Prolog

884 82 2
                                    

Rintik hujan membasahi bumi seolah turut berduka. Raaka duduk bersimpuh, menatap nanar gundukan tanah merah yang kian basah. Pria itu bahkan tak peduli jika orang-orang mencemoohnya. Ia hanya ingin meraung, melepaskan seluruh air matanya, kesedihannya. Ia tak peduli dengan martabatnya sebagai founder kR. Techno. Ia tak lagi peduli dengan apa pun. Yang ada di pikirannya hanyalah sang putra yang kini ditelan tanah.

Sedih? Tentu, Raaka sangat sedih. Bagaimana ia tidak sedih ketika putra yang selama ini diabaikannya mengembuskan napas terakhirnya tanpa ada seorang pun di sisinya? Hati orangtua mana yang tidak terpukul?

Raaka merasakan kepedihan yang teramat. Padahal dulu, ia tidak menangis seperti ini saat istri tercintanya meninggal. Ia bahkan tetap memasang wajah dinginnya. Tapi sekarang, saat putranya meninggal, ia menangis meraung-raung.

Sulit dipercaya, tapi memang begitu kenyataannya.

Kesedihan, kepedihan, rasa sakit dan penyesalan bercampur aduk.

Raaka harap ia dapat bertemu putranya kembali. Bahkan jika itu berarti ia turut pulang.

***


"Kairi... Kairi-nya Ayah..."

"Kairi-- hah!!" Raaka terbangun dengan keringat membanjiri wajahnya. Matanya terbuka lebar dengan dahi mengerut. Ia menarik napas dalam lalu memijat kepalanya.

Diliriknya jam, pukul 6 lebih 10 menit. Hah, tidak biasanya ia kesiangan seperti ini. Raaka mendesah pelan, semalam ia terus memikirkan Kairi--putranya. Rasanya melelahkan. Baru semalam sejak kepergian putranya, Raaka tidak yakin ia bisa bertahan jika terus seperti ini.

Raaka beranjak keluar kamar. Sepi. Biasanya memang sepi, tapi pagi ini terasa lebih sepi.

"Ck, ke mana Nata? Tumben sekali dia tidak membangunkanku," gumamnya. Ia mempertanyakan keberadaan asisten yang biasanya sudah menelponnya jika ia kesiangan.

Tak peduli, Raaka memilih pergi ke dapur untuk menuntaskan dahaganya.

Glek ... glek...glek.

"Ayah?"

"Uhuk! Uhuk!!" Raaka tersedak hingga terbatuk-batuk. Tanpa aba-aba ia langsung berbalik. Ia sangat terkejut sampai gelas yang dipegangnya jatuh, hancur berkeping-keping.

Di hadapannya ada sosok yang semalam memenuhi mimpinya. Sosok yang ia rindukan.

Sosok itu perlahan mendekatinya dengan raut khawatir. Apa, khawatir? Tidak. Itu tidak mungkin. Raaka menggelengkan kepalanya.

'Aku pasti berhalusinasi. Gila, kamu tidak waras, Raaka!' batinnya.

Grep!

"Ayah kenapa?"

"...Hah?"

Raaka memandangnya kosong. Apakah sekarang sungguh putranya berdiri meremat lengannya dengan khawatir? Akankah ini menjadi kenyataan atau mimpi?

"Kairi..." Raaka terisak lirih. Detik berikutnya ia langsung membawa sang putra ke dekapannya, memeluknya sekuat tenaga. Ia terlalu rindu, bahkan hingga mengabaikan tubuh putranya yang tersentak kala ia mendekapnya. Ia juga mengabaikan telapak kakinya yang nyut-nyutan akibat menginjak pecahan gelas.

"A, Ayah?"

Raaka menatap Kairi setelah memeluknya. Itu benar putranya. Kairi berada di pelukannya. Kairi memanggilnya Ayah. Raaka mengeratkan pelukannya.

'Kuharap ini semua adalah kenyataan. Bahkan jika ini hanya mimpi, Ayah pasti akan memperbaiki hubungan kita. Setidaknya kamu akan bahagia walau dalam mimpi.'

BERSAMBUNG
***

Tertanda,

27 Maret 2024

KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang