VACASANT HEART

378 21 1
                                    






Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!



















Apa itu arti hidup normal? Apakah yang harus menuruti standar norma yang di buat oleh masyarakat? Bagaimana hidup dengan tidak normal? Apakah masyarakat akan memandang penuh cemooh?



Perlahan aku menyadari sesuatu tapi seakan aku terus menyangkalnya. Sesuatu yang begitu kuinginkan tetapi tak bisa kumiliki. Dia bukan milikku tapi aku merasa di khianati. Sakit hati ini adalah sakit hati yang kubuat sendiri.

Apakah hidupku terlalu penuh drama? Aku tidak peduli! Lagipula egoku masih tinggi untuk mengakuinya. Masih banyak manusia berisik yang fanatik karena menjunjung tinggi nilai norma. Dan aku masih takut pada pengadilan masyarakat atas ketidak normalan.












Sebenarnya aku juga tidak tahu ada apa dengan diriku? Aku yang selalu menyangkal apa yang ada pada diriku dan selalu sok tegar dengan terus menyalahkan bayangannya yang tak bisa hilang, nyatanya dengan dalih ingin sesuatu yang baru, aku mengubah warna rambutku menjadi blonde.

Padahal niatku dari awal karena memang kagum pada sosok Wilsa yang semakin mempesona. Aku ingin seperti dirinya, semakin mempesona, semakin menjadi jauh lebih baik. Setidaknya ini bisa mengurangi rasa rinduku, meski hanya secuil.



















Belum ada sebulan Aida datang lagi, kali ini bersama Neena.

"Sumpah, mentang- mentang ada di Bali, rambut di cat kuning begitu, mau jadi bule, Kak?" Seperti biasa Neena yang selalu heboh.

"Gak pa-pa, cantik mirip Barbie!" Bela Aida yang ada di sebelahku. Saat ini kami tengah berada di cafe lain untuk makan siang.

"Kalo Barbie berarti butuh Ken, dong?" Alis Neena naik turun, sepertinya bocah ini ingin menggodaku karena satu hal. "Apa kabar mantan Lo yang punya bahu lebar kayak kursi taman, Kak?" Nah, 'kan mulai ini bocah.

"Gak usah bawa- bawa cowok brengsek itu!" Aku melempar tissue ke arahnya, Aida dan Neena tertawa, tawa Neena yang paling keras hingga pengunjung lain menoleh ke arah kami.

"Btw, ngomongin mantan Lo!" Aida menginterupsi.

"Gak usah mantan lo mantan lo segala!" Sewotku.

"Iye... iye... si brengsek. Udah, ah dengerin dulu napa!" Aida menyeruput kopinya. "Dia di penjara, lho."

"Oh..." responku datar sembari memutar bola mata malas, "Karena penggelapan dana di perusahaan tante Tanisha, 'kan?"

"Enggak, Kak!" Neena menyangkalnya. "Dia dapet double kill!" Ia tersenyum penuh arti.

Apa maksudnya?

"Sujud syukur, deh Lo!" Aida melanjutkan. "Untung bukan Elo yang jadi korban. Emang anjing yang namanya Joko!"

"Heh, nama bapak Lo Joko juga ya, kalo Elo lupa, Kak!"

Kami semua tertawa karena penuturan Neena. Ah... apa ini tawa pertamaku setelah sekian lama? Sedikit melegakan ternyata.

"Mana nyuruh gue manggilnya om Jake." Neena terkikik geli, kelihatannya ia teringat pada bapak dari Aida.

"Ini maksudnya gimana, sih? Kok bisa double kill?" Meski enggan membahas si brengsek tapi aku juga penasaran.

"Jadi gini..." Aida menghela nafas, "Si brengsek emang di incer sama tante Tanisha gara-gara kayak yang Lo bilang tadi. Tapi dia juga di incer sama keluarga Janitra... dia maksa putri sulung Janitra buat ngegugurin kandungannya."

BROKEN HEART (WINRINA) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang