Raaka pulang dari mall dengan berat hati. Sebelumnya ia sempat nongkrong, menikmati secangkir kopi untuk meringankan kepalanya. Ia keluar dari mobil setelah membuka pintunya dengan kasar. Matanya menatap rumah dua tingkat miliknya. Rumah bercat putih polos yang sudah ia tempati lebih dari sepuluh tahun. Rumah besar tanpa kenangan berarti.
Langkah Raaka mengitari samping rumah, ada jalan setapak untuk ke bagian belakang rumah. Di pinggirnya ditumbuhi pepohonan dan macam-macam bunga. Raaka berhenti sebentar, memandangi bunga mawar yang mekar dengan cantiknya. Ia ingat bunga itu sudah hidup lama sekali, dulu ia sendiri yang menanamnya. Harusnya mawar itu sudah mati atau tumbuh tak terurus, untungnya Kairi merawat tanaman-tanaman itu. Raaka tahu Kairi suka merawat tanaman karena ia beberapa kali memergokinya dari jendela kamar. Itu merupakan satu-satunya hal yang ia tahu tentang Kairi. Dipikir-pikir, anak itu sangat mirip dengan ibunya.
Raaka sedikit menarik sudut bibirnya. Memutar secuil memori tentang sang istri. Namun, itu sudah lama sekali. Sepertinya kepalanya tidak begitu mengingat momen-momen saat keluarganya masih lengkap. Yang mampu ia ingat hanya masa-masa setelah Kairi kecil lahir ke dunia. Tak berselang lama, sang istri meninggal. Raaka ingat dengan jelas.
Pemandangan damai menyambut penglihatan Raaka. Halaman belakang rumahnya memang cukup luas. Sebagian tanahnya ditumbuhi rerumputan, juga terdapat bunga dan pohon mangga. Di sudut halaman terdapat gazebo sederhana untuk bersantai. Raaka menggerakan tungkainya ke sana. Mendaratkan bokongnya pada sejuknya lantai kayu gazebo. Kedua lengannya menopang tubuhnya. Raaka mendongak, langit berwarna biru seperti biasanya. Lalu ia menunduk, netranya menemukan setangkai bunga azalea menyembul di antara bunga krisan. Raaka baru melihat keberadaan bunga itu, sebelumnya tak ada azalea.
Ia beranjak lalu melangkah mendekati bunga azalea yang tingginya hanya mencapai betisnya. Raaka mengamati bunga itu. Terakhir kali ia ke sini, tanaman ini tak ada. Tidak mungkin bunga itu tumbuh dan langsung berbunga seperti ini hanya dalam beberapa hari. Lagi pula ini azalea yang dibonsai. Seseorang pasti membelinya. Raaka tersenyum tipis. Sudah jelas putranya yang menaruh azalea ini di sini.
"Kamu harus lihat, itu sangat cantik."
"Hm, Pamanku memang tidak pernah gagal dalam urusan bonsai."
Kepala Raaka refleks menoleh kala mendengar suara bersahut-sahutan. Itu suara Kairi, sedangkan yang lainnya entah suara siapa.
"Bagaimana pun juga, Ibuku sangat menginginkannya."
Ibu?
Raaka memastikan telinganya tidak salah dengar. Memang ia tidak salah dengar, ketika suara lain menyahuti perkataan Kairi.
"Ya, aku tahu, Kai. Kamu melakukannya untuk Ibumu, mau berapa kali bilang begitu?"
Tap... tap... tap.
Langkah kaki itu tak lagi terdengar, pun suara dua anak lelaki yang sebelumnya bersahut-sahutan. Hening. Raaka dalam posisi berjongkok di depan bunga azalea, menatap Kairi dan anak lelaki yang bersamanya, yang kini terdiam. Tiga manusia dengan gender serupa itu saling bertatapan dalam diam. Sampai suara asing dari anak di sebelah Kairi bertanya dengan nada tajam.
"Itu Ayahmu, kan?"
Kairi hanya berdeham ringan, netranya masih tertuju pada Raaka, lalu pada bunga azalea miliknya. "Ck!"
Raaka meluruskan kakinya, berjalan kembali ke gazebo dan duduk di sana. "Ayah kira kamu pergi main entah ke mana," katanya pelan. "Itu temanmu?" Ia bertanya dengan antusias. Selain merasa senang karena Kairi pulang lebih cepat, ia juga penasaran pada teman Kairi. Ia ingin tahu bagaimana kehidupan sosial aang putra.
Kairi mengisyaratkan lewat mata agar temannya itu memperkenalkan diri.
"Hadianto, Om," anak lelaki berambut agak ikal itu memperkenalkan diri dengan muka datarnya seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Tidak, bukan datar. Matanya tajam, itu ekspresi seperti mengajak baku hantam.

KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
Подростковая литература"Bahkan jika ini hanya mimpi, Ayah pasti akan memperbaiki hubungan kita. Setidaknya kamu akan bahagia walau dalam mimpi." ~••~ Raaka kembali ke waktu sebelum putra yang selama ini diabaikannya meninggal. Walau otaknya bertanya bagaimana bisa, ia men...