Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!
Ini bukan tentang aku siapa, juga bukan tentang bagaimana perasaanku. Memang, ini seharusnya menjadi tanggung jawabku seorang, karena ini tentang perasaanku sendiri. Cinta sendiri... tapi tetap saja rasanya sungguh menyakitkan.
Aku tidak bisa marah pada siapapun, ini tidak seperti hasrat gilaku padanya, yang telah kucintai seperti orang gila. Mengapa harus menyampaikan kebenaran, kalau kebenaran itu menyakitkan untuk didengar? Untuk kudengar! Dulu sempat terbersit, tanpa memiliki, aku bebas mencintainya tanpa khawatir tersakiti. Tapi nyatanya sama, bahkan lebih menyakitkan. Hanya menjadi penonton tanpa bisa masuk kedalam skenario kisah cintanya.
Rasanya sungguh menyakitkan, harus menahan perasaan yang semakin hari semakin tak terkendali. Aku sadar, mencintai diam- diam maka sakitnya juga diam- diam, karena tidak akan ada yang sadar, tidak akan ada seseorang yang menenangkan hati yang tersakiti dalam diam.
Mengapa aku harus mencintainya sedalam ini? Betapa menyedihkan kisah cinta pertamaku, yang berakhir bahkan sebelum aku mulai. Cinta sunyi yang hanya bertepuk sebelah tangan. Cinta yang sampai kapan pun tak mungkin mendapatkan balasan.
Ini bukan sekedar ' Nice Try ', perasaanku ini berbeda, perasaan yang tidak bisa dicoba untuk diungkapkan. Cintaku berbeda, cintaku tak mendapatkan tempat di semesta ini. Cintaku memalukan menurut mereka yang hidup dibawah payung kehidupan normal.
Karenanya, agar dapat berbaur dengan mereka yang katanya normal dan tak berdosa, aku mengenakan topengku. Topeng yang sekalinya kucoba untuk kubuka... mengatakan betapa aku mencintaimu, dengan telah begitu lama.... Maka bisa kupastikan dirinya akan menjauh dariku secara perlahan.
'Hei, Kak! Apa Kau tahu seperti apa aku mencintaimu?'
"Ih, Kak! Sejak kapan?!" Belum sempat Kavita menjawab, pekikan Neena menusuk telinga.
"Gak usah heboh, deh, Neen! Malu, tuh... diliatin banyak orang." gerutu Aida.
Aku?
Mix feeling. Seketika memori beberapa minggu yang lalu muncul.
Tiba-tiba dawn mood.
Tiba-tiba nafsu makan turun.
Tiba-tiba detak jantung meningkat.
Tiba-tiba kepala terasa pening.
Tiba-tiba merasa mual.
Seluruh tubuh meremang hebat, luapan amarah seketika muncul.
Tahan.
Tahan.
Tahan.
Tahan mesti itu begitu sesak dan menyakitkan.
Kavita bersuara, kupejamkan mata mencoba mengontrol emosi. "Ya, biasa aja sih... just, kencan pada umumnya aja. Dia baik banget, kok."
Bullshit! Semua akan baik jika ada maunya.
"Dia baik, tutur katanya juga sopan, kok" tambahnya, aku tertawa sumbang, mereka menatapku. "Kenapa?"
"Enggak... cuman tiba- tiba keinget aja sama lelucon yang dibuat Janu. Soalnya dia juga,'kan sweet talker." Mencoba masih bersikap acuh, kuaduk sup daging yang tiba- tiba rasanya hambar.
Kavita masih menatapku, "Lo beneran aneh deh, Wil..." kurasakan ia menghembuskan nafas, "sejauh ini dia pria yang baik, dia slalu ngusahain ngasih apa yang gue mau..."
Neena tertawa, Aida mengernyit heran, dan aku masih tak peduli. "Please deh, Kak... ini masih awal- awal hubungan Kalian, lah. Ya kali, dia bakalan nunjukin sifat aslinya." Neena kembali tertawa.
"Ih, apaan sih... enggak, ya.... Dia tuh gentleman, dia tuh...."
Green flag... treat me like queen... bla bla bla bla... bullshit!! Sejak tadi aku terus menyangkal betapa baiknya pria itu yang diutarakan Kavita, walaupun tak terucap.
Tapi coba tengok, Neena saja tahu mana yang benar- benar bullshit. Dia itu sebenarnya anak yang peka cuma ketutup aja sama sikap cueknya. Lalu si pria yang katanya baik itu, kenapa begitu aku tidak sukanya? Bukan hanya karena ada perasaan cemburu, tapi juga perasaan tak rela jauh lebih besar. Sungguh membuat geram karena Kavita bisa bersamanya.
Bukan tanpa alasan, jauh sebelum kabar mereka telah berkencan, aku kerap kali menjumpainya melakukan pertemuan dengan beberapa orang. Entah itu client, teman, siapapun mereka, I don't care. Dia itu bisa dibilang pelanggan tetap di cafe tempatku bekerja, sehingga dirinya terekam dalam memoriku tanpa harus mengenalnya. Dari caranya berbicara, bertukar pendapat, serta sikapnya, secara tidak langsung aku mengetahuinya.
Pria itu arogan tapi tersamar oleh kata-kata manisnya, dia manipulatif. Lebih parahnya, pick me. Pria itu benar-benar tercover dengan sempurna. Saat aku memakai topeng untuk menyembunyikan jati diri, maka dia memakai selimut bertuliskan ' GREEN FLAG ' untuk mendapatkan perhatian.
Cinta pada pandangan pertama, bukannya aku tidak percaya akan adanya cinta pandangan pertama. Tapi yang terjadi pada mereka terbilang diluar akal, masa iya belum genap satu bulan sejak awal pertemuan pertama mereka sudah berkencan tanpa adanya pendekatan. Entah Kavita yang terlalu bodoh atau pria itu yang terlalu sweet talker.
Tapi sekarang aku makin percaya dengan ungkapan bahwa cinta itu buta, itu yang aku lihat dalam diri Kavita.
Satu hal lagi yang membuatku kecewa, sebegitu tidak pentingnyakah diriku hingga berita kencannya pun kudengar dari orang lain, Aida, bukan langsung darinya. Hey, sadar! Kamu itu cuma orang luar yang dianggap saudara olehnya.
Lalu, apa itu berusaha memberikan apapun yang Kavita mau? Oh, tak terlihatkah usahaku yang selalu menyanggupi apapun permintaannya. Bahkan sudah bertahun-tahun lamanya, apapun kulakukan untuknya, semenjak aku sadar akan perasaanku.
Oh, ayolah, Wilsa... sadar, memang kamu siapa? Apapun yang kamu berikan itu hanyalah hal biasa, hal wajar. Tapi akan menjadi istimewa jika dia orang yang kau cintai. Dan aku bukanlah dia, seseorang yang sangat amat beruntung mendapatkanmu.
Membuyarkan lamunanku, Neena melempar gumpalan tissue kearahku. "Ngelamun, kesambet Lo!" Aku melirik Kavita, tersirat kekhawatiran diraut wajahnya.
"Wil..." kuhembuskan nafas lelah.
"Aku capek, Kak. Jongkok hampir satu jam... keliling mall tanpa hasil... nahan laper... nungguin orang ngerumpi. Aku ngantuk, Kak...." rengekku diselingi canda mencoba meruntuhkan kekesalanku.
"Utututu... bayik emang gak bisa diajak keluar malem, deh. Yaudah kita pulang, yuk." Semua terlihat membereskan barang masing- masing, begitupun denganku.
"Yuk!" Kavita menarik tanganku mengajak berdiri. "Aida, Elo yang bayar semuanya, ya... bye!" Ucapnya sembari menyeretku pergi.
"Lah...!!"
Kavita tak pernah tahu, aku seperti orang gila yang jiwanya sudah mati, namun hidupnya terlihat baik. Selalu terjaga lewat malam, melamun, mendengarkan lagu sedih. Tapi dia tidak akan mampu melihat betapa mengerikannya hatiku yang hancur ini.
TBC
Other kind of feedback would be very much appreciated.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEAVY HEART (WINRINA) ✔️
FanficIni adalah seni menyakiti diri sendiri. Ketika iklas melepaskan tanpa ada beban di hati. Mari berjalan bersamaku dengan menebalkan topeng, di mana masyarakat masih menjunjung tinggi normalitas.