8. Maaf

1.1K 108 4
                                    

Raaka menyandarkan kepalanya ke belakang sambil memejamkan mata. Wajahnya pucat seolah darah telah terkuras. Ingatan yang tiba-tiba menyeruak dalam kepala membuatnya pening.

Ingatan itu bukanlah sesuatu yang sengaja ia lupakan, melainkan sesuatu yang terkubur begitu saja dalam kepalanya. Selama ini Raaka tidak menyadari bahwa sepotong memori penting itu tak sengaja dilupakannya.

Perasaan bersalah dan penyesalan menghampirinya. Dada yang terasa sesak menariknya dari memori masa lalu.

Kepala Raaka menoleh, sepasang irisnya menatap Kairi bersalah. Kalimat yang sudah disusunnya dalam kepala tertahan di ujung lidah yang terasa kelu. Lengan kirinya terulur hendak menyentuh pucuk kepala anak itu, namun ia segera mengurungkan niatnya. Ia memandangi telapak tangannya lamat.

Tangan ini tidak pantas menyentuh Kairi.

Raaka ingat bagaimana kehidupannya, tidak, kehidupan keluarga kecilnya setelah hari itu. Secara kebetulan istrinya yang memang lemah mengidap kanker. Waktu itu Raaka bekerja mati-matian demi membiayai pengobatannya, dan tanpa sadar waktunya untuk keluarga hampir tak ada.

Raaka kehilangan momen untuk sekedar mengusap kepala Kairi dan mengecup kening Marisa.

Apalagi setelah kematian istrinya, Raaka menelantarkan Kairi hanya bersama seorang pengasuh di rumah besarnya. Saat itu ia diliputi oleh penyesalan karena gagal menyelamatkan sang istri. Raaka merasa jerih payahnya tak membuahkan hasil.

Padahal ia berhasil berada di puncak, namun ia tidak merasa puas sama sekali. Raaka terlalu sibuk bekerja, melupakan istrinya yang sudah wafat, dan hampir melupakan putra semata wayangnya.

Ada begitu banyak kesalahan yang dilakukannya di masa lalu. Rasa bersalah dan penyesalan menumpuk dalam hati semenjak Raaka kembali beberapa waktu lalu.

Namun, apa ia memang harus berlarut-larut dalam penyesalan yang sia-sia sekarang?

Pupil Raaka bersinar. Ia mengepalkan jemarinya. Meskipun banyak kesalahannya yang tidak bisa diperbaiki, belum terlambat untuk mengubah semuanya menjadi lebih baik. Raaka mengingat kembali tujuannya. Ia akan memperbaiki hubungannya dengan sang putra dan mencegah kematiannya.

Kemudian untuk mengawali semua itu, ada satu kata penting yang seharusnya ia ucapkan sejak dulu. Maaf.

Raaka menatap Kairi yang sedari tadi diam memperhatikan pemandangan di luar kaca. "Kairi," panggilnya pelan.

Yang dipanggil menoleh tanpa kata, mengamati wajah yang menghadapnya. Menunggu apa yang akan keluar dari bibir itu.

"Ayah minta maaf."

Pupil Kairi membola tak percaya.

Raaka tersenyum tipis, matanya menatap sayu. "Ayah minta maaf untuk semuanya. Maaf telah mengabaikanmu, meninggalkanmu sendirian,"

'padahal kamu sedang sekarat waktu itu,' lanjutnya dalam hati. "Ayah minta maaf, Nak."

Tangan Kairi mengepal di atas paha. Anak itu tetap diam. Kairi memejamkan matanya. Saat sepasang kelopak itu kembali terbuka, manik cokelatnya menatap Raaka tajam. Ia menghela napas lalu memalingkan wajahnya ke samping. Ia tidak sanggup menatap Raaka lebih lama.

Tunggu, kenapa?

Raaka mengusap kepala Kairi tanpa ragu. "Kamu nggak perlu memaafkan Ayah, kok."

Suasana dalam mobil benar-benar hening setelahnya. Kairi terus menghadap kaca, enggan menatap Raaka.

"Jadi, masih mau ikut Ayah?" Lengan Raaka memegang kemudi lantas menyalakan mesin. Kepalanya sedikit miring untuk melihat Kairi. Apa lebih baik pulang?

KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang