Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!
Kavita mendobrak pintu kost saat aku dan Janu sedang mengemasi pakaian, Janu sedang membantuku menyiapkan seluruh keperluan yang kubutuhkan untuk dibawa seminggu kemudian.
Ya, aku memutuskan untuk melanjutkan studiku dan berencana membantu usaha keluarga disana.
Dia terlihat terengah- engah, entah karena sehabis berlari atau menahan marah. Kavita masih berdiri di depan pintu menatapku nyalang, Janu yang paham akan situasi mencekam ini pun berdehem,
"Ehem! Gue... keluar dulu, yak. Cari minum. Aus, nih!"
Dia berjalan pelan dan agak kaku ketika melewati Kavita, seolah- olah takut akan diamuknya. Aku yang semula duduk bersila dilantai lantas berdiri, tapi tak berniat mendekat.
Kavita mengeraskan rahangnya, nafasnya memburu. Sedetik kemudian dia berjalan cepat kearahku...
PLAK!!!
Perih. Tamparan keras mendarat dipipi kiriku membuat kepalaku ikut menoleh. Panas dan perih, seperti hatiku.
Wajahnya memerah. "Bukannya gue bilang jangan pergi?! Jangan tinggalin gue! Dari ucapan gue yang mana, yang gak Lo ngerti, hah?!"
Dia mendorong bahuku, "Jadi ini alesan Lo gak ngejawab permintaan gue malem itu?! Jadi ini jawaban Lo sekarang, hah?! Jawab!" Kavita terus berteriak dihadapanku.
Aku bergeming tak bersuara, aku tahu aku salah. Dia menangis histeris sambil terus memukuliku, memukul lengan, pundak, juga dada.
"Gue bilang jangan tinggalin gue! Jangan pergi! Sesusah itukah buat terus sama gue?! Jawab, Wil! Jawab!!!" Teriaknya disela raungan.
Kavita mencengkeram kerah kemejaku, dia sandarkan kepalanya di dadaku. "Apa gue ngelakuin kesalahan, sampe Lo mau pergi jauh..." bahunya naik turun karena masih menangis meski tak sekeras tadi.
"Kasih tau gue, Wil... gue bisa perbaikin kesalahan gue..."
Aku harus menahan diri agar tak ikut menangis. "Elo gak salah, Kak... tapi gue bisa mati kalo tetep disini..."
Kavita merosot dibawahku, berlutut dengan kedua tangan mencengkeram ujung kemejaku. Ia kembali terisak hebat.
"Kenapa...?"
2 hari setelahnya sekitar pukul 11 malam aku dikejutkan dengan kabar Kavita yang di larikan kerumah sakit karena pingsan di bar yang biasa di datanginya.
Janu yang berulang kali menelepon, serta Aida yang juga turut memberi kabar. Aku tahu saat ini hanya diriku yang dapat mereka kabari terlebih dahulu, karena papi mami beserta si kembar tengah pergi mengurus studi Mahesh di luar negeri.
Aku segera menuju rumah sakit yang dimaksud, tante menemaniku, ia yang mengemudi karena melihatku yang sangat panik. Sampai di loby rumah sakit aku langsung turun begitu saja meninggalkan tante yang memanggil-manggil, aku berlari seperti orang gila, menabrak beberapa pejalan yang melewati lorong kamar rawat. Tak kupedulikan sumpah serapah mereka semua.
Janu dan Aida terlihat didepan pintu UGD, aku segera mencengkeram kedua bahu Janu begitu berhasil menghampiri mereka, seolah bertanya keadaan Kavita.
"Kavita tadi sempet mencengkram sudut perutnya sebelum pingsan, Wil..." itu penjelasan Aida.
"Wil sorry, ya... tapi kayaknya Kak Kavita sakit kayak yang selama ini kita khawatirin." Tiba-tiba bahuku merosot lemas.
Tante Tanisha yang baru tiba melempar tanya, "Kavita kenapa?"
Sebelum sempat ada yang menjawab, seorang dokter keluar, "siapa keluarga nona Yasawirya?"
"Saya walinya!" Jawab cepat tante.
"Bisa ikut dengan saya sebentar?" Dokter itu memberi gestur tangan memberi jalan.
"Kalian tunggu disini." Kami semua menganguk.
Setelah beberapa saat, dan Kavita juga sudah dipindahkan kekamar inap. Aida dan Janu duduk di sofa yang ada diruangan ini, hanya aku yang mondar mandir didepan mereka. Diantara mereka dan Kavita yang tertidur.
Aida mencoba memberi kabar pada keluarga Kavita dan Janu yang entah bertukar pesan dengan siapa.
"Keluarganya panik," kata Aida tiba-tiba, aku berhenti, "tante Irene ama Mesha aja yang bakalan langsung balik. Om Jiwa tetep tinggal nemenin Mahesh."
Aku menghembuskan nafas lega, setidaknya keluarganya sudah diberi tahu. "Senior Wira gak bisa dihubungin."
Seketika emosi menyelimutiku, "Persetan dengan cowok itu!" Teriakku tak ingat ada Kavita yang tertidur.
Janu berdiri menahan bahuku yang hendak menghampiri Aida. "Tenang, Wil... ini rumah sakit!" Jelasnya berbisik.
"Maaf."
Aida menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tubuhnya bergetar kecil, dia menangis. Aku tahu, kita semua disini ketakutan, tapi mendengar nama pria itu emosiku seketika tersulut.
SREK...!
Pintu ruang inap bergeser terbuka, memunculkan sosok tante setelah percakapannya dengan dokter yang menangani Kavita. Wajahnya sarat akan cemas, seketika kami semua sadar ada sesuatu hal buruk yang terjadi.
"Bisakan gue mohon sesuatu?"
"Apa, Wil...?"
Saat ini kami tengah duduk berdampingan disalah satu kursi panjang taman rumah sakit, setelah tadi kami semua berdebat tentang banyak hal mengenai Kavita.
"Ini permintaan pertama gue sebagai sepupu Lo."
Ia menoleh kearahku dengan mata yang masih sembab.
"Jagain kak Kavi, ya Kak... selama gue gak ada disini..." sudut mataku mulai berair, lagi. "Tolong juga rahasiain ini, ya... hm?" Aku terisak kecil.
"Terutama dari kak Kavi sendiri."
Aku ikhlas dan aku pergi.
Aku ikhlas dan aku pergi.
Aku ikhlas dan aku pergi.
Aku ikhlas dan aku pergi.
Aku ikhlas dan aku pergi.
Kalimat itu bagai doa yang kupanjatkan pada Tuhan dan semestanya.
Semoga beban hati ini berkurang.
Semoga sakit hati ini tak lagi menghujam jantung.
Dan yang terakhir...
Semoga kelak saat melihatnya kembali aku akan melihatnya dengan pandangan dan perasaan yang benar-benar berbeda.
FIN
Other kind of feedback would be very much appreciated.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEAVY HEART (WINRINA) ✔️
FanfictionIni adalah seni menyakiti diri sendiri. Ketika iklas melepaskan tanpa ada beban di hati. Mari berjalan bersamaku dengan menebalkan topeng, di mana masyarakat masih menjunjung tinggi normalitas.