A SENSE OF LOSS

516 33 0
                                    







Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!





















Hari pertama tanpa Wilsa.



Ini hari di mana setelah kemarin aku melakukan transplantasi ginjal. Organ ginjalku rusak dan pada tahap stadium akhir, aku juga tak begitu terkejut, memang pola hidupku yang tak sehat.

Begitu membuka mata, orang pertama yang kulihat adalah bunda, Mesha juga Aida. Tak ada Wilsa, tak ada wajah khawatir Wilsa seperti biasa. Bahkan tak sekalipun terbersit di pikiranku akan sosok Wira yang terlihat netra. Yang ingin kulihat hanyalah Wilsa, Wilsa, dan Wilsa.

Aku tengah melamun saat ini setelah sempat menengok Bunda dan Mesha yang tertidur di sofa, mereka pasti kelelahan. Kata Aida mereka langsung kembali sebelum sempat menemani Mahesh meninjau Fordham University. Mereka juga belum kembali ke rumah, dari bandara mereka langsung menemuiku sampai sekarang.

Ketukan di pintu setelah itu pintu bergeser terbuka. Aida datang bersama Neena, mereka tersenyum saat melihatku, aku hanya tersenyum tipis sebagai tanggapan.


Wilsa tidak datang.




















Setelah meyakinkan bunda serta Mesha untuk beristirahat di rumah sebentar dengan menawarkan diri menjagaku bersama Neena, sekarang Aida tengah duduk di kursi dekat ranjangku, ia memainkan jemarinya. Neena sedang mengupas apel di belakangnya, di sofa.

"Dia belum berangkat, 'kan?" Aida diam menatapku, "Dia beneran gak datang sewaktu gue masih tidur?" Aida menghela nafas, wajahnya seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi ia tahan.

"Beneran se-enggak perdulinya sekarang dia sama gue, ya... ?" Lanjutku, Aida menghela nafas lagi.

"Wilsa dateng kok, pas gue ngabarin kalo Elo masuk rumah sakit... "

"Tapi dia langsung pergi, 'kan? Bahkan waktu bunda gue dateng, dia juga gak muncul, 'kan?"

"Dia berubah! Wilsa jahat banget tau, gak?!" Kataku yang mulai berkaca-kaca. Aku merasa kecewa.




















"Sayang... gimana keadaannya sekarang, hm?" Aku hanya bergumam menjawabnya.

Wira datang menjenguk di hari ke empat, ia meminta maaf karena baru bisa datang. Katanya ia tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaannya, dan aku memakluminya karena dia tipe workaholic. Dia datang dengan wajah yang benar-benar bersalah hingga bunda sendiri gemas dengan pria itu.

Berbeda dengan bunda, Mesha yang melihat Wira malah memberikan lirikan sinis yang kemudian melarikan pandangannya ke arah ponsel. Ia bahkan enggan pergi saat bunda mengajaknya keluar untuk memberikan aku dan Wira waktu bersama. Ia enggan beranjak dari sofa itu, seakan ada lem kuat yang merekatkan sofa dengan bokongnya.

Sebenarnya ada apa dengan Mesha? Dia terlihat begitu tidak suka terhadap Wira. Apa karena Wira baru bisa berkunjung sekarang? Kurasa tidak, Mesha bukan seseorang yang sifatnya kekanakan.

Lantas bagaimana dengan Wilsa yang hingga saat ini pun batang hidungnya tak terlihat padahal sebentar lagi kepergiannya. Paling tidak ia kemari untuk berpamitan. Apa itu namanya kalau bukan sikap kekanakan? Seperti aku melakukan kesalahan dan dia marah padaku.

Tapi apa kesalahanku? Ia yang tidak mau menjelaskan apapun kepadaku sungguh menyebalkan.

"Salam kenal, Mesha... saya Wira!" Wira memperkenalkan diri begitu ia menghampiri Mesha dan duduk di sebelahnya. Mesha menggeser sedikit duduknya menjauh, ia enggan membalasnya, malahan ia menatap tangan Wira dengan alis mengerut.

Wira masih mengulurkan tangannya dengan senyum merekah.


"Bukannya nama Anda pak Joko?"




















DEJA VU!




















Aku segera memalingkan wajahku dari interaksi mereka. Ini benar- benar mengingatkanku pada Wilsa.









WILSA!



















Kenapa sekarang ini hidupku terasa lebih hampa dari pada sebelumnya? Apa karena aku belum mulai terbiasa tanpa Wilsa? Sejak dulu dia selalu ada di sekitaranku, tak pernah lepas dari jarak pandangku.

Aku yang memang ingin dia selalu ada di dekatku, waktu itu pun diriku juga yang menyuruhnya untuk bekerja sebagai barista di cafe & resto milik ayah. Meski awalnya ia sempat kesulitan belajar meracik menu kopi, tapi dia tidak pernah menolak keinginanku.

Apa aku juga egois karena melarangnya memiliki seorang kekasih? Padahal aku sendiri sudah pernah beberapa kali merasakan yang namanya pacaran. Apa aku terlalu egois sehingga pada akhirnya Wilsa muak terhadap sikapku yang selalu mengaturnya?

Apa sekarang ini aku juga bersikap egois, memintanya untuk tidak pergi? Aku tahu dia pergi untuk melanjutkan pendidikannya serta membantu kakeknya mengurus perusahaan di sana, tapi dia bisa 'kan melanjutkan pendidikannya di sini dan mengambil alih perusahaannya yang ada di sini juga. Biar tante Tanisha saja yang tetap disana sehingga kami tidak perlu berpisah.


Aku mendengar bunda yang sejak tadi mengajakku berbicara, tapi aku seperti tak menangkap dengan jelas semua perkataan bunda. Sejak tadi aku hanya memikirkan segala kemungkinan kesalahanku pada Wilsa.

"Kavi!" Sentak ayah yang ada di samping bunda dan itu sukses membangunkan kesadaranku.

"Bunda sejak tadi ajak Kamu bicara, Kamu dari tadi cuma diem, nengok sama bunda pun enggak." Ayah kembali melembutkan suaranya. "Kenapa, Kak? Sejak pulang dari rumah sakit Kamu banyak bengongnya. Apa ada masalah sama pacar Kamu, si Joko?"

Aku menggeleng kecil. "Udah... gak apa-apa, kok. Mungkin Kakak masih butuh istirahat." Kata bunda memaklumi.

Ayah menghela nafas. "Oke... ayah cuma masih penasaran sama pendonor yang udah nyelametin anak kesayangan ayah."

"Bener, Yah... tapi kata pihak rumah sakit, keluarga pendonor minta buat gak ngasih tau identitasnya. Kalo pun bunda tau... bunda juga kepengen ngucapin terima kasih. Tapi kayaknya ucapan terima kasih aja belum cukup untuk ke murahan hatinya yang dengan iklas memberikan salah satu ginjalnya." Bunda tersenyum lembut sembari mengelus lenganku.


"Apa Aida juga gak tahu siapa pendonor anonim itu?"




















TBC

Other kind of feedback would be very much appreciated.

BROKEN HEART (WINRINA) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang