Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!
"Kak!" Mesha mendobrak masuk ke kamarku, aku yang sedang membereskan beberapa pakaian sempat terkejut.
Biasanya aku akan langsung marah-marah, tapi sekarang seolah aku kehilangan gairah hidup.
"Kenapa?" Tanyaku yang melanjutkan melipat pakaian yang akan ku bawa ke Bali seperti permohonanku pada ayah waktu itu.
Mesha duduk di depan meja rias, masih memainkan ponselnya. "Kayaknya dia bales dendam, deh! Tapi ini kenapa rumornya bisa nyampek ke kampus gue, sih?! Ini siapa yang nyebarinnya ke senior- senior, gue cuma MABA jadi gak berani macem- macem! Argh, sialan emang!" Aku memandangi Mesha yang masih fokus pada ponselnya, aku benar- benar tidak tahu yang dia bicarakan.
"Kamu itu kenapa? Ada masalah sama kuliah Kamu, Mesh?" Atensiku masih ke arahnya.
Akhirnya Mesha mendongak, menatapku dengan wajah kesal. "Aku mau marah sama Kakak yang dulu bego banget! Aku juga kepengen nonjok muka si Joko tapi gak punya bukti kalo dia yang nyebarin! Tau gak sih, Kak... Elo emosi tapi gak bisa di lampiasin?!" Bahunya naik turun karena amarah.
"Tunggu dulu, deh. Ngapain Kamu bawa- bawa si brengsek itu segala?! Gak suka kakak dengernya!" Sungutku.
"Emang dari awal dia tu cowok brengsek!"
"Terus kenapa gak kasih tau kakak waktu itu!?" Emosiku akhirnya turut terpancing.
"Emang kakak bakalan percaya sama kami? Dari dulu aku, kak Janu juga kak Wilsa slalu ngasih kode sama Kakak." Mesha mulai menjelaskan, ia meletakan ponselnya di meja rias.
Dirinya ikut duduk di bawah di dekat barang-barangku yang masih berserakan. "Kakak gak pernah dengerin kak Wilsa, cuman kak Wilsa aja yang selalu dengerin Kakak. Makanya kak Wilsa gak bisa gitu aja bilang kalo Joko itu cowok brengsek, apalagi cowok itu selalu di pandang sebagai green flag."
Itu benar, aku mengakuinya, dan sekarang aku merasa malu. Aku yang terlalu lugu menganggap semua pria baik seperti ayah. Aku memang ingin punya hubungan yang orang bilang normal, seperti bunda membangun keluarga dengan pria baik seperti ayah.
Tapi sayangnya hubungan normal yang kudapat malah yang menghancurkan hatiku.
Mesha kembali bersuara membuyarkan lamunan sekilasku. "Di luar sana rumor tentang Kakak lagi kesebar. Banyak yang ngomongin Kakak..." dia terlihat menghentikan ucapannya seperti enggan melanjutkan.
"... Kakak udah di cap rusak sama semua orang, di rendahin, di cap gampangan," ucapnya sendu. "Katanya semua udah di... di lakuin cowok itu sama Kakak." Mesha tampak menarik nafas lalu di hembuskan secara kasar. "Katanya Kakak udah jadi piala bergilir sama cowok itu dan temen-temennya."
"Enggak!" Seketika aku menyanggahnya karena memang tidak seperti itu. Karena sejauh skinship yang kami lakukan hanya sekedar berciuman tak lebih.
Oh... sekarang aku benar- benar merasa jijik pada pria brengsek itu.
"Emang lebih baik Kakak segera pindah ke Bali. Gak usah dengerin rumor gak bener kayak gitu..."
"Tapi pasti ayah kena imbasnya juga, 'kan sama ini rumor?!" Potongku, "Ini karmaku yang gak peka terus malah buat malu keluarga."
Aku mulai menangis, air mataku turun begitu mudahnya karena teringat betapa bodohnya aku yang terbuai kata- kata manis seorang pria. Mesha merengkuhku, mengusap lembut punggungku. Aku membalas pelukannya dan menyembunyikan wajahku di bahunya. Aku menangis sesenggukan.
Aku merindukan Wilsa.
Aku telah mendapatkan karmaku, dari pengkhianatan cinta yang salah. Aku telah menerima pahitnya kekecewaan dari perihnya kenyataan atas keputusanku yang salah.
Aku terjebak dalam kepompong normalitas yang telah menghancurkan hatiku. Aku yang selalu menganggap semua yang normal adalah hal baik terus terjebak dalam kepompong itu, kepompong itu seperti mengekangku dari jati diri yang bukan milikku.
Aku ingin keluar menjadi kupu- kupu, meninggalkan kata normal yang selalu dianggap benar. Aku ingin terbang sebagai kupu- kupu meski cercaan menghadang paling depan.
Malam hari di rumah kami kedatangan dua orang tamu. Seorang wanita yang dulu adalah teman sekaligus senior bunda di kampus, dan putrinya, Hanni, teman dekat Mesha, dulu.
Mereka berbincang di ruang tamu, bunda juga wanita itu yang bernama Stephanie juga Hanni serta Mesha. Dua mantan teman dekat itu nampak diam, suasana canggung hanya mereka berdua yang rasakan. Sementara bunda juga tante Fanny, begitu panggilannya, jauh lebih asik berbincang, mungkin rindu akan teman lama.
Aku bergabung setelah menyajikan minuman, lantas aku duduk di sebelah Mesha yang tetap saja diam memainkan ponselnya. Sementara itu Hanni yang berada di sebelah mommynya juga seperti hanya menyimak obrolan para orang tua, padahal tadi aku sempat melihatnya melirik Mesha.
Kecanggungan diantara mereka membuatku bertanya, apakah jika salah satu dari kami; aku atau Wilsa, mengutarakan isi hati maka keadaan seperti ini juga akan terjadi diantara kami?
"Sayang, kok diem aja dari tadi? Itu Mesha diajak ngobrol, sama itu kakak Mesha di sapa juga dong, Sayang..." tante Fanny menegur putrinya.
"Iya, Mom..." Hanni berdiri, menghampiri kami yang ada di depannya, ia mengulurkan tangan padaku. "Hanni, Kak."
Aku tersenyum seraya menyambut uluran tangannya, "Kavita". Dia sangat manis dan imut mirip Wilsa...
Wilsa...
Oh, tidak... aku menggagalkan misiku untuk tak selalu memikirkannya.
Hanni kemudian duduk di sampingku yang sedikit berhimpitan denganku, padahal sebelah Mesha lebih lenggang. Tapi aku memakluminya, toh mereka berdua tidak tahu kalau waktu itu aku mendengar pembicaraan mereka.
"Kamu temen SMA Mesha, 'kan?" Dia mengangguk lucu. "Sekarang lanjut di mana?" Tanyaku yang sekarang menghadapnya dan beralih memunggungi Mesha.
"Aku lanjut di NYU, Kak... sekalian mau hidup mandiri. Soalnya mommy ada kerja di sini..." terangnya dengan suara pelan.
NYU, universitas yang sama dengan Wilsa. Lagi-lagi Wilsa... bagaimana aku bisa mengabaikan bayangannya kalau semua hal selalu terhubung padanya.
Aku bersandar pada Mesha yang di belakangku, aku menghela nafas lantas tersenyum. "Mahesh, Kamu tau, 'kan kembarannya Mesha? Dia juga kuliah di NYC, tapi dia di Fordham, sesekali Kamu bisa main sama dia."
"Kak Wilsa ada di NYU juga!"
Mesha yang sejak tadi diam tiba-tiba menyahuti, bahkan bunda dan tante turut menoleh ke arahnya. Aku tahu, kok... ucapanku tadi terdengar seolah aku menjodohkan Hanni dan Mahesh. Sempat tadi tubuh Mesha menegang sesaat, dia tidak suka.
Dasar pecundang! Padahal akhir- akhir ini aku selalu mengolok kata normal dan menyebut diri ini terjebak dalam kepompong normalitas mengecewakan.
Tapi nyatanya diriku sendiri pun tetap stay pada kata normal. Bahwa memang pria yang semestinya dengan wanita. Padahal aku sendiri pun merasakan karma dari terlalu percayanya pada normalitas.
Aku lebih percaya pada semestinya, karena hanya yang semestinya yang di terima semesta.
TBC
Other kind of feedback would be very much appreciated.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN HEART (WINRINA) ✔️
FanfictionBroken Heart Syndrome, seperti misteri tapi ini sungguh nyata. Ini kisah patah hati Kavita yang mencari jati diri. Broken Heart menjadi cerita ke dua setelah Heavy Heart.