008 ... [Aware]

11 2 0
                                    

••••
[Lost Sign Page 8]
[1765 Words]

Jika tidak menggerutu bukan Yon namanya, dan gerutunya itu tidak akan habis sebelum waktunya. Yon menutup pintu mobil hingga terdengar suara berdentum, ia tak peduli jika sang Ibunda mendengar itu.

Dengan emosi yang masih membara Yon memasuki rumahnya, hal pertama yang Yon lakukan adalah menaiki tangga untuk menuju kamar. Yon melupakan rencana hari ini yang akan ia lakukan, pekerjaannya pun tak Yon pedulikan lagi. Bahkan Daksa, Yon memilih untuk meninggalkan sahabatnya disana.

Feeling yang amat sangat mengganjal di hati, membuat Yon bimbang. Yon merasa jika Daksa membutuhkan bantuan, tetapi di satu sisi Daksa tak dapat dihubungi untuk diminta keterangan. Sedikit menyebalkan, tapi Yon memaklumkan dan itulah persahabatan. Yon merebahkan tubuh, menatap langit-langit kamar yang terasa menenangkan untuknya. Walaupun hati yang bergemuruh tak mampu untuk ia obati hanya dengan menatap langit-langit kamar itu.

Berdiam diri dengan seribu tanya, Yon benci itu. Tetapi bertindak gegabah Yon lebih tidak ingin melakukannya. Ia memijat keningnya, mencoba menghilangkan sedikit rasa pening yang sebenarnya hanya pengalihan dari rasa bosan dan suntuknya saja. Yon mempunyai benda yang sama seperti Luke, yaitu layar monitor. Setiap hari, siapapun yang memasuki kamarnya hanya akan tercengang ketika melihat layar besar sebagai hiasan kamar mewah yang disinggahi oleh Yon.

Tekad yang bagus dari seorang pemuda yang baru saja lulus pada saat waktu itu, tetapi sayang. Dahulu Yon terlalu takut, terlalu kecil, terlalu kalah dengan apapun yang akan disandingkan dengannya. Yon mengetahui, tetapi hanya sebagian. Dan itu sangat mengganggu pikirannya, Yon hanya merasa jika ia dan Daksa harus segera mengungkapkan. Setidaknya mengetahui apa yang sebenarnya AdTa inginkan. Jika nyawa bisa sedikit berarti, lantas sesuatu seperti apa yang AdTa tutupi agar tidak siapapun yang mengetahui.

Mengingat kembali tentang layar monitor, Yon terduduk. Memposisikan dirinya di hadapan layar itu, ada hasil atau tidak, Yon tak kesah. Ia hanya ingin mendapatkan informasi dari Daksa, dan sedikitpun sesuatu yang menyangkut Daksa Yon ingin mengetahuinya.

Jemari lihai itu mulai bergerak, dengan kedua mata Yon fokuskan hanya untuk tayangan di depannya. Ada beberapa kamera yang telah Yon sadap dan bisa ia akses untuk ia lihat dari jauh, tetapi belakangan ini akses itu tidak lagi berguna. Kamera seringkali tidak menunjukkan apapun, Yon tahu itu hanya permainan semata. Karena, sekolah seperti AdTa tidak akan membiarkan sedikitpun fasilitasnya rusak. Yon yakin sangat dengan hal tersebut.

"Huft..."

Mulai sudah Yon menggaruk kepalanya, mengacak rambut hitam legamnya. Tentu saja Yon buntu, tidak ada apa dan siapa yang bisa membantunya sekarang. Sistem kamera pun sudah tidak bisa lagi Yon retas seperti semula ia melakukannya.

Baru langkah pertama dari misinya, Yon merasa jika sekarang pun ia sudah buntu. Sebutlah ini misi bunuh diri, bagaimanapun tidak ada yang menghampiri kematian dengan sendirinya. Dan kata "mati" adalah kata yang paling Yon suka semenjak berjalannya ekspedisi ini.

"Morning..."

Yon tidak menoleh karena sudah tahu siapa yang memasuki kamarnya.

"Kau tak bisa menerka waktu kah?." Heran Yon.

"Ku rasa ini masih pagi, oh ya wajahmu kusut perlu ku bantu?."

Lost Sign! [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang