2. Awal

2.2K 198 6
                                    

Dua lelaki beda usia itu berdiri berdampingan, menatap pusat perbelanjaan di hadapan mereka. Diam-diam Raaka tersenyum sembari melirik putra semata wayangnya.

Jika biasanya Raaka selalu mengenakan setelan jas lengkap, kini ia mengenakan kaos putih polos dan celana kargo berwarna cokelat. Siapa sangka ia punya selera anak muda begitu. Sementara di sampingnya, Kairi memakai kemeja army lengan pendek lalu dipadukan celana selutut dengan warna serupa. Penampilan keduanya amat kontras. Namun, siapa pun yang melihatnya pasti mampu menebak hubungan mereka. Lihat dua wajah yang serupa itu.

"Ayo." Raaka berjalan lebih dulu, diikuti oleh Kairi.

Mereka berkeliling tanpa tujuan sebelum membeli ponsel. Tidak tanpa tujuan sih. Sebenarnya Raaka dari tadi mengamati tempat-tempat yang ada. Memikirkan ide-ide untuk menghabiskan sabtu penuh bersama putranya. Tapi bagaimana?

Raaka tak ingat kapan terakhir kali ia pergi ke mall. Setiap hari libur ia hanya akan mendekam diri di rumah besarnya, menikmati sunyi di gazebo.

Pusing, Raaka melirik jam tangannya. Pukul 13.20. Ia melihat sekeliling, kebetulan di ujung terdapat food court. Raaka menoleh untuk menatap Kairi. "Mau makan dulu?"

Dengan tatapan datarnya, Kairi hanya berdeham tanda setuju.

Kemudian mereka segera pergi dan memesan makanan. Ayah dan anak itu duduk berhadapan. Bola mata Kairi berpendar, mungkin bosan karena tak ada yang bisa dilakukannya. Sementara Raaka menatap ponselnya dengan alis memberengut. Ada apa?

"Apa ini akan berguna?" Gumam Raaka sembari melirik Kairi, lantas kembali menatap ponselnya.

1. Bermain game bersama
2. Olahraga dan berpetualang
3. Manjakan putra Anda dengan uang secukupnya saja... agar...

"Hmm, apa selama ini aku memberinya terlalu banyak uang?" Batinnya. "Katanya anak bisa merasa puas hanya dengan uang, tapi cenderung melupakan keberadaan orangtua?"

Ia terus menggulir layar benda tipis itu. Agak tak percaya dengan nomor tiga. Beberapa detik kemudian ia tersenyum puas.

Anda sibuk bekerja seolah melupakan anak, sementara anak Anda juga disibukkan dengan kegiatan sekolah? Mungkin Anda bisa memberi anak Anda kejutan apabila...

INI DIA!!

Raaka bersorak dalam hati. Kalimat pertama artikel itu memang cukup membuatnya tertohok, namun kedengarannya itu saran bagus. Selama ini, kan ia tidak pernah memberi putranya kejutan. Bisalah dicoba. Dengan senyum lebar terpampang di wajah, Raaka mematikan ponsel dan menatap Kairi. Otaknya mulai menyusun kejutan apa yang akan ia buat. Kira-kira bagaimana reaksi Kairi.

Seorang pegawai berseragam datang membawa nampan makanan, menginterupsi Raaka dari ruang imajinasinya. Diletakkannya semangkuk ramen, satu piring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi, singkong Thailand, dua gelas air putih dan segelas es krim vanila.

Seperginya pegawai, ayah dan anak lelaki itu sempat bersitatap, berdoa singkat lalu mulai menyantap makanannya.

Raaka menatap Kairi. "Mau coba punya Ayah?" Ia menyodorkan singkong Thailand miliknya. Nasi gorengnya sudah habis, efek lapar sepertinya, langsung ludes begitu.

Wajah Kairi mendongak. Ia baru saja mengunyah ramen miliknya. Remaja itu menatap bergantian antara ayahnya dan singkong. Lalu ia minum air putih. "Hm, boleh," katanya.

Terlampau senang oleh respons singkat Kairi, Raaka menyendok singkong itu lalu menyuapkannya ke mulut Kairi yang terbuka. Bola mata anak itu membola, menatap sang ayah. Dengan segera bibirnya mengatup, giginya mengunyah singkong. Merasakan tekstur yang lengket dan manis itu, dahinya melipat.

"Bagaimana?" Tanya Raaka dengan mata berbinar.

Kairi melirik pria di hadapannya itu tanpa ekspresi. "Lumayan," ujarnya kemudian. Jemarinya meraih sumpit, melanjutkan adegan menyantap ramen.

Raaka hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus bagaimana menanggapi respons membosankan putranya. Ia heran. Apa Kairi memang irit bicara begini? Diingat-ingat, kapan ya terakhir kali Raaka duduk bersama putranya seperti sekarang. Entahlah, ia tak ingat apapun. Bisa jadi hari ini yang pertama kali.

Selesai makan, mereka langsung menuju tempat yang menjual barang-barang elektronik. Niatnya Raaka masih ingin berkeliling, tapi dari pengamatannya, Kairi terus manyun seakan ingin segera membeli ponsel. Begitulah yang terjadi.

Kini keduanya tengah melihat-lihat ponsel. Raaka berdiri di samping Kairi, membiarkan putranya memilih sendiri ponsel yang akan dibeli. Lagi pula, kan yang akan memakainya juga Kairi.

"Yang ini boleh, Yah?"

"Hm?" Raaka menatap ponsel hitam di genggaman Kairi. Ia tak tahu itu merek apa. "Yakin?"

Kairi meletakkan ponsel itu ke atas etalase. "Iya. Ini bagus buat main game."

Oho? Senyum lebar tercetak di wajah Raaka. Selain belajar, rupanya Kairi suka main game, ya.

"Oke, oke," sahut Raaka sembari mengeluarkan dompetnya. "Habis ini mau ke mana?" Tanyanya setelah selesai membayar. Ia melirik Kairi yang sibuk mengutak-atik ponsel barunya. Tadi anak itu langsung memasang kartu baru, kartu yang lama entah hilang ke mana. Pagi tadi, di halaman rumah hanya tergeletak ponsel yang kondisinya terlalu parah untuk dideskripsikan.

"Pulang, kan?" Kairi mengetik sesuatu di layar ponselnya. Ia balas bertanya tanpa menatap Raaka.

Ekspresi Raaka datar seketika. Masa langsung pulang? Tidak, ini tidak boleh terjadi. Ada misi yang harus Raaka selesaikan. Hari ini kan langkah awal pendekatannya terhadap Kairi.

Kepala Kairi menoleh karena tak kunjung mendapat jawaban. Memastikan ayahnya masih ada di sana. Yah, siapa tahu kan, pria itu tiba-tiba menghilang demi pekerjaan. Setelah melihat Raaka masih berdiri seraya menatapnya, ia kembali fokus pada benda tipis di genggamannya.

"Kamu main saja dulu. Pasti kamu bosan di rumah terus, kan?" Raaka coba membujuk.

Kening Kairi mengernyit tipis. "Makanya habis ini Kairi mau kumpul sama teman," sahutnya. "Kalau Ayah masih betah, ya udah Kairi duluan."

Remaja itu hendak pergi, namun Raaka lebih dulu menahan lengannya. Raaka menatap sang anak dengan kesal. "Kamu mau ninggalin Ayah?"

Kairi melepaskan lengannya dari cekalan Raaka, lalu merapikan kemejanya yang agak kusut. Ia menatap Raaka tajam. Entah ada angin apa, dari semalam Raaka terus membuatnya kesal. Maka ia hempaskan tangan Raaka sambil beralih memandang sekitar.

"Kenapa, Kai?"

Kairi tidak salah dengar, kan? Ayahnya memanggilnya 'Kai'? Apa pula itu? Ayahnya ini kok tiba-tiba jago bersikap sok akrab begini. Kairi heran.

"Kairi pulang duluan, Yah, dah." Dengan segera kaki itu melangkah menjauhi Raaka. Menyisakan Raaka yang terdiam menatap punggung Kairi yang semakin menjauh lalu hilang di keramaian.

Raaka menyugar rambutnya. Misi pendekatan GAGAL!

Padahal Raaka masih memikirkan kejutan apa yang akan ia beri. Maka itu untuk hari esok saja, hari yang akan datang. Wajar saja Kairi pergi begitu.

"Kan kamu sendiri penyebab ia meninggal, Raaka."

BERSAMBUNG
***

Chapter ini kok nggak jelas banget ya, Nosaka jadi ngerasa gimanaaa gitu. Kayak kurang puas tapi... au ah

Dah lah gitu aja, bubayy

KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang