06

25 13 1
                                    

Riuh angin menemani kepalanya yang berisik
Berlomba-lomba menjadikannya kepingan-kepingan tak bersisa.
Dengan perih yang membelenggu jiwa dan raganya.
Sekaligus menyorakan perayaan mati rasa, yang kian hari semakin mengolok-oloknya.

........oooOooo.........


Kepulan asap rokok menggambarkan betapa menyedihkannya saat ini, dihisap nya terus batang nikotin yang kian memenuhi paru-parunya itu.

Sesak, bukan. Bukan karena rokok yang dia hisap, tapi dadanya. Rasanya disana telah habis digerogoti perih. Sesalnya yang kian menyiksa, lukanya yang kian membabi buta.

Apa sesulit ini rasanya cinta?

Kenapa rasanya semesta memang menakdirkan dirinya untuk hidup tanpa merasakan buih-buih bunga yang digadang-gadang banyak manusia itu.

Tumbuh dengan kekurangan cinta, dan bangkit karena luka tapi kini dia malah jatuh lagi karena cinta. Lukanya yang masih basah, dan rasa takutnya akan kehilangan semakin nyata didepan mata.

Karena egonya, karena kebodohannya sendiri.

Dia lagi-lagi merasakan pahitnya kehilangan.

Malam ini Surabaya turun hujan, menyapu rata pasir kering yang mengubah baunya menjadi harum yang sangat Harisiozal benci. Wanginya yang membuat pikirannya kalut, membawanya pada masa-masa yang ingin segera ia hapus namun hanya sia yang dia terima.

Hujan semakin deras, namun Haris kelihatannya enggan untuk beranjak dari sana, bersama satu gelas americano yang di pesannya masih tersisa setengah, dengan hangatnya yang telah hilang dari sana. Lagi-lagi Haris menghembuskan napasnya kasar, kenapa rasanya sulit hanya untuk melupakan satu orang saja?

Ditengah-tengah pikirannya yang kian bercabang rasanya itu benar-benar sulit.

Dering ponsel memecahkan gemuruh riuh kepalanya, dengan rasa yang malas dia mengangkat panggilan tersebut.

"Pulang brengsek! Cepet kerumah sakit. Bunda sekarat lo malah keluyuran tolol!"

Sambil terus menghisap rokoknya Haris hanya diam mendengarkan suara Kakaknya yang lebih pantas disebut makian daripada menyuruhnya untuk pulang.

"Buruan anjing!"

Tanpa menjawab Haris memutuskan panggilan itu sepihak. Mematikan putung rokok lalu menaruhnya di asbak, dan segera bangkit dan beranjak pergi dari caffe.

Dunianya telah diterjang habis-habisan, sejak kecil Haris tidak pernah merasakan apa itu kehangatan ditengah-tengah keluarga, tidak ada yang mau berpihak sedikit pun dengannya. Ntah itu Ayah ataupun Kakaknya,

Bunda? Perempuan cantik itu rapuh, tubuh dan jiwanya telah banyak menerima luka. Bunda ada, tapi Haris tidak pernah sama sekali merasakan kasih sayang yang diberikan perempuan favoritnya itu.

Sedari kecil pemandangan yang dia lihat hanyalah Ayah yang memaki-maki Bundanya, hingga amarah yang perempuan pendam itu lampiaskan pada tubuh kecil Haris. Tidak jarang Bunda memukulnya karena marah dengan kesalahan yang dilakukan oleh anak kecil pada umumnya, yang tidak sengaja mengompol atau sekedar tidak sengaja memecahkan piring dan gelas.

Kakaknya yang dulu selalu melindunginya dari bentakan dan pukulan kini termakan rayuan tuduhan Ayah terhadap tindakan yang sama sekali Haris tidak pernah lakukan, ntah lah. Haris pun tidak mengerti kenapa Ayahnya bersikap demikian.

Sedari kecil dia dibesarkan tanpa cinta, tumbuh dengan banyak ketidak adilan dunia. Ditambah saat usianya yang kelima belas tahun dia menerima kabar jika Bundanya harus dirawat dirumah sakit jiwa, karena emosinya yang semakin tidak stabil dan membahayakan orang-orang disekitarnya.

Rumah SakitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang