Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!
Sudah sebulan lebih telah berlalu sejak kepergian Wilsa, hari- hariku berlalu seperti biasa. Yang berbeda sekarang pola makananku lebih diatur bunda, yang berbeda sekarang tidak ada Wilsa yang cerewet tentang makananku.
Aku juga belum kembali mulai bekerja, tempat kerja yang tidak ada lagi Wilsa. Hari- hari yang biasanya kulalui dengan excited sekarang lebih terasa monoton dan membosankan.
Dan ini masih dalam hitungan minggu, lantas bagaimana diriku kelak jika ini berlangsung sepanjang tahun? Seringkali aku masih tenggelam dalam tanda tanya besar akan apa sebenarnya kesalahanku padanya. Setiap hari lebih banyak kuhabiskan untuk memikirkan Wilsa.
Seharusnya tak seperti ini, bukan hanya Wilsa saja yang ada di kehidupanku, seolah hanya dia saja poros hidupku. Aku masih punya keluarga, aku masih punya teman, serta aku masih punya kekasih.
Benar, Wira kekasihku yang tiap kali datang sekarang, sering kali lebih ku acuhkan. Hidupku benar- benar terasa kosong hanya karena tanpa sosok Wilsa. Tapi apa alasannya?
"Kupikir Kamu gak mau nemuin aku lagi, Sayang..."
Sekarang aku dan Wira sedang duduk berdua di ruang kerjaku, setelah kemarin aku mengirim pesan ingin bertemu dengannya.
"Maaf... aku benar- benar masih butuh waktu lebih banyak. Aku..." kujeda kalimatku sejenak, "aku merindukanmu..."
Wira mempersempit jarak duduk kami di sofa, dia melingkarkan lengannya ke pinggulku, "aku juga merindukanmu." Tangan satunya meremas telapak tanganku dan dia bawa ke pahanya.
Tangannya yang semula di pinggulku perlahan menelusup masuk ke dalam blouse yang kukenakan. Aku merasakan sensasi geli saat jemarinya menyentuh kulit punggungku. Tapi aku masih diam bukan karena menikmatinya, karena pikiranku lagi- lagi sempat memikirkan Wilsa. Tangan yang semula menggenggam tanganku kini juga mulai mengelus pahaku yang memang terlihat karena mini skirtku.
Aku mulai merasa tak nyaman.
"Stop, Wir!" Tapi sepertinya dia tak mengindahkan teguranku, ia malah mulai mengendus tubuhku.
Aku muak!
Lantas aku langsung berdiri, Wira terperangah. Dia bertanya dengan alis terangkat sebelah.
"Aku gak suka, jadi berhenti. Jangan macem-macem." Peringatku.
Wajahnya menunjukan ketidak sukaan. Ia turut berdiri, memasukan tangan kesaku celana seperti biasa.
"Kenapa?" Tanyanya dengan mimik wajah menjengkelkan, "Sudah berapa lama kita menjalin hubungan? Berapa minggu?" Tanyanya lagi.
Aku mengernyit akan pertanyaannya. Lantas apa maunya?
"Selama beberapa minggu itu kita sudah melakukan apa saja selain berciuman? Tidak lebih!"
Aku perlahan mundur saat dirinya mulai mendekat, "Aku pria normal, aku ingin lebih!" Kini aku sudah terpojok olehnya tertahan meja kerjaku. "Lagian gak usah pake pakaian seksi kalo gak mau di sentuh. Kamu sendiri yang udah ngundang tatapan lapar semua pria di luar sana. Aku sebagai cowokmu cuman minta hakku!"
Hak?! Aku mengeraskan rahangku setelah mendengar ucapannya. Memangnya salah kalau seorang wanita ingin terlihat cantik dengan pakaian bagus? Memangnya salah seseorang ingin menunjukan kelebihannya?
Ternyata semuanya sama saja, dia seperti mantan- mantanku yang lain!
"Lo itu cuma cewek cantik yang bodynya bagus, Lo cuma bisa dijadiin ajang berbangga diri karena gue bisa ngemilikin Elo yang di idamin semua orang." Jelasnya, tanganku mulai mengepal.
"Tapi kalo gak bisa di sentuh juga percuma, 'kan."
Seketika aku menjerit. "Keluar!!"
Dia tertawa remeh, "Ya udah. Kalo Lo gak mau di sentuh, mending kita putus aja." Wira perlahan berjalan mundur tapi tatapannya masih meremehkan. "Lagian gue juga muak. Lo selalu ngebicarain temen Lo, Wilasa..." dia berhenti. "Jangan- jangan Lo lesbi, ya... Lo suka ,ya sama si Wilasa?"
DEG!
Kata- kata yang tak pernah terpikirkan bahkan olehku, sekarang jelas masuk kedalam pendengaran.
"Kalo iya, kenapa?! Lo itu cuman gue jadiin alat buat nyembunyiin jati diri gue! Puas Lo?!" Dia bersmirk lalu melenggang pergi.
Nafasku memburu karena sadar pada kalimat yang baru saja kuucapkan. Aku juga baru tersadar, kapan pun dimana pun saat Wilsa tidak bersamaku aku selalu membicarakannya, bahkan saat bersama Wira.
Kenapa orang lain menyadarinya sedangkan diriku tidak.
"Dalam satu bulan kedepan, ayah udah bisa kembali mengurus usaha kita..." ayah menjelaskan setelah menelan makanannya.
"Apa tante Tanisha udah balik, Yah?" Mesha bertanya dengan pipi penuh.
"Abisin dulu itu, Dek... baru ngomong Kamu." Bunda menegur Mesha sambil menuang air putih yang lalu di berikan padaku.
Makan malam hari ini hanya ada kami bertiga. Mahesh yang sudah bergi untuk pendidikannya, serta Wilsa yang juga pergi untuk masa depannya.
Makan malam kali ini benar- benar sepi. Tak ada gurauan ayah, tak ada Mahesh atau Mesha yang selalu menggoda Wilsa. Serta diriku yang selalu turut menjailinya.
Aku merindukan suasana itu, aku merindukan Wilsaku.
"Kak?" Bunda membuyarkan lamunanku, bunda juga masih menyodorkan gelas untukku. "Diambil ini... tangan bunda sakit."
Aku menghela nafas dan segera meraih gelas itu. Lagi- lagi aku seperti ini.
"Kenapa Kamu, Kak?" Tanya bunda penasaran.
"Kak Kavi lagi cosplay jadi bocah, Bun." Mesha yang di sebelahku menjawabnya, "Kak Kavi kayak gitu bukan sejak keluar dari rumah sakit, tapi semenjak tau kalo kak Wilsa bakalan pergi." Ayah dan bunda menoleh ke arahku seakan meminta penjelasan. "Gak usah ngambek kayak anak kecil, kak Wilsa pergi buat lanjutin pendidikan sama bantuin kakeknya, Kak. Dia gak pergi selamanya... dia bisa kemari kapan pun." Tambahnya.
Lagi-lagi aku hanya bisa diam, aku sadar akan hal itu.
"Kak, apa bener begitu?" Kali ini ayah bertanya dengan lembut. Aku menatap ayah yang tersenyum. Ayah memang lembut tapi dia pria yang humoris, aku merasa ayah pun berubah. Apa itu juga karena Wilsa?
"Yah..."
"Hm?" Ayah masih tersenyum, tapi kali ini senyumnya terlihat sedih.
"Biar Kavi aja yang ambil alih restourant kita yang ada di Bali."
Mereka saling memandang dengan ekspresi agak terkejut. "Aku butuh suasana baru... aku mohon ijinin aku ya, Yah" mohonku.
Ayah dan bunda saling memandang setelah itu ayah mengangguk sambil tersenyum tanda setuju. Mesha juga tersenyum kecil, setuju dengan keputusanku.
Benar. Inilah yang terbaik, semoga.
Sudah saatnya aku sadar diri, aku tidak bisa bersikap kekanakan seperti ini. Benar apa yang di ucapkan Mesha. Wilsa sama sekali tidak meninggalkanku, hanya pergi sementara. Dia akan kembali.
Lagipula, sebenarnya dia tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang kurasakan. Ini hatiku, sakitku biar aku yang atasi. Wilsa bisa melanjutkan hidupnya, begitupun denganku. Aku akan memulai lembaran baru hidupku.
Semoga aku bisa hidup tanpanya, tanpa bayang-bayang Wilsa lagi.
TBC
Other kind of feedback would be very much appreciated.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN HEART (WINRINA) ✔️
FanfictionBroken Heart Syndrome, seperti misteri tapi ini sungguh nyata. Ini kisah patah hati Kavita yang mencari jati diri. Broken Heart menjadi cerita ke dua setelah Heavy Heart.