu. Lo nggak pernah jadi alasan dari apapun yang terjadi sama gue!"
Setelah mengatakan itu semua dengan tegas, April melenggang pergi. Dadanya naik turun dengan napas tak beraturan. Kepalanya langsung dilanda pening. Baru sampai di depan kelas, lambungnya mulai kumat.
"Sialan! Seberpengaruh itu kah lo ke lambung gue? Astaga!" pekik April dalam hati. Dia berlari ke arah toilet, tanpa menghiraukan jika jam pelajaran masih berlangsung, walau guru belum datang.
Sesampainya di bilik, dia segera membasuh muka, berusaha menetralkan amarahnya agar lambungnya membaik. Susah memang untuk seorang penderita gerd anxiety yang emosian. Tidak ada yang tahu kapan seseorang atau sesuatu tiba-tiba men-trigger dan membuat lambung bergejolak. Dan itu bukan masalah sepele.
Setelah merasa baikan, April kembali menuju kelas dengan wajah pucat dan tubuh yang lemas. Keringat bercucuran membasahi tubuhnya, bahkan seragam belakangnya basah.
"April dari mana?"
"Toilet, Bu. Maaf, terlambat," sahut April sopan. Guru memintanya duduk setelah mengangguk tanda menerima alasan yang April katakan.
Putri yang melihat wajah berantakan temannya pun tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Namun dia sadar diri, bahwa guru pengajar satu ini bisa membuat nilai merah tanpa alasan logis jika mendengar suaranya sedikit saja.
Baru setelah pelajaran selesai, Putri buru-buru memberondong pertanyaan pada April. Namun jawaban gadis itu malah diluar nurul.
"Kesambet apa lo sampe seberantakan ini? Basah semua baju lo, gila! Mandi lo?" tanya Putri panjang lebar.
"Lo pikir tampungan air di toilet sekolah kita memadahi untuk mandi?" sahut April sarkastik.
"Pril, lo--"
"Oh, gara-gara lo April seberantakan ini? Sebenernya lo segila apa sih ngejar dia? Kenapa make cara nggak waras terus? Mbok ya yang normal-normal aja. Kasih bunga kek, jajanin, bagi coklat, kasih kata manis lah atau ajak ke tempat bagus gitu. Lah ini? Lo ganggu terus!"
"Ya walaupun Wattpadable banget alur kayak gini, tapi ya tolong mikir dikit. Kasihan dong April-nya?"
Putri menyerocos panjang lebar, lalu pamit pergi saat pacarnya menghampirinya. Membiarkan April di kelas dengan wajah telungkup di balik kedua tangannya sebagai tumpuan.
Akmal melihat April dalam diam. Beberapa menit kemudian memilih pergi ke kantin dan kembali dengan sekotak susu dan roti coklat.
"Nggak baik tidur di kelas, makan gih," ujar Akmal membuka suara.
Beberapa detik tak mendengar sahutan dari April membuatnya gemas. Sifat jahil yang mendarah daging dalam dirinya mulai kembali mencuat. Dia menoel-noel lengan April hingga akhirnya gadis itu mendongakkan kepala dengan tatapan tajam ke arahnya.
Akmal mendorong sekotak susu dan roti yang dia beli ke depan.
"Mau belajar jadi cowok romantis yang ber-effort," celetuk Akmal.
April menaikkan sebelah alisnya. Mungkin di hari lain, dia akan langsung mengamuk dan mencerca Akmal. Akan tetapi, sepertinya dia mau mencoba cara lain kali ini. Dia mengorek tas, mencari uang dan memberikannya pada Akmal.
"Makasih," tukas April.
Akmal terkejut, mengernyitkan dahinya bingung. Saat hendak memberikan kembali uang yang ada di tangannya, April kembali bersuara.
"Gue nggak mau utang, kalau nggak lo ambil uangnya, gue juga nggak akan ambil susu sama rotinya," ucap April membuat bibir Akmal kembali terkatup.
Dia diam sejenak, mencoba mencerna ucapan gadis di depannya. Lalu memilih memasukkan uang dari April ke dalam sakunya dan duduk diam di samping gadis itu menunggu respon selanjutnya.
April menghabiskan roti dan susunya dengan tenang, lalu membuang bungkusnya ke tempat sampah dan kembali ke bangkunya. Rasanya tenang banget, nggak ada pertikaian di antara mereka.
"Ada angin apa nih kalian duduk berdua nggak ada kata kasar bersahutan dari mulut masing-masing?" celetuk Angga sambil menopang dagunya di bangku yang tak jauh dari bangku April. Tentu dia dan Theo mengamati tingkah kedua insan itu dari tadi.
"Tumben lo julid, mulut lo mulai sekolah sama Theo?" sahut April sarkastik.
"Bangsat, kenapa gue jadi dibawa-bawa anjir?!" pekik Theo tak terima. Akmal terkekeh mendengar pertikaian mereka. beberapa detik setelah tawanya reda, dia menoleh ke arah April. Menatapnya beberapa saat sampai gadis itu mulai risih.
"Nggak usah lama-lama natapnya, gue bukan papan tulis penuh rumus!" tukas April sarkastik.
"Makin lama makin menarik, gimana coba?" sahut Akmal kembali ke mode jahilnya.
April menoleh ke arah laki-laki yang memberikan senyum lebarnya sambil memamerkan deretan gigi putihnya itu dengan tatapan tajam nan horor. Dia lalu mengangkat tangan kanannya dan memberikan jari tengahnya tepat di depan wajah laki-laki itu.
"Nggak puas kayaknya nggak buat gara-gara sehari aja lo sama gue," ucap April lalu kembali pada buku di depannya.
"Seenggaknya sudah berusaha gue," sahut Akmal. Dia lalu bangkit saat bel berbunyi dan kembali ke bangkunya. Sudah cukup menganggu gadis itu, dia harus ingat tidak boleh berlebihan. Dia ingin berubah, dia ingin menyalurkan perasaannya dengan benar pada April. Nggak dengan mode brengseknya.
🤍
Halo, Aku Beatrice! Terima kasih sudah membaca dan memberi dukungan. Aku akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian, karena ceritaku dan pembacaku adalah raga dan jiwa dalam hidupku. Sekali lagi, terima kasih. Happy Saturday Night!!🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Run from the Rain
Teen Fiction⚠️ 🚨⚠️WARNING!! MENGANDUNG EFEK BAPER DAN MABUK YANG LUAR BINASA BECANDA!!⚠️🚨⚠️ Akmal Mahesa, laki-laki pembuat onar yang rela pindah sekolah untuk mengganggu gadis yang dia sukai. Namanya April, siswi SMA Pancasila yang sering izin tidak ikut kel...